Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Bohemian Rhapsody" dan Kisah Vokalis Gay

13 November 2018   07:09 Diperbarui: 13 November 2018   20:45 3611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Zaman saya masih sekolah menengah pada awal hingga pertengahan tahun 1980an, ada dua poster grup band yang dipasang di kamar saya, yaitu Queen dan The Police. Khusus Queen, selain poster, saya pernah punya kaset berisikan lagu-lagu dari grup itu.

Hampir semua lagu-lagu Queen saya suka, termasuk tentu saja lagu Bohemian Rhapsody yang merupakan sebuah lagu berdurasi enam menit yang ditulis Freddie Mercury pada tahun 1975 untuk album Queen yang berjudul A Night at the Opera.

Pada pertengahan tahun 1980-an beberapa lagu Queen kembali mencuat, apalagi setelah Queen menyanyikannya pada konser kemanusiaan untuk Ethiopia "LIVE AID" yang dikomandani Bob Geldof pada tahun 1985. Beberapa stasiun radio di Jakarta masih kerap memutar Bohemian Rhapsody, selain lagu-lagu Queen lainnya.

Bohemian Rhapsody merupakan sebuah lagu fenomal dari Queen yang menjadi favorit sepanjang zaman. Setiap kali mendengarkan lagu ini, saya semakin penasaran terhadap tafsir yang ingin disampaikan sang penulis lagu. Penafsiran terhadap lirik pada lagu ini sangat terbuka dan pencipta lagunya sendiri tidak pernah menjelaskannya hingga akhir hayatnya.

Mencoba menikmati Bohemian Rhapsody, saya mencoba menafsirkan lirik lagu tersebut. Di lirik lagu tersebut diceritakan tentang nasib seorang anak yang terperangkap dalam bayang-bayang kehidupan dan tidak bisa melepaskan diri dari kenyataan. Namun tidak jelas siapa sesungguhnya si anak tersebut. 

Tapi dengan mengaitkannya dengan akhir tragis kehidupan Freddie Mercury yang meninggal karena AIDS dan membaca referensi, patut diduga bahwa anak tersebut sesungguhnya adalah Freddie Mercury sendiri.

Sebagai seorang yang awalnya memiliki kehidupan normal dan kemudian menjadi gay alias LGBT, ia merasa telah pergi dan menyia-nyiakan kehidupan sebelumnya serta sudah terlambat untuk kembali. Ia pun akhirnya pasrah, baginya, kemanapun angin bertiup dan semua yang terjadi tidak ada yang penting,

Terlepas dari apapun tafsiran terhadap Bohemian Rhapsody, saya sangat senang ketika mengetahui bahwa Bohemian Rhapsody dibuatkan filmnya dan menjadi judul film yang mengisahkan karir grup band asal Inggris itu.

Melalui film tersebut saya berharap antara lain bisa menonton aksi Queen di atas panggung dan menikmati kembali lagu-lagunya, mengetahui tafsiran Bohemian Rhapsody dari pencipta lagunya dan kisah mengenai kenapa Freddie Mercury terkena AIDS. Tapi tentu saja saya tidak berharap film Bohemian Rhapsody seperti film India yang aktor/aktrisnya selalu menyanyi setiap melihat tiang atau batang pohon.

Seusai menonton film Bohemian Rhapsody pada Minggu 11 November 2018 di sebuah bisokop di pusat kota Mexico City, saya merasa bahwa beberapa harapan saya tersebut di atas terwujud dan beberapa lainnya tidak terwujud

Harapan bisa menonton aksi Queen di atas panggung dan menikmati lagu-lagunya jelas terwujud sejak awal pemutaran film. Sejak adegan pembukaan yang menampilkan Freddie Mercury berjalan menuju panggung dan siap tampil saat konser Live Aid 1985, Bohemian Rhapsody sudah menjanjikan akan munculnya banyak lagu-lagu Queen. Apalagi penampilan fisik Rami Malik yang berperan sebagai Freddie Mercury terlihat sangat mirip ketika kamera menyorot cara jalan Freddie Mercury menuju panggung.

Adegan kemudian mundur ke masa-masa awal Freddie Mercury memulai karir musiknya ketika bergabung dengan Brian May dan Roger Taylor lewat grup band Smile di tahun 1970. Setelah John Deacon masuk ada.

1971, nama band kemudian berubah menjadi Queen atas usulan Freddie Mercury. Tidak diceritakan bagaimana reaksi ketiga anggota lainnya ketika nama Queen diusulkan, tiba-tiba mereka setuju saja dengan usulan nama baru tersebut.

Sejak awal penonton memang sudah digiring untuk berpandangan bahwa cerita tentang Queen adalah tentang autobiografi Freddie Mercury, yang meninggal pada usia 45 tahun karena AIDS. Bagaimana lagu-lagu hits Queen tercipta berkat kejeniusan Freddie menulis lagu dan aksi panggungnya yang memikat.

sumber foto : Dokpri
sumber foto : Dokpri
Adegan favorit saya adalah ketika digambarkan mengenai proses pembuatan lagu Bohemian Rhapsody di studio. Dengan penuh semangat, kompak dan penuh kreativitas mereka membuat lagu tersebut. Digambarkan bagaimana mereka harus berulang-ulang mengambil suara dan menggunakan alat bunyi yang tidak lazim agar bisa menghasilkan suara dan musik yang sesuai dengan yang diharapkan, misalnya saat Roger Taylor mengeluarkan lengkingan suara "Galileo ... Galileo ... Galileo ... Figaro".

Adegan yang sangat memuakkan adalah saat Freddie Mercury selesai menyusun komposisi lagu "Love of My Live" dan kemudian berciuman dengan manajernya, Paul Prenter (yang juga seorang pria).

Secara vulgar adegan ini dan pernyataan Paul Prenter bahwa Freddie Mercury mempunyai kecenderungan menyukai sesama jenis memang dimaksudkan untuk memperlihatkan ke penonton mengenai adanya perubahan perilaku seksual Freddie Mercury sejak tahun 1975. (Saya yakin adegan berciuman ini tidak muncul di bioskop Indonesia).

Sebelumnya juga ada adegan (meski samar) tentang hasrat Freddie Mercury yang malu-malu bertatapan dengan sopir truk dan kemudian menyusul sopir truk tersebut ke kamar mandi pria.

Secara keseluruhan saya sangat menikmati film ini. Saya seperti sedang menonton konser Queen di gedung bioskop, khususnya saat adegan Queen tampil di konser LIVE AID tahun 1985 di Stadion Wembley, London.

Tanpa sadar saya pun ikut bernyanyi dan menghentakkan kaki. Sambil melirik ke penonton di sekitar, saya perhatikan mereka juga melakukan hal yang sama. Meski tentu saja bernyanyi lirih, tidak histeris seperti saat nonton konser sesungguhnya.

Dibuka dengan lagu Bohemian Rhapsody, Freddie Mercury terlihat tampil sangat prima dan seolah-olah konser LIVE AID adalah konser terakhirnya. Rami Malik benar-benar terlihat penuh totalitas memerankan dirinya sebagai Freddie Mercury. Melihat akting Rami Malik, saya seperti melihat Freddie Mercury hidup kembali dan beraksi penuh semangat di atas panggung, menembangkan lagu Bohemian Rhapsody, Radio Gaga hingga We are The Champion.

Di luar aksi bermusik Queen dan Freddie Mercury, saya sebenarnya agak kecewa karena dua harapan lainnya tidak terjawab yaitu adanya penafsiran yang jelas terhadap lagu Bohemian Rhapsody dan mengapa personil Queen lainnya seperti membiarkan Freddie Mercury terperosok sebagai seorang gay alias LGBT. Penceritaan kehidupan Freddie Mercury di luar urusan musik seperti dibiarkan mengambang.

Soal tafsiran lagu Bohemian Rhapsody, misalnya. Meski digambarkan proses kreatif lahirnya lagu tersebut di studio, tapi tidak muncul perdebatan atau diskusi mengenai makna kata-kata yang digunakan dalam lagu tersebut seperti Bismillah, Galileo, Figaro, Scaramouche hingga Fandango.

Meski Freddie Mercury kini sudah tiada, sisa personil Queen seperti Brian May tampaknya tetap ingin merahasiakan makna lagu tersebut lewat film. Di media massa pun Brian May hanya mengatakan bahwa lagu tersebut terkait dengan trauma personal Freddie Mercury.

Terkait perilaku seksual Freddie Mercury yang akhirnya menjadi LGBT, film Bohemian Rhapsody menceritakan bahwa meski kerap berpenampilan nyentrik dan bergaya gemulai di panggung, tapi awalnya Freddie adalah lelaki normal dan punya kekasih bernama Mary Austin yang sudah tinggal bersama sejak ia memulai karir pada 1970.

Barulah pada tahun 1976 Freddie Mercury mengakui penyimpangan seksualnya sebagai gay dan sejak itu hubungannya sebagai sepasang kekasih dengan Mary Austin putus, meski tetap berhubungan sebagai teman.

Namun yang mengherankan, ketiga personil Queen lainnya seolah tidak mengetahui awal penyimpangan perilaku seksual Freddie Mercury.

Ketiganya bahkan tidak menyinggung hubungan khusus Freddie Mercury dengan manajer pribadinya yang ternyata seorang gay dan yang menjadikan Freddie Mercury seorang biseksual. Padahal di film ada penggambaran soal hubungan sesama jenis antara Freddie Mercury dan Paul Prenter.

Ketiga temannya digambarkan hanya mempersoalkan sikap Freddie Mercury yang kerap datang terlambat saat latihan, suka berpesta dan mabuk-mabukan serta kemudian memilih untuk bersolo karir beberapa waktu. Padahal perubahan perilaku biseksual inilah yang antara lain sangat mempengaruhi perubahan perilaku Freddie Mercury secara keseluruhan, baik terhadap Queen ataupun Mary.

Lebih mengherankan lagi adalah penggambaran mengenai sikap ketiga rekannya yang tidak kaget, meski bersedih, ketika Freddie Mercury mengakui bahwa ia terkena AIDS saat latihan menjelang konser LIVE AID 1985. Tidak ada gambaran sikap yang mempertanyakan kenapa Freddie Mercury bisa tertular AIDS, sejak kapan dan siapa yang menularkan. Sama seperti halnya perubahan nama grup band menjadi Queen, lagi-lagi ketiga rekannya seperti langsung memaklumi kondisi Freddie Mercury tertular AIDS.

Sepertinya kedua personil Queen yang menggagas film ini, Brian May dan Roger Taylor, tidak ingin menimbulkan polemik soal LGBT atau menyampaikan pesan moral soal LGBT lewat film ini. Dalam pandangan mereka, LGBT adalah perilaku yang lazim di banyak negara, salah satunya di Meksiko. 

Di Mexico City misalnya, pemandangan gay berciuman bibir di tempat terbuka sudah jadi pemandangan lazim. Karena itu, mereka berdua sepertinya lebih memilih untuk tetap fokus untuk menjadikan film Bohemian Rhapsody sebagai film biopik kisah perjalanan Queen selama 15 tahun daripada sebuah film anti AIDS. Bahwa ada gambaran perilaku seksual yang menyimpang dari Freddie Mercury dan mengakibatkannya tertular penyakit AIDS sepertinya merupakan fakta yang tidak bisa dihilangkan karena fans Queen sudah mengetahuinya. Kalau ditiadakan justru terlihat aneh.

Akhirnya, Brian May dan Roger Taylor sepertinya juga tidak ingin melukai perasaan Freddie Mercury di alam sana dan menghormati pendapatnya untuk menjadi performer, bukan tokoh gerakan anti AIDS apalagi politisi. 'I have no time to be an AIDS poster boy. I want to be a performer in the time left with me," begitu kata Freddie Mercury menjelang akhir hayatnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun