Kurang nyaman rasanya saat semua orang merayakan kemenangan di hari Iedul Fitri, kita justru membahas soal teror bom bunuh diri. Tetapi lebih tidak nyaman bagi kita semua saat menjelang hari raya justru mengetahui telah terjadi upaya bom bunuh diri  pada Senin 3 Juni 2019 sekitar pukul 23.00 WIB di pos pengaman Polres Surakarta yang dilakukan seorang pemuda yang belakangan diketahui bernama Rofik Asgarudin (22 tahun).
Aksi yang dilakukan dua hari setelah peringatan hari lahir Pancasila pada 1 Juni 2019 dan dua hari menjelang umat Muslim merayakan Idul Fitri 1440 H  pada 5 Juni 2019 jelas mengusik perasaan. Aksi tersebut mengingatkan bahwa teror terhadap keamanan masyarakat dan ancaman terhadap  ideologi Pancasila masih ada. Pelaku teror masih berselieweran di sekitar kita, terus hidup dan berkembang meski upaya pencegahannya telah dilakukan dengan seksama. Gerakan untuk menggantikan Pancasila masih kuat, baik dari golongan "kiri" ataupun "kanan".
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian besar pelaku teror, termasuk Rofik adalah pengikut doktrin dan ideologi sesat yang bertentangan dengan ajaran agama dan berkeinginan mendirikan negara berdasarkan ideologi yang diyakininya dan menggantikan ideologi Pancasila.
Rofik ditenggarai merupakan anggota suatu kelompok yang terpapar ajaran yang menentang ideologi Pancasila. Hal ini diketahui dari pernyataan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakara, Dr. Syamsul Bakri kepada media (4/6), pelaku ternyata sempat mendaftar di IAIN Surakarta dan diterima. Namun, pelaku kemudian tidak kuliah di IAIN Surakarta karena menolak mata pelajaran Pancasila.
Dari penrnyataan Wakil Rektor IAIN diketahui bahwa pelaku teror tidak memahami nilai-nilai Pancasila secara komprehensif dan cenderung mengagungkan ideologinya dengan cara menebar teror. Cara teror atau kekerasan itulah yang menimbulkan disintegrasi bangsa Indonesia yang sudah semestinya harus dihancurkan dan dimusnahkan dalam masyarakat Indonesia.
Hari raya Idul Fitri yang sejatinya merupakan hari perayaan umat Islam atas keberhasilannya kembali kepada kesucian justru dinodai oleh aksi teror oleh mereka yang mengaku Muslim. Â Aksi teror Rofik pun semakin memperkuat catatan sejarah bahwa berbagai peristiwa perlawanan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara kerap dilakukan.
Catatan tersebut memperkuat kekhawatiran adanya kelompok atau gerakan yang ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain. Survei Harian Kompas yang dipublikasikan pada 3 Juni 2019 menunjukkan bahwa 23.9 persen responden sangat khawatir dan 54,4 persen khawatir terhadap kelompok yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain.
Ada dua penyebab kekhawatiran tersebut di atas, yaitu pertama, adanya persepsi mengenai melemahnya semangat toleransi dalam politik di Indonesia, terutama pasca pemilihan presiiden, 2014 dan 2019. Terjadi polarisasi antar pendukung calon presiden yang semakin menguat dan diikuti munculnya gerakan-gerakan berbasis primodialisme. Ciri gerakan tersebut adalah pemikiran dan garis perjuangan yang cenderung eksklusif.
Kedua, terpinggirkannya upaya penanaman nilai-nilai Pancasila pasca reformasi 1998 aikbat menguatnya sikap akomodatif terhadap beragam pandangan, Pancasila semakin dipinggirkan karena dianggap warisan Orde Baru dan pada saat itu menjadi alat legitimasi kekuasaan.Â
Dalam kondisi tersebut di atas, masuklah ideologi lain yang menentang Pancasila dan mulai menyebar di tengah masyarakat. Ancaman yang tidak ringan karena membahayakan keutuhan NKRI yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa.
Karena itu Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 yang menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila dan Hari Libur Nasional serta wajib diperingati setiap tanggal 1 Juni merupakan suatu keputusan yang sangat tepat.