Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Agus Harimurti dan Kemajuan Demokrasi Indonesia

27 September 2016   10:46 Diperbarui: 27 September 2016   10:59 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Proses pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk memilih calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 baru saja dimulai. Hingga batas akhir pendaftaran calon yang ditutup pada tanggal 24 September 2016, terdapat 3 (tiga) pasangan yang mendaftar yaitu Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat (dicalonkan oleh Partai Golkar, Nasdem, hanura dan PDI-P), Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni (Partai Demokrat, PAN, PPP, PKB), dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno (Partai Gerindra dan PKS).

Dari ketiga pasangan tersebut, munculnya nama Agus Harimurti Yudhoyono sebagai calon gubernur jelas yang paling mengejutkan dan banyak menyedot perhatian masyarakat luas. Mengejutkan, karena Agus yang selama ini dikenal sebagai perwira militer yang berprestasi dan digadang-gadang sebagai pemimpin TNI di masa depan, tiba-tiba mengajukan pensiun dini agar dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Agus adalah lulusan Akademi Militer (Akmil) tahun 2000 peraih pedang Tri Sakti Wiratama dan Adhi Makayasa. Sebelum pangkat dan jabatan terakhir sebagai Mayor dan  Komandan Batalyon Infantri Mekanis 203/Arya Kemuning, Tangerang, Agus pernah menjalankan penugasan bergengsi di ketentaraan mulai dari operasi kemanusiaan di Aceh hingga penjaga perdamaian internasional di Lebanon. Bukan hanya berprestasi di dunia militer, Agus juga tercatat memiliki prestasi moncer di dunia akademis dengan menyabet gelar Master dari 3 perguruan tinggi terkemuka yaitu Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technology University dan Universitas Harvard.

Bukan hanya masyarakat yang terkejut, para pengamat dan pengguna sosial media pun seperti tidak yakin dengan keputusan Agus untuk mundur dari militer. Mereka pun ramai-ramai dan dengan riang gembira menyayangkan keputusan Agus sembari menuding keputusan tersebut sebagai buah tangan  dari  ambisi politik sang ayah, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga Presiden ke-6 RI. Demi membangun dinasti politik, SBY tega memenggal karir militer Agus yang cemerlang. Bukan hanya itu, sebagian pengamat, bahkan mencibir keputusan Agus sebagai pencalonan anak ingusan yang tidak pantas ikut persaingan pilkada.

Berbeda dengan pandangan pengamat dan pengguna sosial media pada umumnya, saya justru melihatnya dari sisi yang lain. Saya tidak akan ikut-ikutan menyayangkan, apalagi mencibir, keputusan Agus untuk mundur dari militer dan ikut pilkada DKI Jakarta. Saya melihat bahwa keputusan Agus untuk masuk cepat-cepat berkarir di politik sebenarnya sudah dipersiapkan, hanya saja tidak diungkap ke publik. 

Alasannya jelas, sebagai seorang tentara yang telah dibekali dengan kemampuan militer dan akademis yang dapat dikatakan lengkap, apalagi didukung oleh sang ayah sebagai mentor politik, keputusan yang diambil Agus pastinya diambil setelah mempertimbangkan berbagai rencana kebijakan dan tindakan yang akan diambil dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Ada rencana A, B, dan C (dan mungkin lebih) yang dipersiapkan pasca pilkada DKI Jakarta, baik terpilih atau tidak terpilih jadi gubernur.

Keberanian Agus untuk masuk dunia politik dan melepaskan kenyamanan berkarir di militer yang seperti berada di jalan tol, memang dapat dikatakan sebagai sebuah pertaruhan yang berani karena tidak ada jaminan terpilih sebagai gubernur. Keputusan ini mirip keputusan seorang CEO atau pegawai perusahaan yang memutuskan untuk pensiun dini agar bisa membangun dan menjalankan suatu usaha secara mandiri (wirausaha). Ketika mundur sebagai CEO atau pegawai suatu perusahaan, tidak akan ada jaminan bahwa usaha mandiri yang dikelolanya akan sukses dan sesuai yang diharapkan.

Perkiraan saya, Agus pasti sudah memperhitungkan kemungkinan jenjang karirnya di militer hingga menjadi seorang perwira tinggi (brigadir jenderal hingga jenderal). Dengan pangkat mayor yang baru dijabat pada sekitar tahun 2013, diperlukan waktu paling cepat 10 tahun untuk menjadi seorang brigadir jenderal (dengan asumsi kenaikan pangkat ke letnan kolonel dan kolonel lancar jaya dan setiap jenjang kepangkatan hanya 4 tahun).

