Ketika akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada September 2018 memilih Ketua Majelis Ulama Indonesia KH Ma'ruf Amin atau Pak Kyai sebagai wakilnya dalam pemilihan Presiden/Wakil Presiden periode 2019-2024 tidak sedikit anggota masyarakat yang merasa heran.
Dari isu-isu yang beredar sebelumnya, masyarakat mengira bahwa Jokowi akan memilih wakilnya dari kalangan yang lebih muda. Belum lagi sesaat sebelum pengumunan nama calon wakil presiden, nama Mahfud MD muncul sebagai calon terkuat jabatan wakil presiden. Bahkan Mahfud MD sudah diminta mengukur baju yang akan dikenakan saat pengumuman.
Tetapi karena dalam pemilihan wakil presiden yang berbicara adalah sistim politik di mana segala sesuatunya diperhitungkan dengan seksama dan sesuai kepentingan politik maka pemilihan Pak Kyai sebagai wapresnya Jokowi juga tidak terlepas dari kepentingan politik.Â
Jokowi memilih Pak Kyai sebagai calon wakil presiden karena berharap lawan politiknya tidak akan lagi menggunakan isu agama untuk memenangkan kontestasi Pilpres 2019. Sebuah strategi yang jitu, karena pada akhirnya Jokowi terpilih kembali sebagai Preisden RI untuk kedua kalinya.
Sama seperti halnya dengan keheranan masyarakat mengenai dipilihnya Pak Kyai sebagai Wakil Presiden RI, masyarakat pun heran jika disebutkan bahwa Pak Kyai sebenarnya adalah orang Tanjung Priok, sebuah wilayah di Jakarta Utara yang disebut-sebut sebagai daerah kriminal karena kemiskinan. Banyak anggota masyarakat yang akan bilang bahwa Pak Kyai adalah orang Banten.
Jika membaca buku "KH Ma'ruf Amin Penggerak Umat Pengayom Bangsa" tulisan Arif Punto Utomo (Cetakan pertama Maret 2018), benar bahwa Pak Kyai memang orang Banten yang lahir di desa Kresek. Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang tanggal 11 Maret 1943. Beliau adalah anak tunggal dari pasangan KH Muhammad Amin dan Hj Maimunah. Ayahnya adalah pemilik pesantren di desa Koper, tetangga desa Kresek. Â
Namun meskipun orang Banten kelahiran Tangerang, hampir seluruh hidup Pak Kyai justru dihabiskan di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pak Kyai pindah dan menetap di Tanjung Priok sejak usia 21 tahun, tidak lama setelah Beliau menikah dengan Huriyah pada 26 Mei 1964. Menurut Pak Kyai, daerah Tanjung Priok dipilih sebagai tempat menetap karena di daerah tersebut banyak orang Kresek.
Pada saat itu kawasan Tanjung Priok adalah daerah yang menjadi melting pot dalam skala kecil, tempat saling bertemunya berbagai suku di Indonesia antara lain dari Banten, Makasar-Bugis, Madura, Jawa, Sunda dan tentu saja Betawi. Kawasan ini memiliki basis Islam yang kuat sehingga tidak mengherankan jika pada setiap Pemilu selalu menjadi rebutan partai-partai Islam. Bahkan pada Pemilu 1977, Partai Persatuan Pembangunan, yang dipandang sebagai partai yang merepresentasikan masyarakat Islam di jaman Orde Baru, menang telak di Tanjung Priok.
Menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Tanjung Priok, tepatnya di Jalan Deli Lorong 27 dan baru pindah ke kawasan elit Menteng Jakarta Pusat ketika menjadi calon Wakil Presiden tahun 2018, tidak membuat seorang Ma'ruf Amin dan keluarganya menjadi kriminal.Â
Justru lingkungan di Tanjung Priok yang berisikan pendatang dari berbagai daerah dan sebagian di antaranya berasal dari keluarga nahdliyin (Nahdlatul Ulama) mampu menempa pribadi Ma;ruf Amin menjadi sosok kyai kharismatik dan disegani, bukan hanya oleh umat Muslim tetapi juga yang non-Muslim. Sebagai seorang Kyai, beliau juga diakui memiliki pemahaman dan wawasan kebangsaan yang luas.
Kawasan Tanjung Priok yang konon keras justru menempa pribadi Ma'ruf Amin menjadi seorang yang konsisten dan kuat dalam menekuni kegiatan di bidang pendidikan dan dakwah. Dari Tanjung Priok inilah Pak Kyai menapaki jenjang karirinya di bidang pendidikan, dakwah dan politik. Karirnya mulai dari bawah, dari pendidik, anggota hingga Pengurus NU Tanjung Priok dan Pusat, menjadi anggota DPR RI, Ketua Majelis Ulama Indonesia hingga sekarang ini menjadi Wakil Presiden RI.
Dalam berkarir di organisasi, bukan hanya Pak Kyai yang aktif dalam berkegiatan di organisasi NU, istrinya pun aktif berkegiatan. Apabila Pak Kyai aktif di kegiatan organisasi pemuda NU, istri Pak Kyai (almh. Ibu Huriyah) aktif di Fatayat NU, termasuk mendirikan Majelis Taklim Nurul Irfan.
Mengomentari tudingan bahwa di Tanjung Priok ada kriminal yang lahir dari kemiskinan, jauh sebelum pernyataan tersebut keluar, Pak Kyai pernah mengatakan bahwa kesan Tanjung Priok keras atau kriminal sebenarnya datang dari orang luar yang tidak mengenal daerah tersebut. Karena dekat pelabuhan, banyak orang yang mengenal Tanjung Priok sebagai wilayah Bronx, wilayah keras dan kriminalitas tinggi.
Tapi menurut Pak Kyai, bagi orang yang tinggal di Tanjung Priok, rasanya biasa saja. Kalaupun  ada tindakan kriminal itu adalah anak-anak yang suka menjadi bajing luncat, yang mengambil barang-barang dari truk yang melintas di Priok.
"Dulu ketika harus pulang jam 12 malam karena ada kegiatan organisasi, tidak pernah apa-apa, sekarang pulang malam juga tidak apa-apa," begitu kata Pak Kyai dalam buku "KH Ma'ruf Amin Penggerak Umat Pengayom Bangsa"
"Ehm... Pak Kyai Ma'ruf kan cuma satu orang saja di Tanjung Priok yang berhasil lepas dari jerat kriminal, kekerasan atau kemiskinan di sana," begitu komentar sinis yang sering muncul dari beberapa orang yang tidak mengenal Tanjung Priok Â
"Ehmm juga... tanpa menyebut nama, banyak orang Tanjung Priok yang berhasil di berbagai bidang. Ada yang pernah menjadi menteri, banyak yang menjadi Direktur Jenderal atau Direktur di Kementerian/Lembaga Pemerintah, anggota DPR, Perwira tinggi militer/Polri, CEO perusahaan, Professor di berbagai perguruan tinggi di dalam dan luar negeri, dan berbagai profesi terhormat lainnya."
Sejatinya, seperti halnya kehidupan, ada yang baik dan ada yang tidak baik, maka di Tanjung Priok juga banyak orang baik dan ada beberapa yang melakukan tindak kriminal. Namun melakukan generalisasi kemiskinan di Tanjung Priok sebagai sumber kriminal jelas keliru.
Dikutip dari berbagai sumber, kemiskinan pada dasarnya bisa dibedakan menjadi dua macam, yakni kemiskinan material dan kemiskinan spiritual. Yang dimaksud kemiskinan material adalah keadaan kurang atau miskin dari harta benda duniawi. Sedangkan yang dimaksud kemiskinan spiritual adalah kemiskinan yang tidak ada kaitannya dengan kekurangan harta benda duniawi, tetapi terkait dengan kurangnya akan iman atau jiwa.
Dari kedua macam kemiskinan tersebut di atas kita bisa melihat bahwa orang yang kaya harta bisa saja ia sesungguhnya adalah orang miskin disebabkan karena lemahnya jiwa atau iman. Orang seperti ini disebut orang miskin spiritual. Miskin spiritual bisa sama bahayanya dengan miskin material.
Sering kita menjumpai bentuk-bentuk keserakahan yang menunjukkan kemiskinan spiritual, Â seperti orang kaya yang enggan mengeluarkan zakat dan sedekahnya, melakukan kecurangan dalam berbisnis atau setoran pajak demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.Â
Comtoh lain, tidak sedikit kita jumpai orang-orang yang secara material sudah kaya raya dan lahir serta tinggal di kawasan elit, tetapi mereka melakukan korupsi besar-besaran yang merugikan negara dan menyengsarakan rakyat. Orang-orang seperti itu sesungguhnya adalah orang-orang miskin. Mereka miskin bukan karena kekurangan harta benda duniawi tetapi kurangnya iman.
Jadi daripada menjadikan Tanjung Priok sebagai contoh wilayah miskin penyebab kriminalitas, lebih baik membaca dan mematuhi penjelasan Pak Kyai yang adem tersebut di atas Gunakan narasi yang menyejukkan saat menyampaikan sesuatu, khususnya di media sosial, sehingga perkataan yang dikeluarkan tidak menyinggung orang lain.
Kalau setelah membaca penjelasan Pak Kyai tapi belum muncul pandangan objektif terhadap Tanjung Priok, maka waktunya untuk berkunjung ke wilayah tersebut. Sering-sering ngopi bareng di Tanjung Priok, jangan hanya ngopi di mall atau kafe elite saja. Tinggallah beberapa waktu di Tanjung Priok dan rasakan kebersamaan dan keberagaman nyata di sana..
Salam Anak Priok  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H