Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Diplomasi Publik 2.0 dan Peran Blogger

25 Januari 2011   03:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:13 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah diplomasi publik 2.0 tiba-tiba muncul dalam pemberitaan di media massa nasional ketika pada pertengahan Januari 2011 Wikileaks mengungkap sebuah kawat berkode referensi Jakarta 0065 tertanggal 12 Februari 2010. Kawat yang dikirimkan dari Kedutaan AS di Jakarta ke Washington itu menyebutkan bahwa "Kedubes AS di Indonesia adalah yang terdepan dalam Diplomasi Publik 2.0. Dengan lebih dari 50.000 fans (di akun Facebook Kedubes AS), paling banyak dari Kedubes AS lain di seluruh dunia, dengan menggunakan sosial media di Indonesia".

Kontan saja isi kawat tersebut mendapatkan tanggapan dari para pengguna sosial media, khususnya para blogger. Muncul tudingan bahwa Pemerintah AS telah melakukan kegiatan diplomasi dengan memanfaatkan blogger untuk menyebarluaskan informasi terkait kepentingan negeri Paman Sam. Tudingan yang tidak sepenuhnya keliru karena selama tiga tahun terakhir ini Kedutaan AS di Jakarta telah secara aktif menjadi sponsor utama kegiatan Pesta Blogger. Selain mengucurkan dana ratusan juta rupiah untuk membiayai kegiatan Pesta Blogger, Kedutaan AS juga memberikan sumbangan buku-buku untuk perpustakaan di daerah-daerah.

Dalam praktik diplomasi, apa yang dilakukan Kedutaan AS sebenarnya merupakan praktik yang lazim dijumpai dan biasa disebut dengan diplomasi publik. Melalui diplomasi publik, aktivitas diplomasi tidak hanya terbatas antar pejabat pemerintah tetapi juga telah melibatkan peran serta masyarakat secara luas dan menjaring kemitraan dengan berbagai elemen masyarakat seperti akademisi, LSM, pesantren, media massa, dan penggiat sosial media.

Berbagai kegiatan diplomasi publik yang biasanya mudah dijumpai adalah pertukaran budaya dan pelajar, seminar, dialog, penyampaian informasi melalui radio, televisi dan internet. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, masyarakat secara langsung ataupun tidak langsung, diberikan berbagai macam informasi guna tercapainya pemahaman tentang berbagai prinsip dan kebijakan yang ditempuh.

Sejalan perkembangan teknologi informasi, muncullah kemudian istilah Diplomasi Publik 2.0. Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 2006 ketika majalah TIME menetapkan pembaca majalah tersebut sebagai “Person of the Year”. Oleh TIME para pembacanya dipandang mewakili jutaan pengguna internet yang berhasil memanfatkan piranti internet berbasis user generated content (yang dikenal sebagai Web 2.0) seperti Facebook, Blog, Twitter, MySpace, YouTube, Wikipedia dan sebagainya, untuk melakukan interaksi aktif dengan memberikan memberikan tanggapan langsung dan bahkan memproduksi informasi tersendiri.

Merespon perkembangan teknologi informasi dan diperkuat keinginan masyarakat untuk memperoleh informasi alternatif disamping informasi dari media mainstream, Kemlu AS termasuk yang terdepan dalam menggunakan medium blog dan sosial media lainnya. Salah satunya ditunjukkan dengan menyiapkan blog khusus untuk para diplomatnya. Melalui blog yang dinamakan Diplomatic Note, Kemlu AS memberikan kesempatan bagi para diplomatnya untuk berbagi cerita dan diskusi tentang berbagai aktifitas diplomasi yang dilakukan. Tujuannya untuk memberikan informasi dan opini langsung dari pelaku diplomasi, semacam story behind the scene. Harapannya agar pembaca dapat memperoleh persfektif lain disamping informasi, berita ataupun opini yang dimuat di website resmi Kemlu AS.

Jika Kemlu AS dan Kedutaan Besarnya di seluruh dunia telah memanfaatkan piranti sosial untuk melaksankan kegiatan diplomasi publik, bagaimana dengan Indonesia? Meski belum sejauh Kemlu AS, Kemlu RI dan sejumlah Perwakilan RI sebenarnya telah berupaya memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan diplomasi publik. Selain membuat website Kemlu dan Perwakilan RI, beberapa Perwakilan RI telah memanfaatkan Facebook dan Twitter untuk menjangkau masyarakat dimana perwakilan tersebut berada.

Memperhatikan hal-hal di atas, salah satu kesan yang mungkin muncul dibenak para pembaca adalah bahwa kegiatan diplomasi publik merupakan kegiatan yang menjadi domain pemerintah. Padahal jika melihat tujuan dari diplomasi publik itu sendiri untuk memberikan pemahaman tentang berbagai hal, termasuk memperkenalkan negara di di forum internasional, maka pelaksanaan kegiatan diplomasi publik pun sesungguhnya bisa dilaksanakan oleh para penggiat sosial media, terutama blogger.

Melalui blognya, para blogger dapat secara panjang lebar memberikan berbagai informasi dan membahas berbagai hal terkini tentang Indonesia misalnya. Selain dapat memberikan gambaran positif tentang Indonesia di dunia internasional, apa yang dituliskan dapat juga memberikan dorongan dan semangat bagi banyak orang untuk ikut melaksanakan hal-hal positif.

Melalui blog, para blogger Indonesia juga bisa melakukan ekspansi dengan menulis isu-isu internasional (jika memungkinkan dalam bahasa Inggris). Jika selama ini blogger asing tidak sungkan menulis isu-isu internal Indonesia seperti masalah kedaulatan, HAM, lingkungan, demokratisasi dan sebagainya, maka blogger Indonesia juga bisa menyinggung masalah-masalah serupa, misalnya menulis masalah HAM masyarakat Aborigin di Australia, isu pekerja migran dan perdagangan karbon di Eropa serta rasialisme di Amerika. Kalau semua ini sudah bisa mulai dilakukan, maka diplomasi publik 2.0 bukan lagi domain pemerintah atau para diplomat, tapi diplomasi yang benar-benar dilakukan publik untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama bangsa dan negara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun