Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Meneladani Nasionalisme KH Hasyim Asyari

31 Oktober 2020   09:01 Diperbarui: 31 Oktober 2020   10:02 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehati-hatian atau sikap moderat Sang Kiai, yang antara lain tampak dari kesediaannya "bekerjasama" dengan Jepang dalam memberikan hasil bumi dan menyetujui pembentukan pasukan pembela pertahanan yang disebut Hisbullah,  sempat ditafsirkan oleh Harun sebagai sikap dan strategi yang keliru dan lemah.  

Belakangan Harun menyadari kekeliruannya dalam menafsirkan strategi dan arah kebijakan Sang Kiai yang ternyata mampu melihat jauh ke masa depan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Sang Kiai sendiri tidak mempermasalahkan munculnya salah tafsir atau prasangka buruk terhadap strategi dan arah kebijakannya menghadapi penjajah Jepang. "Prasangka buruk tidak selamanya berasal dari niat buruk, tapi bisa jadi berasal dari ketidaktahuan saja." ujar Sang Kiai kepada istrinya Nyai Kapu, yang pada suatu kesempatan menyatakan keheranannya akan sikap Harun.

Selain menggambarkan dinamika strategi dan arah kebijakan Sang Kiai seperti dalam hubungan Sang Kiai dengan Harun, film ini dengan sangat baik berhasil memberikan informasi ke publik tentang alasan penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Peran para ulama dan santri dalam merebut kemerdekaan dari penjajah Jepang dan mempertahankan kemerdekaan dari upaya Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia digambarkan dengan apik, bukan hanya rajin belajar agama saat di pesantren, tetapi juga mampu memanggul senjata dan bertempur di medan laga.

Gambaran peran ulama dan santri sebagai pejuang kemerdekaan diperkuat dengan suasana pertemuan para ulama dari berbagai daerah yang melahirkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 (di film ditulis 22 September 1945), resolusi yang menjadi tonggak penting perjuangan kemerdekaan Indonesia karena berisi fatwa jihad yang pendorong para santri untuk  berjuang dan bersedia mati membela tanah air. Resolusi Jihad ini merupakan jawaban atas pertanyaan Sukarno "apakah hukumnya apabila mati atau tewas karena membela tanah air."

Melalui adegan pertempuran yang dilakoni para santri menghadapi tentara NICA di Surabaya dan sekitarnya, film ini juga berhasil memperlihatkan semangat para santri dalam membela tanah air setelah mendengar ijtihad Sang Kiai bahwa nasionalisme bagian dari iman (hubbul wathan minal iman).

Jargon hubbul wathan minal iman sendiri dapat dikatakan merupakan bentuk kecerdasan K. H Hasyim Asyari dalam merespon tantangan umat Islam, bukan hanya di Indonesia tetapi juga dunia pasca runtuhnya kekhalifahan Islam terakhir yaitu Kekhalifahan Usmani yang dibubarkan pada 1 November 1922 dan diganti dengan Republik Turki pada 29 Oktober 1923 dengan Ankara sebagai ibukotanya.

Pada saat itu banyak negara atau daerah yang penduduknya beragama Islam, termasuk di Nusantara, yang khawatir bahwa negara atau wilayahnya akan dijadikan negara sekuler oleh penjajah seperti yang terjadi di Turki. Untuk itu Sang Kiai menggabungkan teologi dan nasionalisme, sesuatu yang bahkan tidak dilakukan oleh para ulama Timur Tengah. Melalui jargon Hubbul Wathan Minal Iman dilakukan penggabungan antara keimanan dan politik kebangsaan secara harmonis. Anda beriman harus nasionalis, anda nasionalis harus beriman.

Melalui jargon tersebut dan berangkat dari sikapnya yang moderat dan toleran K.H Hasyim Asyari mendorong kemerdekaan bangsa Indonesia dan menjadikannya sebagai negara Darussalam (negara yang damai) yaitu negara kebangsaan yang merekrut semua komponen bangsa yang ada, bukan negara Darul Islam ataupun negara Darul Kufr.    

Dalam film Sang Kiai, pemikiran atau jargon K.H Hasyim Asyari diucapkan melalui K.H Wahid Hasyim saat suatu malam berjalan beriringan dengan Sang Kiai. "Agama dan nasionalisme bukan dua kutub yang berseberangan. Berawal dari agama lalu akan timbul nasionalisme. Nasionalisme adalah bagian agama," begitu perkataan yang dikemukakan K.H Wahid Hasyim.

Kini setelah 75 tahun kemerdekaan Indonesia dan 75 tahun Resolusi Jihad, pandangan Sang Kiai bahwa nasionalisme adalah bagian Iman
masih sangat relevan dan tetap terus diperjuangkan dalam memelihara keutuhan Negara Kesatuan RI (NKRI). Bahwa masyarakat Indonesia mesti membangun  sebuah negara yang nasionalis reljius dimana agama dibangun di atas tanah air. Karena itu barangsiapa yang tidak punya tanah air, maka tidak akan bisa membangun agama dan tidak punya sejarah. Barangsiapa yang tidak punya sejarah, pasti akan dilupakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun