Mereka yang biasa makan di warung “Ampera 2 Tak” di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, tidak jauh dari stasiun kereta Cikini, pasti sering melihat sebuah rumah besar berarsitektur Belanda yang letaknya persis di seberang warung tersebut. Tapi meski sering melihat rumah tersebut, kemungkinan besar mereka tidak tahu siapa pemilik rumah yang terletak di Jalan Cikini Raya No. 80 tersebut. Tidak ada keterangan apapun, misalnya papan nama, yang menunjukkan identitas penghuni atau pemilik rumah tersebut. Rumah itu terlihat kusam dan sepi. Hanya sesekali terlihat ada orang keluar masuk dari rumah tersebut.
Namun pada 19 Agustus 2016 lalu, sejak pagi suasana yang berbeda tampak di rumah tersebut. Pagar rumah dipasangi selendang merah putih. Sementara di halaman rumah berkibar sebuah bendera merah putih berukuran besar dan sebuah tenda putih menempel pada dinding rumah bagian depan. Tamu-tamu terlihat berdatangan memasuki rumah dan dua buah bus bertuliskan “Kementerian Luar Negeri” terlihat diparkir di pinggir jalan Cikini Raya.
Menlu Retno Marsudi, yang juga merupakan Menlu RI perempuan pertama, memimpin langsung acara napak tilas didampingi para pensiunan diplomat, para mantan Duta Besar, dan para pejabat tinggi Kemlu saat ini.
Tiba di rumah Achmad Soebardjo, Menlu Retno memasuki beberapa ruangan yang ada di rumah tersebut salah satunya adalah ruang kerja Menlu pertama RI tersebut. Di ruang yang sangat sederhana ini tidak terlihat banyak perabot, selain rak buku dan buku-buku tua yang sebagian terbungkus plastik, lukisan tua, lemari kayu dan sebuah kursi dan meja kerja yang di atasnya terdapat mesik ketik.
Sementara di ruangan lain terdapat ruang tidur Achmad Soebardjo dan ruang keluarga yang cukup besar yang dipasangi foto-foto Achmad Soebardjo, istri dan keluarga serta lukisan. Kepada wartawan yang menyertainya Menlu Retno menceritakan sejarah rumah dan ruangan tempat kerja Achmad Soebardjo.
Sebagai seorang Menlu pertama dari sebuah negara yang baru merdeka, sejak awal Achmad Soebardjo menyadari segala keterbatasan sarana dan prasarana perkantoran yang diperlukan Kemlu untuk mulai menjalankan tugasnya antara lain dalam memperlihatkan keabsahan Proklamasi Kemerdekaan RI dan mendapatkan pengakuan internasional.
Achmad Subardjo memulai pekerjaannya dengan tangan kosong tanpa sarana dan prasarana perkantoran dan staf. Untuk itu ia tidak segan-segan menjadikan rumah pribadinya sebagai kantor dan merekrut 10 orang sebagai pegawainya. Dari tempat sederhana inilah kemudian langkah diplomasi RI dalam memperjuangkan kedaulatan negara dan mendapatkan pengakuan internasional digulirkan dan digerakan oleh para diplomat pertama RI.
Menlu Retno menyatakan sangat terharu akan perjuangan Achmad Soebardjo dalam memulai diplomasi RI dari kediaman pribadinya dan karenanya secara khusus ia menginginkan agar peringatan ulang tahun Kemlu diawali dari kediaman Achmad Soebardjo. Menlu Retno mengemukakan bahwa kontribusi Achmad Soebardjo memberikan inspirasi bagi generasi penerus dan mengajarkan pentingnya ide sebagai pondasi berdirinya RI. Karenanya ia berharap agar semangat juang dan diplomasi yang dilakukan Achmad Soebardjo dan kawan-kawan dapat dipahami dan diwarisi oleh seluruh diplomat Indonesia dewasa ini yang memiliki tugas tidak kalah beratnya dalam memperjuangkan seluruh kepentingan nasional RI di fora internasional.
Pernyataan Menlu Retno kepada wartawan di ruang kerja Achmad Soebardjo kembali diulangi saat memberikan sambutan di hadapan tamu undangan yang hadir. Di ruangan besar yang dulunya merupakan ruang keluarga, Menlu Retno menyampaikan bahwa ia merasa merinding dan ingin menangis, karena setelah melihat perjalanan sejarah, ini memberikan energi baru bagi kita, energi positif untuk menjalankan diplomasi selanjutnya. Ia ingin membiasakan satu tradisi untuk menghormati sejarah, menghormati pendahulu Kemlu yang telah memberikan kontribusinya. Dan kegiatan napak tilas merupakan salah satu cara untuk menyampaikan terima kasih kepada mereka semua.
Mengenang kediaman Achmad Soebardjo sebagai kantor pertama Kemlu, putri Achmad Soebardjo, Pujiwati Insia Soebardjo Effendi, 80 tahun, dalam pernyataannya di hadapan tamu undangan berkata bahwa ia masih ingat saat sang ayah menjadikan rumah mereka sebagai kantor sementara. Rumah dikelilingi penjaga dengan bambu runcing. Seluruh keluarga ikut membantu saat menyambut tamu asing, saya main piano, adik bermain biola. Bahkan rumah itu, khususnya ruang kelaurga yang luas tetap ramai dengan berbagai kegiatan dan seminar, hingga sang ayah tiada pada 1978.
Kini setelah 38 tahun berpulangnya Achmad Soebardjo, rumah di Jalan Cikini Raya No. 80 tersebut memang terlihat sepi. Tidak ada lagi aktifitas dan kegiatan seperti dahulu. Beberapa bagian rumah sudah terlihat kusam, buku-buku dirak tidak terawat, beberapa lukisan di dinding sudah rusak dan kabur gambarnya, sementara perabot rumah tangga dan benda-benda memorabilia lainnya berserakan.
Agar bangunan milik keluarga Achmad Soebardjo yang memiliki riwayat penting bagi sejarah diplomasi RI tidak hilang dan rusak oleh perjalanan waktu, apalagi jika tanah seluas 3.000 m2 dibeli pihak ketiga dan dijadikan kantor komersial, maka Pemerintah RI melalui Kemlu kiranya perlu segera turun tangan untuk mengambil alih kepemilikan kediaman Achmad Soebardjo tersebut. Dari pihak keluarga Achmad Soebardjo diperoleh kabar bahwa mereka tidak berkeberatan jika tanah dan bangunan milik keluarga Achmad Soebardjo diambil oleh Kemlu.
Jika dapat diambil oleh Kemlu maka bangunan tersebut nantinya dapat dijadikan museum diplomasi yang dapat dikunjungi masyarakat luas dan bisa dijadikan tempat diskusi dan seminar masalah-masalah hubungan luar negeri dengan menghadirkan tokoh-tokoh diplomasi dan para pakar terkait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H