Apalagi sebenarnya keduanya juga memiliki persamaan yang kuat yaitu punya latar belakang pendidikan pesantren dan sama-sama penulis yang produktif. Â
Buku gotong royong Kang Maman dan Gus Nadir setebal 238 halaman tersebut menarik untuk disimak sejak dari disain sampul yang mirip novel populer dengan gambar dua pria, yang seorang berkepala plontos berkacamata dan seorang lagi berkacamata, berambut gondrong mengenakan kopiah.
Ditulis ringan dan pendek-pendek seperti menulis status di media sosial, buku ini enak dibaca dan perlu karena berisi perenungan, pengamatan dan pemikiran tentang agama, ilmu dan kemanusiaan. Karena dituliskan dengan santuy, mengalir dan rileks, kita tidak merasa terbebani saat membacanya. Yang ada, kita seperti sedang mendengarkan cerita dari penulisnya.
Menariknya pula, ketika usai membaca buku tersebut, kita tidak merasa membaca dua buku yang berbeda. Kedua penulis cerdik untuk menempatkan masing-masing tulisannya secara selang seling dengan tanpa kehilangan identitas penulisnya (lha iya karena setiap artikel ada gambar kartun penulisnya).
Dengan struktur buku seperti di atas dan alur tulisan yang mengalir serta to the point, saya merasa sedang diingatkan tanpa terkesan digurui dan tanpa banyak mengerutkan kening di setiap artikelnya.Â
Artikel-artikel singkat tentang renungan, pengamatan dan pemikiran kedua penulis yang mana intisarinya berasal dari pengalaman, kenangan masa kecil, pandangan hidup dan kebiasaan-kebiasaan sederhana yang dilakukannya untuk menyikapi kehidupan sehari-hari, mengalir begitu saja seperti orang sedang mengobrol.
Sesuai judul buku hidup kadang begitu, kedua penulis ingin bercerita bahwa kenyataan hidup memang tidak selamanya lancar jaya. Kerap kali dalam kehidupan kita dihadapkan pada berbagai permasalah.Â
"Makanya santuy saja kalau hidup berjalan tidak sesuai mau kita, rasakan bahwa hidup yang berliku malah lebih seru," seru kedua penulis. Â
Dalam artikel "Mengejar atau dikejar" Kang Maman misalnya bercerita tentang serunya menerima rezeki yang tidak terduga-duga. Ia bertutur bahwa suatu saat ia sangat berharap mendapat honor narasumber yang cukup besar dari sebuah acara yang cukup besar dan mewah, namun yang didapat ternyata hanya ucapan terima kasih.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, Â maka ketika menjadi narasumber dalam suatu acara yang sederhana, ia pun pasrah untuk tidak berpikir soal honor. Karenanya ketika meninggalkan tempat acara dan tidak ada anggota panitia yang memberikannya honor ataupun sekedar menawarkan makan siang, ia pun tidak kecewa dan pasrah.
Namun tanpa diduga, di saat ia sudah sedemikian pasrah justru rezeki itu datang. Ketika ia sedang makan siang di sebuah warung tidak jauh dari lokasi acara, datang menyusul ketua panitia acara yang kemudian memberikan honor yang cukup besar dan meminta maaf karena anggota panitia lupa memberinya.Â