"Iya, anda benar. Nama pulau tersebut adalah Pulau Banda Neira, di Kepulauan Banda. Berdasarkan sejarahnya, pulau tersebut awalnya bernama pulau Run dan dikuasai oleh Pemerintah Inggris. Namun melalui perundingan dan perjanjian Belgia antara Pemerintah Inggris dan Belanda, Pulau Run milik Inggris ditukar dengan properti milik Belanda di New Amsterdaam - Manhattan yang sekarang jadi New York," Â Ujar Dubes Rubio menjelaskan.
"Pulau Banda Neira sangat asri dengan pohon-pohon besar dan tua di sepanjang jalan. Pulaunya indah, tidak mengesankan kekejaman atau asosiasi lainnya yang identik dengan lokasi pembuangan. Terumbu karangnya juga indah," kata Dubes Rubio
Sambil mendengarkan penuturan Dubes Rubio, saya pun mencoba mengingat-ingat kembali pelajaran dan bacaan sejarah saya. Banda Neira adalah salah satu pulau kecil dari sekitar sepuluh pulau-pulau kecil di Kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Pulau Banda Neira pernah menjadi tempat pengasingan mantan Wakil Presiden Pertama RI Mohammad Hatta dan Perdana Menteri M. Sjahrir di tahun 1936 - 1942.
Banda Neira adalah pulau pengasingan terakhir bagi Hatta dan Syahrir setelah sebelumnya diasingkan ke Boven Digoel, Papua. Dari Banda Neira, keduanya kemudian dikembalikan ke Jakarta untuk kemudian bersama-sama mantan Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan lainnya mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
"Saat berkunjung ke Banda Neira saya sempat berkenalan dengan alm. Des Alwi dan juga putrinya Tania Alwi. Sejak itu kami sering berkomunikasi dengan mereka," kenang Dubes Rubio menggambarkan kunjungannya ke Banda Neira dan perkenalannya dengan keluarga Alm. Des Alwi.
"Selain Banda Neira, daerah lain yang saya suka adalah Yogyakarta dan Bali. Dari kedua daerah tersebut saya menyimpan kenangan lewat lukisan yang saya beli. Saya sempat membeli dua lukisan minyak karya Vandersterten di Yogyakarta, sementara di Bali  saya membeli lukisan dekoratif batik Indonesia,"
"Ini lukisan gunung Merapi tengah menyemburkan lava. Lukisan tersebut karya Vandersterten  tahun 2006. Walau menggunakan nama Belanda, tapi si pelukis adalah  orang Indonesia. Saya beli di sebuah galery di Yogyakarta" jelas Duta Besar Rubio sambil menunjuk sebuah lukisan minyak bergambar gunung berapi meletus berukuran 70x60 cm.
"Mr. Ambasador, mengingat penugasan anda yang panjang dan pengalaman yang banyak mengenai Indonesia, mengapa tidak menulis tentang Indonesia?," tanya saya pada suatu kesempatan.
Dubes Rubio tersenyum dan berkata "Saya sebetulnya ingin menulis pengalaman saya di Indonesia. Tapi saya sibuk dengan tugas mengajar di berbagai universitas di Meksiko. Jadi keinginan tersebut sering terlewat"
"Lagi pula saya agak tertinggal soal penguasaan teknologi. Menulis di WA saja lambat dan sering pakai huruf capital semua"
Saya ikut-ikutan tertawa mendengarkan alasan Dubes Rubio.Â