Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menguji Netralitas ASN dalam Pilkada

24 September 2020   09:09 Diperbarui: 24 September 2020   09:16 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah pandemi Covid-19 yang belum diketahui kapan akan berakhir dan usulan penundaan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah yaitu di 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten, proses demokrasi lima tahunan ini telah dimulai dengan pendaftaran pada awal September 2020 dan rencana puncak pilkada pada saat pemungutan suara tanggal 9 Desember 2020.

Aktor-aktor utama dalam pesta demokrasi politik lima tahunan ini adalah para calon kepala/wakil kepala daerah yang didukung partai politik pengusung dan panitia penyelenggara yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat dan daerah.

Sementara aktor pendukungnya adalah masyarakat, salah satunya aparatur sipil negara (ASN). Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setiap pilkada ASN terlibat dalam proses pilkada.

Meski hanya pendukung, keterlibatan ASN dalam Pilkada, sejak tahapan  pencalonan hingga pemungutan suara, tidak dapat diremehkan begitu saja karena potensinya bisa mengalahkan dukungan partai politik pengusung dalam mendulang suara. Selain berpotensi mempengaruhi keluarga dekat, ASN yang menduduki jabatan strategis juga bisa mempengaruhi masyarakat sekitarnya dalam menentukan pilihan.

Permasalahannya kemudian adalah apakah keterlibatan ASN dalam proses pilkada tidak melanggar prinsip netralitas dan etika Pancasila serta bagaimana kita menyikapinya?

Pasal 4 butir d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN secara tegas menyebutkan bahwa ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip nilai dasar yang salah satunya adalah menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak.

Prinsip tidak berpihak atau netral ASN tersebut kemudian lebih dipertegas melalui pasal 4 ayat 15 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang menyebutkan bahwa ASN dilarang untuk memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, seperti mendukung kampanye, memberikan fsilitas jabatan selama kampanye dan membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.

Bahwa ASN terlibat dalam proses pilkada tampak dari data Komisi ASN per 19 Agustus 2020 yang menunjukkan bahwa sebelum memasuki masa kampanye saja terdapat 490 ASN yang dilaporkan melanggar. Pelanggaran yang kerap dilakukan ASN adalah kampanye di media sosial, kegiatan yang berpihak ke calon kepala daerah, dan pemasangan baliho atau spanduk.

Ketidaknetralan ASN dalam pilkada tentu saja memprihatinkan, terlebih karena laporan Komisi ASN juga menunjukkan bahwa sebanyak 33 persen dari ketidaknetralan ASN dalam pilkada ternyata dilakukan pejabat tinggi daerah dan dipicu oleh lemahnya penegakan hukum, terutama bila ASN pelanggarnya justru pejabat pembina kepegawaian (PPK), yaitu para gubernur, bupati, dan wali kota.

Banyaknya gubernur, bupati dan wali kota yang tidak menegakkan prinsip netralitas bukan berarti mereka tidak memahami peraturan perundang-undangan tentang pilkada dan etika Pancasila. Mereka justru adalah para pejabat yang semestinya memiliki kompetensi dalam mengelola administrasi pemerintahan di daerah karena telah menempuh proses panjang dalam karirnya.

Menyikapi ketidaknetralan ASN dalam pikada maka salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah mengoreksi sektor hulunya yaitu PPK itu sendiri. PPK yang baik akan bisa menjadi teladan dalam sikap dan perbuatan, bersikap netral selama proses pilkada dan melakukan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran prinsip netralitas ASN.

Guna mencegah keterlibatan ASN dalam politik praktis, meminimalisir ketidaknetralan ASN dalam pilkada, dan mendorong ASN untuk tetap fokus menjalankan fungsinya sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa Indonesia, maka PPK perlu dukungan dari banyak pihak yang mampu untuk melakukan pengawasan.

Untuk itu, kehadiran Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Pegawai ASN dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020 yang ditandatangani pada 10 September 2020 oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Kepegawaian Negara, Ketua Komisi ASN, dan Kepala Badan Pengawas Pemilu layak diapresiasi sebagai upaya untuk mendukung PPK bersikap netral dan melakukan tindak pengawasan dan penegakan hukum netralitas ASN selama pilkada.

Kehadiran Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan Netralitas ASN yang akan dibentuk untuk mengawal ASN dalam pesta demokrasi politik serentak ini tenrtu sangat dinantikan kiprahnya. Kehadiran Satgas diharapkan bukan sekedar mengawasi dan melakukan penegakan hukum kepada ASN rendahan, tetapi juga mengawasi dan melakukan penegakan hukum kepada pejabat tinggi di daerah.

Bukan hanya itu, Satgas juga diharapkan dapat membantu untuk menata kembali sistem merit dalam pembinaan ASN dan penegakan hukum. Melalui sistem merit yang baik, ASN akan mendapatkan kepastian karir berdasarkan kapabilitas, integritas dan kompetensinya.

Dengan adanya kepastian karir, ASN tidak akan mudah tergiur dengan berbagai iming-iming jabatan yang ditawarkan seorang calon kepala daerah dan tekanan dari atasannya. ASN tidak akan tergiur untuk mengambil jalan pintas selama pilkada untuk mendapatkan atau mencapai jabatan tinggi.

Hal lain lagi yang tidak kalah penting dalam menjaga netralitas ASN dalam pilkada adalah dengan memperkuat pemahaman etika Pancasila yaitu etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila: nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.

Untuk memperkuat pemahaman etika Pancasila perlu dilakukan pembudayaan dan pendidikan Pancasila bagi ASN secara terus menerus. Kegiatan dilakukan sejak seseorang menjadi ASN hingga akhir pengabdiannya sebagai ASN. Hal ini menjadi suatu kebutuhan yang mendesak mengingat tingginya tingkat pelanggaran netralitas oleh ASN dalam pilkada, terutama oleh pejabat tinggi di daerah.

Dengan mendorong pembudayaan dan pendidikan etika Pancasila, diharapkan ASN dan pejabat tinggi di daerah dapat lebih memahami nilai-nilai Pancasila dan  secara sadar menjunjung tinggi nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan, dan nilai Keadilan. Pada gilirannya, semua hal tersebut diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran ASN untuk senantiasa menegakkan prinsip netralitas dalam pilkada berdasarkan etika Pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun