Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kisah Kasih Tak Sampai di Mongolia

23 Mei 2016   09:34 Diperbarui: 23 Mei 2016   09:47 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Sutradara Film Mongolian Tale, Prof. Xie Fei / Foto oleh Diah utomo

Mengambil kawasan padang rumput di Mongolia Dalam (Tiongkok) dan Ulan Batoor (Mongolia) dan kehidupan nomaden masyarakat Mongolia sebagai latar belakang cerita, secara apik film ini berhasil menampilkan keaslian suasana kehidupan masyarakat Mongolia di tahun 1990-an. Gambar-gambar indah berupa suasana padang rumput yang luas muncul bergantian. Film ini juga berhasil menggambarkan suasana kehidupan masyarakat Mongolia yang sederhana dan damai, jauh dari bayang-bayang etnis Mongol jaman Jengis Khan. Digambarkan bagaimana masyarakat Mongol menghabiskan waktunya mengembala ternak dan mengelolanya menjadi makanan sehari-hari. Kehidupan nomaden digambarkan apik dengan latar belakang pergantian musim untuk menjelaskan alasan kenapa masyarakat Mongoia hidup nomaden.

Meski film ini bertemakan cinta, namun di film ini juga digambarkan suasana kehidupan sosial masyarakar Mongolia pada masa itu, dimana antara lain diceritakan bahwa anak perempuan tidak boleh sekolah seperti yang dialami Somiya kecil yang tidak bersekolah sehingga tidak bisa membaca dan menulis. Hanya Bayinbulag yang sekolah dan kemudian melanjutkan pendidikan ke kota. Digambarkan pula bagaimana si nenek memperlakukan anak angkatnya sama seperti anak atau cucunya sendiri. Si nenek tidak membeda-bedakan pengasuhan antara cucu sendiri dan anak angkat, semua diperlakukan dengan kasih sayang yang sama.

Secara keseluruhan penulis menilai bahwa film ini telah berhasil membawa misinya dengan baik untuk memperkenalkan masyarakat Mongol kepada dunia dan memberitahukan bahwa terdapat etnis Mongol di Tiongkok yang sebagian besar tinggal di kawasan Mongolia Dalam, untuk membedakannya dengan Mongolia sebagai sebuah negara berdaulat yang beribukota di Ulaaan Baator.

Penulis juga melihat keseriusan dari pembuat film dalam menggambarkan masyarakat Mongolia yang sesungguhnya seperti tampak dari penggunaan dialog dalam bahasa Mongolia sepanjang film, bahasa yang sebenarnya tidak dikuasai oleh sang sutradara Xie Fei dan juga masyarakat Tiongkok pada umumnya. Namun demi otentifikasi cerita, dialog dalam film sengaja dibuat dengan bahasa Mongolia. Bukan hanya itu, lebih dari 90% aktor dan aktris yang berperan dalam film ini juga berasal dari Mongolia.

Karena itu penulis juga menilai bahwa film Mongolian Tale telah berhasil merekam kehidupan suatu masyarakat Mongolia Dalam pada suatu masa dengan baik dan menjadikannya sebagai catatan sejarah yang kelak dapat disaksikan dan dipelajari oleh generasi berikutnya.

Penulis sependapat dengan perkataan Prof Xie Fei bahwa dalam membuat film, ingatlah itu sebagai warisan. Hasil karya yang bisa diputar berulang ulang tanpa batas waktu. Maka kerjakan (film) dengan sepenuh hati dan masukkan nilai-nilai dan budaya supaya generasi berikutnya memahami

Apresiasi juga layak ditujukan ke Zhang Chengzi sebagai penulis novel dan penulis cerita film yang telah sangat baik menuliskan deskripsi mengenai masyarakat Mongolia. Meski bukan berasal dari etnis Mongol, Zhang Chengzi yang berasal dari etnis Muslim Hui dengan rinci menuliskan catatannya mengenai kehidupan masyarakat Mongol. Bahkan untuk memperlihatkan keseriusannya dalam menyiapkan novel Mongolian Tale, Zhang Chengzi sampai belajar bahasa Mongol.

Di tengah situasi dan kondisi Tiongkok pada tahun 1994-1995, yang belum seterbuka seperti sekarang ini, tentunya bukan hal yang mudah bagi pembuat film untuk membuat gambar di kawasan Mongolia Dalam. Selain menghadapi kondisi alam yang nyaris dingin sepanjang tahun, pembuat film juga mesti mendapatkan ijin dari Beijing dan Ulaan Baator.

Namun seperti pepatah yang mengatakan tak ada gading yang tak retak, film ini juga banyak memiliki kelemahan. Kelemahan yang utama adalah minimnya informasi mengenai Mongolia Dalam dan tidak disebutkan nama kota besar dimana Bayinbulag bersekolah dan berkarir sebagai musisi, apakah Beijing (ibu kota Tiongkok( atau Ulaan baator (ibu kota Mongolia). Dengan tidak adanya keterangan semacam ini, bisa jadi banyak orang yang pada awalnya menduga bahwa film ini adalah bukan produksi perfilman Tiongkok, melainkan produksi perfilman Mongolia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun