Sultan Hamengku Buwono X saat menerima penghargaan / Foto oleh Aris Heru Utomo
“Atas nama pribadi dan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saya mengucapkan terima kasih atas penghargaan yang diberikan. Penghargaan ini sejatinya bukan untuk saya pribadi, tetapi untuk seluruh warga dan masyarakat Yogyakarta” begitu disampaikan Sri Sultan Hamengku Buwono X usai menerima penghargaan tertinggi sandi negara, Sanapati Utama, dari Ketua Lembaga Sandi Negara, Mayor Jenderal Wiryono Budiharso, pada suatu acara resepsi Hari Ulang Tahun ke-64 Persandian Indonesia di Gedung Lembaga Sandi Negara, Jakarta, Rabu 7 April 2010.
Sri Sultan dan masyarakat Yogyakarta layak menerima penghargaan tersebut di atas karena berkat dukungan mereka lah, khususnya di masa-masa perang kemerdekaan, dunia persandian Indonesia tumbuh dan berkembang. Dari sejarahnya, memang dari Yogyakarta kegiatan persandian Indonesia berawal ketika Menteri Pertahanan Mr. Arif Sjarifuddin memerintahkan dr. Roebiono Kertopati, seorang dokter di Kementerian Pertahanan, untuk membentuk badan pemberitaan rahasia yang disebut Dinas Code dan membangun pemancar radio telegrafi.
Meski dr. Roebiono hanya berbekal pengetahuan sandi minimalis, yang diperolehnya saat mengikuti kursus beberapa minggu di Kementerian Luar Negeri Belanda, pada tanggal 4 April 1946 dr. Roebiono berhasil membangun cikal bakal dinas rahasia negara yang menangani pengamanan pemberitaan, bahkan memimpin dinas rahasia ini (sekarang Lembaga Sandi Negara atau Lemsaneg) hingga akhir hayatnya. Ia berhasil mengembangkan sistem sandi awal berupa One Time Pad (OTP) sebagai sistim sandi yang tangguh.
Beberapa tempat di Yogyakarta seperti di Jalan Batanawarsa (sekarang jalan I Dewa Nyoman Oka), desa Dekso di Kabupaten Kulon Progo dan desa Banaran (5 km dari Dekso) menjadi saksi sejarah keberadaan badan pemberitaan rahasia atau persandian nasional dalam turut serta mempertahankan kemerdekaan dari upaya Belanda untuk merebut kembali Indonesia lewat agresi I dan II.
Selain membangun dinas rahasia, yang dalam perkembangannya menjadi Jawatan Sandi dan kemudian Lemsaneg, dr. Roebiono juga berhasil membangun pemancar radio telegrafi yang dapat menghubungkan para pemimpin nasional di Yogyakarta dengan para pemimpin lainnya di Jawa Barat (Tasikmalaya, Garut, Karawang, Banten dan Cirebon), Jawa Timur (Jember, Jombang, Kediri dan Mojokerto), Jawa Tengah (Solo, Purwokerto, Tegal) dan Sumatera (Pematang Siantar dan Bukit Tinggi) dan Jakarta.
Dalam semua kegiatan tersebut di atas, Sri Sultan saat itu (Hamengku Buwono IX) dan rakyat Yogyakarta bahu membahu mendukung keberadaan dinas persandian, bahkan ada yang meminjamkan beberapa tempat untuk digunakan sebagai kamar sandi. Sementara itu, dimasa kemerdekaan saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X mewarisi sikap ayahandanya untuk tetap mendukung pelaksanaan kegiatan persandian. Hal ini antara lain tampak dari pendirian Museum Sandi yang menampilkan berbagai koleksi persandian bersejarah. Museum ini dibangun atas prakarsa bersama antara Kepala Lembaga Sandi Negara RI saat itu, Mayjen TNI Nachrowi Ramli dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tahun 2006 dan diresmikan pada tanggal 29 Juli 2008.
Selain Sri Sultan Hamengku Buwono X, terdapat 4 orang lainnya yang juga menerima penghargaan Sanapati Utama yaitu Kolonel (Purn) Soemarkido (tokoh dan pelaku sejarah persandian), Laksamana Muda (Purn) Soebardo (mantan Ketua Lemsaneg), Laksamana Muda (Purn) B.O. Hutagalung (Mantan Ketua Lemsaneg), dan Mayor Jenderal (Purn) Nachrowi Ramli. Selain itu terdapat pula penerima penghargaan Sanapati 20 tahun dan Sanapati 10 tahun (masing-masing untuk yang pernah bertugas di dunia persandian selama paling kurang 20 tahun dan 10 tahun)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H