Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masjid di Lereng Bukit di Qingdao

9 Mei 2014   20:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:41 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_306557" align="alignnone" width="300" caption="Masjid Qingdao / foto oleh Aris Heru Utomo"][/caption]

Sempat tersasar karena salah alamat, akhirnya saya tiba di masjid Qingdao di Tongan Road No. 562, Distrik Utara Kota Qindao (informasi dari om google menyebutkan bahwa masjid tersebut terletak di Changzhou Road, Distrik Shinan, sekitar 30 menit berkendaraan dari lokasi masjid yang sebenarnya). Dari kejauhan masjid ini tidak terlihat karena terhalang bukit dan pepohonan, tapi begitu mendekati gerbang tampaklah sebuah bangunan megah dengan kubah kuning di atapnya dan 2 buah menara jangkung di setiap sudutnya.

Berbeda dengan beberapa masjid di Tiongkok yang umumnya dibangun dengan arsitektur tradisional Tiongkok dan terletak di tengah pemukiman muslim, maka masjid Qingdao justru dibangun dengan gaya arsitektur modern dan menyerupai bangunan masjid yang ada di Indonesia. Masjid Qingdao dibangun di lereng sebuah bukit yang disebut Laoshan, kawasan baru yang jauh dari pemukiman. Karena letaknya di lereng bukit, tidak heran jika untuk mencapai tempat tersebut, kendaraan yang ditumpangi mesti mendaki dan berputar mengelilingi bagian bukit.

Masjid Qingdao yang diresmikan pada 2006 ini sebenarnya merupakan masjid baru yang dibangun untuk menggantikan masjid lama yang terletak dekat stasiun kereta, yang sudah rata dengan tanah dan menjelma menjadi bangunan apartemen bagi warga setempat. Berdiri di atas tanah seluas sekitar 4.000 meter persegi, bangunan masjid Qingdao memiliki dua lantai yang dipergunakan untuk sholat dan berbagai kegiatan lainnya.

Pada lantai pertama, ruang yang ada dibagi ke dalam beberapa kamar yang digunakan untuk ruang imam, ruang rapat, kantor asosiasi umat Islam Qingdao dan sertifikasi halal, kamar mandi dan tempat wudhu serta gudang.

Sedangkan di lantai 2 berupa ruang aula yang digunakan untuk tempat sholat dan dapat menampung sekitar 500 orang jamaah. Interior masjid didominasi warna putih dan hijau yang memperlihatkan perpaduan budaya Arab dan Tiongkok.

[caption id="attachment_306562" align="alignnone" width="300" caption="Interior masjid Qingdao / foto oleh Aris Heru Utomo"]

1399617903159810280
1399617903159810280
[/caption]

Sementara itu di halaman samping masjid, selain dibangun tempat parkir kendaraan, dibangun pula kios-kios untuk masyarakat muslim setempat yang akan menjual berbagai produk makanan halal, termasuk daging domba.

Karena kedatangan saya ke masjid Qingdao sudah melewati tengah hari dan perut sudah semestinya diisi, saya pun memilih untuk mengisi perut terlebih dahulu. Pilihan saya adalah sebuah warung di pojokan yang tampak sepi. Dari luar terlihat dua orang wanita pemilik/penjaga warung, seorang mengenakan kerudung b erwarna merah dan seorang lagi berbaju merah tanpa mengenakan kerudung, tengah membereskan piring dan gelas kotor serta membereskan meja dan seorang pengunjung tengah menyantap makanan.

Seorang dari wanita tersebut, yang tidak mengenakan kerudung dan belakangan diketahui bernama Aisyah, segera menghampiri saya dan menanyakan apakah saya ingin makan di tempat tersebut. Menurutnya, karena sudah lewat jam makan siang, makanan yang ada hanya tinggal sup, mie rebus dan sate domba serta nun (roti). Karena tidak ada pilihan lain, saya pun memesan mie rebus daging sapi dan sate domba. Tidak pakai lama, makanan pun disiapkan dan tak lama pun keluar.

"ehm mirip sajian mie ayam atau mie rebus yang sering dijumpai di Indonesia. Lumayan banget, bisa untuk mengurangi lapar" gumam saya.

"rasanya juga cukup lumayan walau hanya berbumbu garam, sedikit lada dan bawang putih"

"Saat jam makan siang banyak yang datang ke warung-warung di sekitar masjid. Bukan hanya orang Muslim tapi orang-orang setempat yang non-Muslim" tutur Asiyah ketika saya bertanya mengenai siapa saja yang berkunjung ke kawasan masjid Qingdao.

[caption id="attachment_306558" align="alignnone" width="500" caption="Bukit di belakang bangunan adalah pemakaman warga Qingdao nonMuslim / foto oleh Aris Heru Utomo"]

1399617501786988501
1399617501786988501
[/caption]

"Pada hari Jumat masjid Qingdao biasanya ramai, bahkan saat sholat Idul Fitri atau Idul Adha, para jamaah melakukan sholat hingga ke halaman masjid. Kebanyakan yang rajin beribadah dan menjalankan sholat lima waktu adalah mereka yang seusia dengan bapak dan ibu saya. Kalau saya dan anak-anak muda sepantaran saya sholatnya kadang-kadang saja dan saya juga tidak mengenakan kerudung (jilbab)", jelas Aisyah yang kemudian bergegas mengambil kerudungnya ketika diajak berfoto bersama.

[caption id="attachment_306559" align="alignnone" width="500" caption="Aisyah berjilbab merah muda dan saudaranya / foto oleh Aris Heru Utomo"]

13996175851482597173
13996175851482597173
[/caption]

Menurut sejarahnya, Imigran Muslim pertama yang datang dan menetap di Qingdao adalah dua bersaudara Helianhui dan Heliandeng yang diperkirakan datang berdagang dan mulai menetap di Qingdao pada tahun 1928. Kedatangan umat Muslim di Qingdao ini terhitung relatif baru jika dibandingkan dengan kedatangan umat Muslim lainnya ke berbagai kota di Tiongkok seperti Guangzhou, Xian, dan Beijing.

Sejalan dengan perkembangan kota Qingdao sebagai kota utama di Provinsi Shandong, Tiongkok bagian timur, khususnya setelah dibukanya jalur kereta Jiaoji, umat Muslim dari Beijing, Tianjin, Jining dan Qingzhou pun mulai banyak yang berdatangan. Mereka tinggal di kawasan sekitar stasiun kereta dan membangun masjid disana. Selain berdagang, umat Muslim yang berasal dari etnis Hui ini pun ikut berjuang bersama dengan masyarakat setempat untuk mengusir tentara penjajahan Jepang dari Qingdao dan setelah perang berakhir membentuk Asosiasi Islam dan Dewan Masjid Qingdao. Organisasi ini kemudian berperan penting dalam ikut membina kehidupan beragama umat Muslim di Qingdao, termasuk dalam hal menjamin penyediaan produk makanan halal melalui sertifikasi halal yang mereka keluarkan.

Dan meski pun masjid Qingdao, yang merupakan masjid terbesar di kota tersebut, dibangun di lereng bukit dan agak jauh dari lokasi masjid pertama di dekat stasiun kereta, namun hal tersebut tidak menghalangi umat Muslim di Qingdao untuk beribadah, terutama saat Idul Fitri dan Idul Adha yang bisa didatangi lebih dari 1.000-an jamaah dari berbagai distrik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun