Pada 1 Desember 2018 berlangsung demo mahasiswa Papua di Surabaya. Demo yang mengakibatkan jatuhnya beberapa korban luka-luka tersebut dilakukan untuk memprotes berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
Hanya berselang sehari kemudian, tepatnya pada Minggu 2 Desember 2018 sebanyak 31 pekerja PT Istaka Karya yang tengah membangun jalan di Papua dibantai oleh kelompok gerakan separatis pimpinan Egianus Kogoya. Tindakan kelompok separatis terhadap 31 pekerja di Papua tersebut terjadi di Kali Yigi-Kali Aurak, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua.
Membaca dua kejadian yang berurutan tersebut, sebenarnya sejak awal tidak sulit untuk menduga bahwa terdapat keterkaitan erat antara kegiatan demo mahasiswa Papua di Surabaya dengan pembantaian pekerja di Nduga.
Pembantaian ini adalah contoh klasik bagaimana kelompok separatis di dunia beroperasi. Semua kelompok separatis di dunia memiliki sayap militer dan sayap intelektual (klandestin) yang saling terkoneksi. Karena itu peristiwa demonstrasi mahasiswa Papua yang berpusat di Surabaya terlalu naif jika dipandang sebagai insiden yg berdiri sendiri. Apalagi mengingat bahwa perayaan Papua Merdeka jatuh pada 1 Desember.
Karena itu pula, semestinya antisipasi kemungkinan terjadinya tindakan kekerasan seperti di atas sudah bisa dilakukan lebih dini, setelah sayap klandestin bergerak, sayap militer separatis Papua juga akan bergerak. Tujuan mereka sangat jelas, untuk menarik perhatian dunia atas perjuangan kemerdekaan Papua yang sedang mereka lakukan dan memberikan tekanan politis kepada pemerintah Indonesia. Harapannya adalah agar Pemerintah Indonesia mereformasi kebijakannya dan pada akhirnya menyetujui dilakukannya referendum kemerdekaan
Dalam konteks ini maka menjadi jelas bahwa pembantaian yang terjadi bukanlah tindakan kriminal biasa yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) seperti yang awalnya diberitakan oleh berbagai media mainstream. Pembantaian yang mereka lakukan menunjukkan kembali bahwa pemberontakan masih hidup di Indonesia.
Pernyataan juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Senby Sanbom, bahwa mereka bertanggung jawab atas serangan di Kabupaten Nduga, Papua, jelas memperlihatkan bahwa pembantaian yang dilakukan merupakan tindakan terencana dari gerakan separatis Papua yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Alasan bahwa sasaran penyerangan adalah anggota TNI yang menyamar sebagai pekerja pembangunan jalan raya yang memata-matai kegiatan mereka hanya merupakan alibi agar terhindar dari tuduhan pelanggaran HAM. Para pekerja pembangunan jalan raya adalah 'soft-target' yang sudah ditentukan sejak awal.
Dari dimensi ini para separatis tersebut sudah melakukan kejahatan yang tidak hanya berdimensi pemberontakan, tetapi juga berdimensi terorisme. Lebih jauh, kejahatan yang mereka lakukan pun dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme yang didukung negara (state-sponsored terrorism).
Apakah yang dimaksud terorisme yang didukung negara? Secara sederhana, terorisme yang didukung negara adalah suatu kegiatan teror yang dilakukan oleh aktor bukan negara yang memperoleh dukungan dari pemerintah suatu negara.Â
Dalam kaitan ini, terlepas dari bagaimana definisi terorisme yang kerap dipandang berbeda antara satu negara dengan negara lain, maka tindakan teror yang dilakukan pemberontak Papua jelas memperlihatkan adanya tindakan teror yang didukung negara.