Kongres Nasional ke-19 Partai Komunis China (PKC) pada 18-25 Oktober 2017 berlangsung sukses dan lancar dengan disepakatinya perubahan konstitusi partai dan terpilihnya kembali Xi Jinping sebagai Sekretaris Jenderal PKC, partai paling berkuasa di China. Selain itu Xi terpilih kembali sebagai orang nomor satu di Komite Tetap Politbiro, Sekjen PKC, dan Ketua Komisi Militer untuk lima tahun ke depan. Dengan seabreg jabatan tersebut sudah dapat dipastikan bahwa Xi akan kembali menjabat sebagai Presiden RRC periode 2018-2023.
Dengan terpilihnya kembali Xi sebagai Sekretaris Jenderal partai dengan kekuasaan besar di tangannya, banyak pengamat yang kemudian memperkirakan bahwa dengan mengacu pada kebijakan Xi lima tahun belakangan ini, maka dalam dalam lima tahun ke depan kebijakan RRC akan semakin asertif dalam mengejar kepentingan nasionalnya. Diperkirakan China akan semakin agresif dalam masalah yang menjadi kepentingan utamanya seperti Taiwan, Laut China Selatan dan Timur, Korea dan hubungannya dengan Barat, serta tentu saja ekonomi dalam negerinya.
Dalam isu Taiwan, China tidak akan mengendurkan kebijakannya untuk mereunifikasi Taiwan selambat-lambatnya pada 2049 atau saat tepat perayaan 100 tahun sejak berdirinya RRC. Namun untuk mencapai target tersebut tampaknya China tidak akan melakukan tindakan provokatif yang dapat merugikan dirinya. China akan terus melanjutkan kebijakannya untuk antara lain menghambat keikutsertaan Taiwan di organisasi internasional, dan mendorong perubahan kepemimpinan di Taiwan menjadi sejalan dengan kebijakan Beijing.
Dalam isu Laut China Selatan dan Timur, China akan memperkuat posisinya di kawasan tersebut dengan meningkatkan kehadiran militernya. Selain itu, China terus melakukan diplomasi bilateral ke negara-negara yang memiliki klaim di kawasan tersebut.
Sementara dalam masalah Korea, sikap Xi yang terkesan terus memberikan tekanan kepada Korea Utara akan terus berlangsung. Isu Korea Utara akan digunakan Xi untuk mendekatkan China dengan Barat, sedangkan dalam hubungannya dengan Barat, China akan cenderung menghindari tindakan-tindakan yang bersifat antagonis dan konfrontatif. China akan lebih memilih untuk melakukan pendekatan pada isu-isu non-militer dengan antara lain memilih untuk membahas isu-isu seperti perubahan iklim dan perdagangan.
Di bidang ekonomi dan pembangunan, satu isu nasional yang menjadi perhatian utama dari Xi adalah masalah korupsi. Korupsi dipandang sebagai penyakit yang dapat menghambat upaya pembangunan China sebagai bangsa yang besar dan karenanya harus diberantas tuntas. Penanganan korupsi menjadi isu prioritas. Hasilnya, dalam lima tahun terdapat sekitar 1,3 juta anggota partai dari pusat hingga ke daerah telah ditangkap dan dihukum serta dipecat dari keanggotaan partai.
Dalam konteks pembangunan ekonomi internasional, China terlihat akan terus memperluas pengaruhnya secara global melalui inisiatif pembangunan infrastruktur kawasan "satu sabuk dan satu jalur" yang diluncurkan Xi pada 2014. Tujuannya untuk menjamin kesinambungan pembangunan ekonominya, dan pada saat bersamaan mendorong perluasan produk ekspor China ke seluruh dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut China tidak segan-segan untuk memberikan bantuan finansial dan teknis untuk pembangunan infrastruktur darat dan laut kepada negara-negara di kawasanm serta mendorong dan memfasilitasi pengusahanya untuk agresif memasuki pasar global.
Mencermati semua kebijakan tersebut di atas, terutama yang terkait dengan kebijakan luar negeri, diperkirakan China akan semakin agresif pasca kongres. Hasil-hasil kongres PKC yang mendukung penuh kebijakan Xi patut disikapi dengan seksama oleh seluruh negara di kawasan, tidak terkecuali Indonesia.
Sebagai negara yang sedang sama-sama sedang membangun dan memperjuangkan kepentingan nasionalnya, banyak isu-isu yang bersinggungan dengan kepentingan nasional Indonesia, mulai dari isu ekonomi dan perdagangan, laut Natuna Utara, pembangunan infrastruktur maritim hingga isu investasi lainnya di Indonesia. Isu-isu yang jika tidak dikelola dengan baik dapat berpotensi menimbulkan konflik, terutama di dalam negeri Indonesia sendiri.
Karenanya berbekal perjanjian kemitraan strategis-komprehensif dengan China yang sudah ditsepakati sejak 2013, Indonesia mesti dapat memaksimalkan pemanfaatan perjanjian kemitraan tersebut untuk membangun kerja sama bilateral yang solid di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya.
Sementara itu, dengan mengesampingkan segala perbedaan dan mengedepankan yang ada, Indonesia mesti melanjutkan jalinan kerja sama dengan negara-negara di kawasan dan membangun arstitektur kerja sama kemitraan yang komprehensif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H