Seolah kado bagi bulan Bahasa 2019, pada 30 September 2019 Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.Â
Perpres ini dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa dalam aturan sebelumnya (Perpres Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara lainnya) belum mengatur secara teknis penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pasal 40 UU Nomor 24 Tahun 2019.
Menariknya, meski Perpres nomor 63 0tahun 2019 tersebut jelas untuk menggantikan Perpres Nomor 16 Tahun 2010, tidak sedikit pihak yang kemudian memandang penerbitan Perpres nomor 63 tahun 2019 tersebut sebagai upaya Presiden Jokowi menghindar dari penggunaan bahasa asing saat berbicara pada forum-forum internasional di luar negeri yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), organisasi internasional atau negara penerima.
Kompas.com misalnya memberitakan penerbitan Perpres nomor 63 tahun 2019 dengan judul "Jokowi Teken Perpres, Pidato Presiden di Luar Negeri Wajib Pakai Bahasa Indonesia" atau CNBC Indonesia yang memberi judul "Jokowi Wajibkan Pejabat Gunakan Bahasa Indonesia Dalam Pidato".
Benar pasal 5 Perpres nomor 63 tahun 2019 menyebutkan bahwa "Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri," namun demikian pengaturan dalam pasal tersebut bukan suatu hal yang baru karena sudah ada dalam Perpres nomor 16 tahun 2010, peraturan yang dibuat semasa Presiden Soesilo Bambang Yudhyono (SBY).
Dengan pemikiran sederhana, jika Perpres nomor 63 tahun 2019 dipandang sebagai upaya Presiden Jokowi untuk menghindar dari penggunaan bahasa asing, maka Perpres nomor 16 tahun 2010 semestinya juga merupakan upaya Presiden SBY untuk menghindari dari hal yang sama. Padahal apa kurangnya SBY dalam berpidato, selain cermat memilih kata. SBY juga lancar berbahasa asing (Inggris). Wong sekolahnya saja pernah di Amerika Serikat.
Dengan demikian pasal 5 Perpres nomor 63 tahun 2019 bukanlah pasal istimewa untuk Presiden Jokowi karena sebenarnya sudah diatur sejak 2010. Lagipula seorang Presiden/Wakil Presiden dan pejabat negara menggunakan bahasa nasionalnya adalah hal yang lumrah dan menjadi praktik kebiasaan internasional.
Pengalaman saya saat bertugas di Tiongkok, semua pejabatnya mulai dari Presiden hingga pejabat daerah selalu berbicara dalam bahasa Mandarin dengan didampingi penerjemah, biasanya penerjemah Bahasa Inggris. Presiden dan pejabat Tiongkok tersebut bukannya tidak bisa berbahasa asing, karena tidak sedikit yang berpendidikan luar negeri, tapi mereka melakukan hal tersebut untuk menunjukkan nasionalismenya.
Contoh paling ekstrem adalah yang dilakukan Menteri Luar Negeri Tiongkok. Setiap pertemuan resmi atau menerima delegasi asing, yang bersangkutan berbicara dalam bahasa Mandarin dan didampingi seorang penerjemah. Padahal sang Menteri pernah mengenyam pendidikan di Amerika Serikat dan pernah bertugas di Kedutaan Tiongkok di Amerika Serikat.Â
Ada sedikit pengalaman unik, suatu saat saya mendampingi Menteri Perdagangan RI Marie Elka Pangestu bertemu dengan Menteri Perdagangan Tiongkok. Sesuai ketentuan, Â sang Menteri Perdagangan Tiongkok berbicara dalam bahasa Mandarin kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh penerjemah yang duduk disampingnya. Â
Ketika saat harus menerjemahkan suatu istilah teknis perdagangan, Â si penerjemah rupanya kesulitan mengalihbahasakan suatu kata dalam bahasa Mandarin ke Inggris, Â maka kemudian si Menteri berbicara dalam bahasa Inggris untuk menjelaskan maksudnya. Â