"Mengomentari pandangan tentang gotong royong dan sikap masyarakat Indonesia yang terlihat lebih tenang dan pasrah, seorang rekan saya yang lain justru tertarik untuk mengaitkannya dengan kata: Santuy."
Kemarin sore saya mendapat kiriman link video di kanal youtube dari rekan saya Adji Prasetyo yang tinggal di Malang. Video tersebut berisi cuplikan bincang-bincang ringan antara dirinya dengan seorang rekannya mengenai wabah korona yang sedang melanda hampir seluruh negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Saya mencoba menuliskan kembali perbincangan mereka dengan sedikit pengembangan dan penambahan disana sini.
"Apa beda orang Indonesia dengan orang Amerika dalam menghadapi wabah Covid-19?," tanya Adji mengawali bincang-bincang
"Apa dong?" timpal rekannya
"Orang Indonesia, ketika wabah virus korona datang, mereka buru-buru menimbun masker dan sembako. Sedangkan orang Amerika, buru-buru membeli senjata api," jawab Adji dengan santuynya
"Lho kok bisa begitu?"
"Iya, mereka yang menimbun masker dan bahan kebutuhan pokok, seperti biasa berharap akan terjadi kelangkaan barang-barang tersebut di pasar dan karena bercita-cita bisa memanfaatkan keadaan tersebut untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya," jawab Adji.
"Tapi para penimbun tersebut kecele dan gigit jari karena tidak jadi meraup keuntungan. Di tengah akan terjadinya kelangkaan, masyarakat Indonesia justru bangkit saling tolong dan bergotong royong serta sukarela membuat masker secara massal.Â
"Tukang jahit rela dibayar murah bahkan tidak dibayar untuk membuat masker. Masyarakat pun bergotong royong menyediakan bahan pokok untuk diberikan kepada anggota masyarakat yang membutuhkan," tambah Adji
"Ha ha ha benar sekali. Banyak yang lupa ya apabila di tengah masyarakat Indonesia terdapat budaya saling tolong menolong dan gotong royong.Â
"Gotong royong yang bukan sekedar kerja bakti menyapu jalan atau membersihkan saluran got setiap minggunya tetapi dalam bentuk yang lebih luas,' timpal sang rekan di video tersebut
"Lalu apa alasan masyarakat di Amerika Serikat justru panik memborong senjata api?," tanya sang rekan melanjutkan
"Ha ha ha  ... enggak tahu, mungkin bisa ditanyakan sendiri ke orang Amerika. Yang jelas, meski sempat terdapat pihak-pihak yang mencoba mengaitkan wabah korona dengan urusan politik, Alhamdullilah di Indonesia tidak terjadi kerusuhan seperti di Amerika. Masyarakat Indonesia justru saling tolong dan bergotong royong,"  jawab Adji tetap dengan santuynya.
Nah bicara soal gotong royong, seorang rekan saya yang sudah nonton obrolan di video yang dikirimkan Adji kemudian ikut berkomentar
"Apa yang dilakukan masyarakat Indonesia sudah sangat tepat. Karena Negara Indonesia yang didirikan haruslah negara gotong royong seperti yang disampaikan Bung Karno dalam pertemuan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1 Juni 1945 di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri)," komentar rekan saya tersebut
"Dalam pandangan Soekarno, "Gotong Royong" adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari "kekeluargaan". Gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan satu karyo, satu gawe.Â
Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat  semua buat kebahagiaan semua.Â
Holopis kuntulbaris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!," ujar rekan saya mencoba menjelaskan pendapatnya dengan mendasarkan pada pandangan Bung Karno.
Mengomentari pandangan tentang gotong royong dan sikap masyarakat Indonesia yang terlihat lebih tenang dan pasrah, seorang rekan saya yang lain justru tertarik untuk mengaitkannya dengan kata "Santuy".
Kata tersebut yang belakangan mengemuka dan sering disebut-sebut di masyarakat dan media sosial ketika menyikapi sesuatu hal, termasuk sikap dalam menghadapi musuh berukuran super mikro dan tidak kasat mata yang bernama virus korona 2019 alias Covid-19.
Kata santuy sendiri adalah kata kerja yang sering diucapkan banyak orang, terutama oleh anak milenial. Kata ini sendiri tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) alias tidak termasuk dalam kaidah berbahasa Indonesia.
Anak-anak milenial mengartikan santuy sebagai plesetan dari kata santai. Ada juga yang mengatakan sebagai singkatan dari santai euy dalam bahasa Sunda.
Lebih dari itu, santuy juga bisa diartikan sebagai kondisi mental dimana seseorang mempunyai kekaleman yang tak terpengaruh apapun. Seseorang yang tidak tergoyahkan dan tdak dapat dibuat gusar oleh siapapun.Â
Dan istilah ini mempunyai kesan bersifat merdeka, sehingga memunculkan ketenangan yang mampu melewati keriuhan obrolan netizen yang budiman di media sosial.
Dalam sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sikap santuy yang diperlihatkan masyarakat Indonesia juga bukan barang baru.
Ketika berjuang merebut kemerdekaan misalnya, para pendiri bangsa dan masyarakat Indonesia dengan santuy dan bersikap merdeka sangat yakin dapat mengusir penjajah dan membawa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan.
Padahal kalau melihat kondisi faktual saat itu, Indonesia sama sekali tidak memiliki senjata militer yang canggih, apalagi menguasai teknologi militernya. Yang menonjol justru penggunaan senjata tradisional seperti keris atau bambu runcing untuk melawan musuh.
"Namun jangan lupa, para pendiri bangsa berhasil menyepakati dasar negara yang dapat mempersatukan beragam ras, agama dan suku bangsa di Nusantara yang dinamakan Pancasila.Â
Indonesia mempunyai nilai-nilai gotong royong yang merupakan amalan dari Pancasila, yakni nilai ketuhanan. Hal itu menjadi dasar bangsa Indonesia untuk pada akhirnya bisa keluar dari tekanan penjajah," ujar seorang senior saya di kantor
"Benar sekali, kata kuncinya adalah gotong royong sebagai amalan dari nilai ketuhanan yang terdapat di dalam Pancasila. Hal ini pula yang menyebabkan masyarakat Indonesia bisa menghadapi virus korona dengan santuy," tangpap rekan saya
"Perhatikan saja, sejak Senin 8 Juni 2020 kemarin, ketika aktivitas perkantoran di buka terbatas di Jakarta misalnya, jalan-jalan langsung penuh dengan kendaraan, begitu pun sarana transportasi umum seperti bus kota dan KRL sudah mulai dipadati penumpang," ujar rekan saya lebih lanjut.
Pendapat rekan saya tersebut ada benarnya karena setelah sekitar tiga bulan membatasi diri dengan bekerja dari rumah guna mencegah penularan virus korona, maka ketika kebijakan adaptasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan, masyarakat dengan santuy menyambut dengan suka dan kembali memenuhi ruang-ruang publik, memenuhi jalan-jalan raya, memenuhi halte, stasiun bus dan stasiun kereta.
"Ingat, meski aktivitas mulai bergerak dan bersikap santuy, sebaiknya kita senantiasa mentaati perintah Allah untuk ikhtiar bagi kebaikan bersama antara lain dengan memakai masker.
"Untuk mengurangi kebosanan karena mengenakan masker standar, bisa lho pakai pakai masker trendi dengan aneka motif yang menarik dan lucu-lucu," timpal seorang rekan saya lainnya yang sedang aktif mengkampanyekan gerakan pakai masker dengan tema "Lindungi Aku dan Kamu".
"Ingat pula, data penyebarluasan virus korona yang disampaikan juru bicsra setiap hari belum memperlihatkan tanda-tanda menurun. Karenanya dengan mengenakan masker, semoga Allah dengan rahmatNya menghindarkan wabah korona dan wabah-wabah yang lain dari muka bumi," tambahnya
"Dan jangan lupa, kita sekarang juga punya juru bicara Covid-19 yang santuy #eh cantik sehingga enak dipandang mata lho yaitu Dokter Reisa Broto Asmoro. Terlihat lebih segar, tidak bosan menyaksikan sosok Dokter Ahmad Yurianto yang selama 3 bulan ini menjadi juru bicara tunggal," ujar senior saya yang tadi berkomentar soal gotong royong dengan nilai-nilai Pancasila.
"Ah siap Senior ... kenapa tidak dari sejak awal menunjuk juru bicara cantik?"
Bekasi, 10 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H