Apabila mengamati Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017, di salah satu butir pertimbangan dalam penetapannya adalah untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan perkembangan era globalisasi, perlu penguatan karakter bagi peserta didik melalui restorasi pendidikan karakter di sekolah. Pertimbangan tersebut amatlah baik bagi masa depan generasi penerus, dan memang itulah yang dibutuhkan mereka untuk dapat tetap eksis di era globalisasi.
Dalam bayangan pribadi saya, dengan pertimbangan tersebut, akan ada sebuah program  strategis baru yang dapat memperkuat karakter para siswa dalam penerapan Permendikbud tersebut, yang akan menjadikannya sebagai nilai plus bagi siswa. Namun dalam praktiknya, berdasarkan penjelasan Mendikbud yang dirilis oleh beberapa media, seperti Kompas.com (12/7/2017) menyatakan bahwa pada penerapan Permendikbud tersebut, siswa tidak harus mengikuti ekstrakurikuler di sekolah setelah kegiatan belajar mengajar. Bagi siswa yang memiliki kegiatan seperti mengaji, membantu orang tua, atau kegiatan lainnya di luar sekolah, tetap bisa menjalankan aktivitas tersebut.
Dari penjelasan tersebut, dalam penerapan Permendikbud hari sekolah, terlihat tidak ada sebuah program strategis baru yang dilakukan pihak sekolah untuk penguatan karakter siswa. Aktivitas mereka tidak mengalami perubahan setelah diterapkannya Permendikbud tersebut. Mereka akan beraktivitas seperti biasanya, layaknya tidak ada kebijakan tersebut. Â
Begitu halnya dengan kegiatan ekstrakurikuler, sebelum diterapkannya kebijakan tersebut, sekolah pun telah mengadakan kegiatan ekstrakurikuler. Jadi sebenarnya, tidak ada sesuatu yang baru yang dibawa oleh kebijakan tersebut yang kaitanya dengan upaya penguatan karakter siswa. Dengan demikian dapat disimpulkan, tidak ada nilai plus bagi siswa dengan diterapkannya Permendikbud tersebut.
Minus:
1. Bertambahnya beban belajar siswa
Kebijakan yang menetapkan waktu sekolah 5 hari per minggu dengan alokasi waktu 8 jam setiap harinya ini berdampak pada bertambahnya beban belajar siswa. Walaupun dalam praktiknya di lapangan siswa tidak harus berada di sekolah sampai sore, namun karena pengurangan 1 hari belajar dalam satu minggu, yang awalnya 6 hari menjadi 5 hari, hal ini tentunya berdampak terhadap bertambahnya waktu belajar siswa dalam setiap harinya.
Sebagai contoh, sebelum penerapan kebijakan tersebut, siswa selesai mengikuti pembelajaran pada pukul 12.00, namun setelah kebijakan tersebut diterapkan, kemungkinan siswa baru selesai mengikuti pembelajaran di sekolah pada pukul 13.00. Sehingga pada setiap harinya, waktu belajar di sekolah akan bertambah kisaran 1 jam. Dengan bertambahnya waktu belajar yang demikian, akan menambah beban tersendiri bagi para siswa, dan tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat konsentrasi dan daya serap para siswa.
2. Berkurangnya waktu istirahat siswa
Dengan bertambahnya waktu belajar setiap harinya, hal ini berdampak berkurangnya waktu istirahat siswa setelah pulang dari sekolah, yang sebenarnya dapat mereka gunakan untuk bersosialisasi dengan teman-temannya, bermain, membantu orang tua, ataupun untuk mempersiapkan diri sebelum mengikuti kegiatan lainnya, seperti; kegiatan madrasah diniyah, kursus, dan lain sebagainya.Â
Sebagai contoh, pada beberapa daerah kegiatan madrasah dimulai pada pukul 14.00. Ketika mereka pulang dari sekolah pada pukul 12.00 (sebelum penerapan kebijakan 5 hari sekolah), mereka memiliki waktu 2 jam untuk istirahat setelah pulang dari sekolah, sebelum mengikuti kegiatan madrasah diniyah. Namun setelah penerapan kebijakan tersebut, mereka pulang dari sekolah pada pukul 13.00, sehingga mereka hanya memiliki waktu 1 jam untuk istirahat.Â
Waktu 1 jam yang tersisa tersebut sangat tidak cukup bagi siswa. Mereka harus istirahat, membantu orang tua, mempersiapkan diri untuk mengikuti kegiatan lainnya. Terlebih bagi mereka yang jarak sekolah dengan rumah, dan/atau dengan tempat kegiatan lainnya terbilang jauh, tentunya sangat memakan waktu. Dengan kondisi yang demikian, tentunya akan sangat mengganggu psikologis mereka, yang apabila dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, akan berakibat fatal bagi mereka. Biar bagaimana pun, dalam usia mereka, mereka masih sangat membutuhkan waktu yang cukup untuk istirahat, bermain, bersosialisasi dengan teman-temannya, dan aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk rileks dan me-refresh(menyegarkan) pikiran mereka.
Dengan memperhatikan analisis tersebut di atas, sangat terlihat kebijakan yang digaungkan sebagai kebijakan yang akan menjadi penguat pendidikan karakter di sekolah, ternyata tidak lebih dari sebuah kebijakan yang hanya sekedar bertujuan untuk menyelamatkan guru dari problem beban kerja mengajarnya, namun tidak membawa program strategis yang dapat meningkatkan kualitas siswa, khususnya terhadap kualitas karakter mereka. Bahkan kebijakan tersebut dapat dikatakan memberatkan siswa.
Walaupun demikian, masih ada secercah harapan yang dapat kita tunggu untuk memperbaiki kondisi yang demikian, yaitu lahirnya sebuah Peraturan Presiden yang dijanjikan akan mengatur pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, yang saat ini sedang dipersiapkan. Semoga peraturan tersebut akan membawa sebuah program strategis baru yang memang benar-benar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas siswa, khususnya dalam aspek karakter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H