Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Menjajal Kuliner Garis Keras di Juanda

30 April 2019   06:15 Diperbarui: 30 April 2019   08:16 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Spanduk coto Makasssar / foto Aris Heru Utomo

Jalan Ir H Juanda, Jakarta,  merupakan sebuah jalan yang membentang dari simpang Harmoni hingga pertigaan Gedung Kesenian Jakarta. Jalan ini termasuk salah satu jalan tertua di Jakarta bahkan mungkin di Indonesia. Di jalan ini masih banyak dijumpai bangunan tua bekas peninggalan kolonial Belanda di kanan kirinya.

Selain bangunan kuno,  di Jalan Ir H Juanda juga terdapat sederet tempat kuliner lezat dari berbagai daerah seperti dari Padang (Sumatera Barat), Makassar (Sulawesi Selatan), Sunda (Jawa Barat) atau Madura (Jawa Timur).  

"Kuliner-kuliner garis keras!, " celetuk seorang rekan saya.

"Maksud saya,  kuliner-kuliner dari daerah tersebut tersebut banyak yang dikenal kelezatannya,  bahkan bisa disebut melegenda, sehingga pantas disebut garis keras" jelas rekan saya tersebut dengan segera,  khawatir celetukannya disalahartikan lebih lanjut.

"Coba saja perhatikan,  di sepanjang jalan H. Juanda terdapat restoran-restoran Padang yang menyajikan menu yang lezat seperti restoran Sederhana,  Sari Bundo ataupun Siang Malam. Ada soto Madura,  ada juga restoran coto Makassar di samping restoran Padang Siang Malam" jelasnya lebih lanjut

"Letak restoran dari berbagai daerah yang beragam dan saling berdampingan juga menunjukkan kerukunan bangsa Indonesia,  yang meski berbeda-beda tetapi satu dan rukun, tidak gontok-gontokan dalam menjual kuliner dagangannya. Konsumen memiliki kebebasan penuh untuk menikmati sajian kuliner yang dikehendaki" tambahnya

Spanduk coto Makasssar / foto Aris Heru Utomo
Spanduk coto Makasssar / foto Aris Heru Utomo
Apa yang dikatakan rekan saya tersebut memang benar adanya dan tidak mengada-ada karena hari ini saya berkesempatan menjajal salah satu kuliner yang dikenal kenikmatannya.  Bersama dua orang rekan, saya menjajal coto Makassar di Jalan H.  Juanda tersebut. Seperti disebut rekan saya,  restoran coto Makassar ini persis terletak di samping restoran Padang Siang Malam.  

Sama seperti halnya restoran Padang Siang Malam,  restoran coto Makassar ini berada di lantai satu di sebuah gedung kuno yang pernah menjadi kantor Persatuan Wartawan Indonesia.  

Gedungnya terlihat sudah agak kumuh dan terdapat kerusakan disana-sani.  Interior restoran coto Makassar terlihat masih mempertahankan keaslian gedung dengan potret-potret lawas para pahlawan nasional menempel di dlnding, bahkan di teras terdapat foto-foto lawas Soekarno.

Begitu duduk di kursi restoran,  kami bertiga langsung memesan tiga mangkuk coto Makassar daging sapi, selain coto daging sapi tersedia pula coto berisi jeroan.  Sementara di meja makan sudah tersaji ketupat dan buras sebagai kelengkapan coto.

Tidak pakai lama,  begitu coto tersaji kami pun menyantapnya saat coto masih hangat.  Rasanya yang begitu enak dan lezat, serta kuahnya gurih langsung terasa. Aromanya yang khas pun langsung tercium.    

"Menikmati coto Makassar bukan sekedar rasa di lidah  tetapi kita merasakan filosofi yang terkandung di dalamnya" kata rekan saya yang berasal dari Makassar

"Umumnya orang Makassar tidak mencampur potongan ketupat dengan coto di mangkuk seperti masyarakat di daerah lain,  melainkan di mulut.  Tentu ada tujuannya, yaitu agar cita rasa ketupat dan coto bertemu dan menyatu di rongga mulut,  bukan di  mangkuk" ujar rekan saya menjelaskan makna dibalik makan ketupat dan coto.  

"Wah jadi tidak sesuai dengan pepatah yang mengatakan asam di gunung garam di laut bertemu di belanga dong" ujar saya

"Ha ha ha iya,  belanganya adalah rongga mulut itu sendiri,  bukan  mangkok. Rongga mulut adalah tempat yang sempurna untuk memadukan kenikmatan kuliner apapun" jawab rekan saya agak serius

"Coba kalau mulut kita sedang tidak enak atau sakit,  maka seenak dan sebagus apapun sajian sebuah kuliner tidak akan ada rasanya di mulut, " jelasnya lebih lanjut

"Benar sekali,  ternyata kuliner garis keras itu nikmat juga ya dan ada nilai-nilai yang bisa digali, tentang kebersamaan dan perpaduan cita rasa" jawab saya sambil menyuap kuah dan daging coto ke mulut,  menyusul potongan ketupat yang sudah menanti di rongga mulut

"Jadi seperti bangsa kita  yang terdiri dari beragam suku bangsa dan bersatu menjadi satu bangsa,  bangsa Indonesia, " saut rekan saya yang satunya,  yang dari tadi asyik mengunyah buras.  

"Benar sekali," jawab kami berdua bersamaan

"Jadi mari kita rayakan persatuan dan kesatuan dengan terlebih dahulu menikmati coto Makassar ini.  Besok-besok kita coba kuliner khas lainnya," seru saya 

"Setuju"  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun