[caption id="attachment_320568" align="alignnone" width="600" caption="Perangko peringatan 110 tahun Deng Xiaoping / Foto dari Chinadaily.com"][/caption]
Seandainya masih hidup, maka pada tanggal 22 Agustus 2014 Deng Xiaoping genap berusia 110 tahun. Di usia tuanya tersebut Deng mungkin akan tersenyum lebar dan puas melihat Tiongkok dalam 30 tahun terakhir telah tumbuh dan berkembang pesat menjadi sebuah negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia.
Dia tersenyum karena upayanya mengarsiteki reformasi dan keterbukaan di Tiongkok pada tahun 1978 melalui pengembangan konsep “sosialisme dengan karakteristik Tiongkok” dan “ekonomi pasar sosialis” ternyata berhasil meningkatkan standar hidup sebagian besar penduduknya. Bukan hanya itu, keberadaan Tiongkok pun menjadi sangat diperhitungkan oleh negara-negara lain.
Dan senyum Deng akan semakin lebar jika mengetahui bahwa pemikiran-pemikirannya hingga saat ini masih tetap aktual dan diterapkan oleh para pemimpin nasional Tiongkok generasi kelima di bawah pimpinan Presiden Xi Jinping, salah satunya adalah pemikiran yang terkait kebijakan luar negeri seperti yang dituliskan oleh Gao Zhikai, Direktur China National Association of International Studies dan mantan penerjemah Deng Xiaoping dalam artikelnya di harian China Daily tanggal 21 Agustus 2014 yang berjudul “Learn from Deng’s Diplomacy”.
Menurut Gao, meski Deng telah wafat 17 tahun yang lalu (1997), Tiongkok masih melanjutkan proses reformasi dan keterbukaan secara menyeluruh berdasarkan konsep-konsep yang disusun dan dikembangkan Deng saat menjadi pemimpin kharismatik Tiongkok pada tahun 1978.
Ditambahkan oleh Gao bahwa meskipun saat ini Tiongkok menghadapi situasi dan tantangan internasional yang sangat berbeda jika dibandingkan pada masa Deng menjadi pemimpin Tiongkok (1978-1992), namun langkah diplomasi Tiongkok saat ini masih menyandarkan pada kebijakan-kebijakan Deng.
Setidaknya terdapat 4 kebijakan Deng yang saat ini masih terus dilaksanakan dalam kebijakan luar negeri Tiongkok, yaitu:
Pertama, Tiongkok menghindari setiap upaya perlombaan senjata atau konfrontasi militer. Langkah ini mengacu pada kebijakan Deng pada tahun 1980an saat terjadi perlombaan senjata antara AS dan Uni Soviet di era Perang Dingin. Deng memperkirakan bahwa meski terdapat perlombaan senjata, perang dunia tidak akan segera terjadi. Karenanya Deng memutuskan untuk tidak terlibat dalam perlombaan senjata dan memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya yang dimilikinya untuk mengembangkan perekonomian negara dari pada menghabiskan waktu untuk memperkuat militernya.
Kedua, Tiongkok tidak perlu menjadi kekuatan yang dominan (hegemoni). Meskipun Tiongkok telah menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua dan mungkin akan melewat AS pada dekade ini, RRT tidak melakukan ekspansi dan mendominasi negara lain dengan memaksakan nilai-nilai yang dimilikinya kepada yang lain.
Ketiga, Tiongkok senantiasa berdiri kokoh sesuai prinsip. Kebijakan ini pernah dilakukan pada tahun 1980an saat Deng bersikukuh menerapkan prasyarat bagi pemulihan hubungan diplomatik RRT-Uni Soviet yaitu: penarikan pasukan Uni Soviet dari Afghanistan dan perbatasan Uni Soviet-RRT serta perbatasan Mongolia-Tiongkok dan penarikan pasukan Vietnam dari Kamboja.
Keempat, selain menggunakan hard power dalam urusan luar negeri, RRT mesti melakukan smart diplomacy. Yang dimaksud smart power adalah memiliki visi, semangat dan sikap bijak dalam mencari solusi terbaik dalam setiap penyelesaian krisis internasional. Tindakan yang diambil mesti dipikirkan secara matang dengan memperhitungkan implikasi jangka pendek, menengah dan panjang. Kebijakan ini pernah dilakukan ketika menerapkan prinsip “satu negara, dua sistem” pada waktu pengambilalihan Hong Kong dari Inggris ataupun ketika mengambil sikap tidak memihak ketika terjadi perang Irak-Iran di tahun 1980 (meski saat itu AS mendesak RRT untuk mendukung Irak dan menentang Iran). AS kini memetik buah permusuhan di Iran dan Irak, sementara RRT tetap berhubungan baik dengan keduanya.