Padahal, memperhatikan kondisi saat ini dimana di TNI diperkirakan terdapat surplus perwira menengah berpangkat letnan kolonel dan kolonel, sebagian besar dari mereka belum mendapatkan jabatan yang tepat dan mempertimbangkan asas senioritas di TNI serta dukungan politik, maka kemungkinan untuk mencapai tahapan pertama sebagai seorang Jenderal diperlukan waktu lebih dari 10 tahun. Jika hal ini terjadi maka kemungkinan besar Agus baru akan menjadi Brigadir Jenderal setelah berusia sekitar 50 tahun (sekarang usia Agus 38 tahun).

Jika lancar jaya, Agus kemungkinan bisa menjadi Jenderal seperti pamannya yang menjadi Kepala Staf TNI-AD. Namun jika ada hal lain, maka kemungkinan pangkat tertinggi yang dapat diraih adalah Mayor Jenderal atau Letnan Jenderal seperti ayahnya. Setelah itu Agus pensiun pada usia 58 tahun dan bergabung ke partai-partai politik seperti yang lazim dilakukan para pensiun perwira tinggi saat ini. Suatu hal yang sepertinya tidak diinginkan bagi seorang Agus.

Masuk dunia politik pada usia 58 tahun, lagi-lagi seperti pamannya, bagi Agus jelas sudah sangat terlambat, apalagi jika ia memang benar-benar bercita-cita menjadi pemimpin negara. Untuk itu Agus perlu percepatan yang luar biasa agar bisa meraih cita-cita sebagai seorang pemimpin negara, bukan sekedar seorang pemimpin militer. Dan percepatan ini hanya dapat dilakukan lewat jalur politik dimana politik itu adalah seni kemungkinan. Dan momentum percepatan itu bisa terjadi saat pilkada Gubernur DKI Jakarta kali ini. Dan karena kesempatan tidak datang dua kali, makanya Agus mengambil kesempatan saat ini sesuai prinsip yang dipercayainya “Think big, do small, do now”.

Dengan pertimbangan di atas, saya me-like keputusan Agus untuk lebih awal masuk ke dunia politik dan menanggalkan profesinya sebagai anggota militer. Keputusan Agus ini sangat bagus bagi pendidikan politik dan nasib demokrasi di Indonesia. Keikutsertaan Agus di pilkada DKI Jakarta membuat pemilihan jauh lebih menarik karena masyarakat akan mempunyai kesempatan untuk memilih satu pasangan calon yang paling baik dari yang baik. langkah Agus juga bisa dijadikan contoh bagi siapa pun yang ingin berkarir di politik, harus berani menentukan pilihan karir. Jangan misalnya menjadi pejabat publik, tapi pada saat yang bersamaan merangkap sebagai ketua pemenangan pilkada suatu pasangan calon.

Bagi karir politik Agus sendiri, pilkada DKI Jakarta bisa menjadi batu loncatan untuk jabatan publik yang lebih tinggi. Masuk ke dunia politik pada usia muda, memberikan kesempatan besar bagi Agus untuk mengamalkan ilmu kepemimpinan dan pengalamannya yang sudah didapat selama ini. Jika terpilih menjadi gubernur, Agus akan memiliki kesempatan luas menerapkan segala gagasan pembangunan dan kebangsaan yang dimilikinya di Jakarta. Sebaliknya, jika belum berhasil menjadi gubernur, Agus dapat belajar berpolitik mulai dengan menjadi pengurus partai dan ikut pemilihan anggota DPR-RI 2019. Memperhatikan potensi yang dimiliki dan memanfaatkan kantung-kantung suara pendukung Partai Demokrat, langkah Agus ke Senayan sepertinya bukanlah hal yang sulit.

Dengan kapabilitas yang dimilikinya dan modal sebagai anak seorang mantan presiden dan ketua partai, bukan tidak mungkin karir politik Agus justru akan lebih bersinar melebihi karirnya di militer. Agus juga punya kesempatan besar untuk mulai bahu membahu membangun demokrasi di Indonesia dengan politisi generasi kedua yang juga berasal dari keluarga politik dan pentolan partai seperti Puan Maharani, Ananda Surya Paloh, Hanafie Rais ataupun Dave Agung Laksono.

Semua ini hal tersebut di atas tentu saja dengan catatan bahwa Agus istiqomah dengan langkahnya, tidak malah ikut terbawa arus dan terjerembab pada perilaku masa lalu, melakukan tindak pidana korupsi seperti halnya yang dilakukan para politisi muda Partai Demokrat sebelumnya. Agus mestinya mengingat perkataan Anies Baswedan “Anak muda memang minim pengalaman, karena itu ia tak tawarkan masa lalu. Anak muda menawarkan masa depan”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun