Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Selamat Jalan Lord Didi Kempot

5 Mei 2020   14:25 Diperbarui: 5 Mei 2020   14:24 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Didi Kempot saat Konser Amal di Komopas TV 11 April 2020 / Foto Dok Pribadi

Berkiprah sejak 1989 dan dikenal para penggemar musik campursari di Jawa Tengah, yang umumnya orang dewasa, nama Didit Kempot kembali mencuat di tengah kegalauan di antara anak muda milenial pada 2019. Selain sebutan Lord, anak-anak muda milenial penggemarnya juga menjulukinya sebagai the Godfather of Broken Heart, karena lagu-lagunya yang bernuansa patah hati.

Penggunaan julukan "Godfather" sendiri mengingatkan kita akan sebuah film tahun 1972 berjudul the Godfather yang dibintangi Marlon Brandon. Film ini bercerita tentang organisasi rahasia di Sisilia dan Amerika Serikat pada abad pertengahan yang kerap disebut sebagai mafia. Organisasi memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan illegal, pengorganisasian kejahatan berupa kesepakatan dan transaksi secara ilegal, abritase perselisihan antar kriminal, dan penegakan hukum sendiri (main hakim).

Dalam perkembangannya, istilah "mafia" telah melebar hingga merujuk kepada kelompok besar apapun yang melakukan kejahatan terorganisir (seperti Mafia Rusia, Yakuza di Jepang), dan Triad di China). Sementara secara harfiah, godfather berarti ayah perwalian. Jadi sebenarnya Godfather of the Brokenheart sendiri dapat diartikan sebagai ayah perwalian dari mereka yang patah hati.

Julukan tersebut cocok sekali di tengah kegalauan anak-anak muda yang sedang kasmaran dan kerap patah hati, Anak-anak muda tersebut menggemari lagu-lagu nestapa dan patah hati yang khas Didi. Sedih namun bisa membuat pendengarnya bergoyang alias bergembira dalam kesedihan. Saking gandurungnya, anak-anak muda ini berhimpun dalam perkumpulan Sad Bois, Sad Girls, Sobat Ambyar, dan lain sebagainya.

Kebangkitan kembali seniman tradisional Didi Kempot lewat media sosial tentu saja menjadi suatu fenomena yang menarik karena media sosial Twitter dan YouTube malah justru mendorong kemunculan kearifan lokal. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan pandangan kelompok anti-globalisasi. Buat mereka, hal seperti ini tidak mungkin terjadi karena media sosial dipandang sebagai agen globalisasi yang menghancurkan budaya asli bangsa.

Media sosial dipandang sebagai pintu masuk budaya asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan, sebagai agen Barat yang memusnahkan kebudayaan asli suatu bangsa. Jadi, kalau mau melindungi kebudayaan asli bangsa, jangan mau menerima globalisasi di bidang budaya. Itulah premis yang berlaku bagi kelompok anti-globalisasi.

Dalam pandangan kelompok anti-globaliasi, globalisasi itu berasal dari Barat dan menjadi alat penyebaran semua hal berbau Barat, termasuk budaya. Jadi menerima globalisasi sama saja menyerahkan budaya asli bangsa kepada budaya barat. Globalisasi adalah zero-sum game yang harus dihindari.

Fenomena Lord Didi memperlihatkan bahwa konsep zero sum game tidak berlaku. Lagu-lagu campursari yang digaungkan Lord Didi merupakan bagian budaya masyarakat yang unik dan menonjol. Sama halnya seperti musik gambang kromong yang dibawakan Benyamin Suaeb. Ia menjadi sebuah sub-kultur yang membumi di masyarakat. Ketika pembumian itu terjadi, ia menjadi sebuah identitas budaya yang dibawa oleh setiap anggota masyarakat. Di manapun dan kapanpun. Termasuk di media sosial.

Anak muda milenial mengidentifikasikan pengalaman hidupnya dengan lagu-lagu campursari melalui berbagai postingan soal Didi Kempot di media sosial. Mulai dari ekspresi para Sad Bois, Sad Girls dan Sobat Ambyar  ketika menonton Godfather mereka bernyanyi. Hingga berbagai meme plesetan lirik lagunya yang terkenal. Semuanya secara serentak menjadi agen budaya asli bangsa untuk manggung di kancah nasional, bahkan internasional.

Campursari adalah medium pelipur lara, bukan lagi musik kampungan. Melalui campursari para penikmatnya bisa melampiaskan semua nelangsa dalam hati, sambil berjoget menikmati irama musik Jawa. "Dari pada bersedih hati, lebih baik dijogeti," begitu kata anak-anak muda milenial.

Sekarang Lord Didi sudah pergi. Ia seperti sudah menyelesaikan segala tugasnya untuk melakukan kebaikan di dunia, menghibur mereka yang merasa ambyar karena patah hati. Konser Amal 11 April 2020 adalah kebaikan besar yang terakhir dilakukannya, sebelum pada akhirnya tiba waktunya untuk dia kembali pada sang Pencipta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun