Mohon tunggu...
Aris Dwi Nugroho
Aris Dwi Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Seseorang yang selalu ingin menjadi pembelajar sejati untuk menggapai kebahagiaan hakiki.

Email: anugrah1983@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tiga Fenomena dalam Pernikahan yang Perlu Dikaji Ulang

13 Juli 2017   10:07 Diperbarui: 13 Juli 2017   14:40 3009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernikahan adalah merupakan salah satu momentum yang sangat istimewa dalam kehidupan bagi mayoritas individu. Di mana seseorang telah menemukan pasangan hidupnya yang dianggap cocok untuk dapat membina rumah tangga bersama, dan mengarungi lautan kehidupan di dunia ini, yang diresmikan dengan sebuah aqad nikah. 

Momentum istimewa tersebut tentunya juga merupakan sebuah kebahagiaan yang begitu mendalam bagi pasangan pengantin, karena cinta keduanya dapat bersatu dan diikat dalam jalinan yang sah baik perspektif agama maupun perspektif hukum negara.

Namun di dalam rangkaian pernikahan tersebut, ada beberapa fenomena yang kerap kali terjadi di masyarakat yang perlu untuk dikaji ulang secara mendalam, khususnya oleh pasangan pengantin yang akan melangsungkan pernikahan.

1. Mementingkan resepsi, melupakan persiapan diri

Resepsi dalam rangkaian pernikahan merupakan sebuah acara yang dijadikan sebagai momentum untuk bersilaturahim sekaligus berbagi kebahagiaan dengan mengumumkan telah sah dan halalnya hubungan dua insan yang diikat dengan sebuah pernikahan kepada sanak famili, kerabat, handai tolan, tetangga, kolega, dan khalayak ramai.

Bagi sebagian kalangan, resepsi merupakan sesuatu yang sangat penting dalam rangkaian pernikahan. Dengan dalih "sekali dalam seumur hidup", terkadang menjadikan resepsi didesain dengan begitu mewah dan meriahnya, yang tentunya membuat calon pengantin dan keluarganya sangat sibuk untuk mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan resepsi. 

Dari mulai mempersiapkan undangan, termasuk foto prewedding-nya bagi kalangan tertentu, mempersiapkan busana, souvenir, tempat resepsi, menu hidangan, konsep acara, hiburan, dan lain sebagainya. Walaupun ada hal-hal tertentu dimana calon pengantin tidak menanganinya secara langsung, namun sedikit banyaknya pasti akan terlibat, yang tentunya dapat menguras waktu, energi, dan pikirannya.

Karena kesibukannya mempersiapkan resepsi, terkadang dapat berakibat ada sesuatu hal yang terlupakan, yang sebenarnya lebih penting daripada resepsi, yaitu persiapan diri untuk menjalani kehidupan baru pasca pernikahan. Dari sekian banyak hal dalam rangkaian pernikahan, yang terpenting adalah terletak pada persiapan kehidupan pasca pernikahan itu sendiri. 

Kehidupan baru yang diibaratkan sebagai sebuah bahtera yang akan mengarungi lautan yang sangat panjang yang arah dan tujuanya ditentukan oleh kedua pasangan tersebut. Dan dalam pengarungan lautan yang sangat panjang itu, hambatan dan rintangan pasti akan ditemukan.

Untuk dapat menjalankan dan mengarahkan bahtera dengan baik dalam mengarungi lautan kehidupan yang panjang, dengan memiliki kesiapan diri dalam menyikapi perbedaan pribadi dari kedua insan yang berstatus suami-istri, dan menghadapi berbagai problematika kehidupan, tentunya diperlukan persiapan diri yang cukup dan matang. 

Persiapan yang dominan pada aspek psikis dan imaterial semacam inilah yang sebenarnya sangat perlu untuk dipersiapkan dalam menghadapi sebuah kehidupan baru pasca pernikahan. Karena kehidupan pasca pernikahan berlangsung tidak hanya satu atau dua hari layaknya resepsi, melainkan akan berlangsung sehidup semati.

2. Mementingkan tradisi, melupakan substansi

Pernikahan pada hakikatnya hanyalah sebuah prosesi yang melegalkan hubungan sepasang insan menjadi halal untuk dapat membina sebuah keluarga. Prosesi ini merupakan salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan (disunnahkan) oleh Rasulullah SAW. Di dalam pelaksanaan ibadah, Islam tidak memberatkan para pemeluknya untuk menjalankan setiap syariat, termasuk pernikahan di dalamnya. 

Menurut hukum Islam, sebuah pernikahan dinyatakan sah apabila memenuhi rukun berupa kedua calon mempelai, wali, saksi, mahar/mas kawin, dan ijab qabul. Sedangkan menurut hukum pemerintah, menambah satu rukun, yaitu tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA).

Memperhatikan kedua hukum tersebut, baik hukum Islam maupun hukum pemerintah, pernikahan adalah suatu perkara yang mudah dan ringan. Namun kemudian yang menjadikan pernikahan itu berat adalah adanya keterikatan yang erat masyarakat dengan adat, tradisi dan budaya setempat. 

Adat meminang, tradisi besaran mahar dan barang-barang hantaran, hidangan makanan tertentu, serta berbagai ritual dan prosesi adat yang mengiringi acara pernikahan merupakan sebagian adat dan tradisi yang masih dipegang erat oleh masyarakat. Tak jarang ritual, prosesi, dan pernak-pernik tradisi tersebut menjadi sangat ribet, merepotkan, bahkan membebani calon pengantin dan keluarganya. 

Bagi kalangan tertentu, seakan belum sempurna apabila sebuah pernikahan tidak disertai dengan pelaksanaan tradisi-tradisi yang berlaku, walaupun telah terlaksana sesuai dengan hukum agama dan hukum pemerintah. Selain itu, bagi sebagian masyarakat, keterlaksanaan tradisi-tradisi yang mengiringi acara pernikahan merupakan simbol kehormatan keluarga. 

Dan yang lebih bahayanya lagi, adanya sebuah rasa ketakutan masyarakat akan mendapat celaan atau akan dikucilkan, apabila tidak melaksanakan tradisi atau adat yang berlaku. Sehingga dengan semua itu, sejatinya pernikahan yang secara substansi adalah sebuah ibadah yang dapat dilaksanakan dengan mudah, murah, sederhana dan tanpa membebani, berubah menjadi sebuah prosesi yang sangat ribet, merepotkan, dan membebani, karena mementingkan tradisi.  

3. Mementingkan gengsi, melupakan kemampuan ekonomi

Bagi sebagian kalangan, besaran mas kawin (mahar), banyaknya barang-barang hantaran, dan kemewahan acara resepsi pernikahan menjadi sebuah indikator tingkat ekonomi, dan kehormatan dari calon pengantin maupun keluarganya. 

Ketika calon pengantin pria dapat memberikan mahar dengan nominal yang sangat besar, membawa barang-barang hantaran yang begitu banyak, dan dapat menyelenggarakan resepsi pernikahannya dengan sangat mewah, akan terkesan di masyarakat bahwa dirinya berasal dari kalangan ekonomi atas, dan tentunya juga terkesan sebagai keluarga terhormat, walaupun semua itu terkadang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi yang sebenarnya. 

Namun karena gengsi yang dikedepankan, ingin terlihat sebagai seseorang yang berasal dari kalangan ekonomi atas dan keluarga terhormat, membuatnya terlena dengan kemampuan ekonominya. Apapun dilakukan untuk memenuhi gengsinya, berusaha berhutang ke sana-sini dengan nominal yang sangat besar hanya karena ingin terlihat terhormat dan dari kalangan ekonomi atas.

Terkadang fenomena tersebut juga dapat terjadi karena adanya tuntutan dari calon pengantin wanita dan/atau keluarganya. Mereka meminta mahar yang sangat tinggi, barang-barang hantaran yang begitu banyak, acara resepsi di gedung/hotel dengan menu hidangan makanan yang mewah, dan berbagai rangkaian prosesi yang penuh dengan kemewahan. 

Kemudian, dalam pandangan umum masyarakat, kehormatan dan harga diri seorang wanita itu ditentukan oleh besarnya mahar yang diberikan oleh calon suaminya, sehingga akan merasa malu dan menjadi aib ketika seorang wanita diberikan mahar sekedarnya, apalagi terbilang kecil dibandingkan dengan kebiasaan di daerah setempat. 

Hal-hal itulah yang dapat menyebabkan adanya berbagai tuntutan dari calon pengantin wanita dan/atau keluarganya kepada calon pengantin laki-laki, yang hanya sekedar untuk memenuhi gengsi keluarga di masyarakat, yang terkadang sampai melupakan atau mengabaikan kemampuan ekonomi dari calon pengantin laki-laki. 

Sehingga pernikahan yang seharusnya dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuan ekonomi kedua calon pengantin, namun dengan mengedepankan gengsi, menjadi sebuah beban yang sangat berat yang harus ditanggung baik oleh pasangan pengantin, dan tak jarang akan berlanjut dan berdampak terhadap kehidupan pasca pernikahan.

Ketiga fenomena tersebut di atas mengindikasikan telah terjadinya pergeseran nilai substansi dari sebuah pernikahan. Pernikahan yang sejatinya adalah sebuah ritual suci yang semata-mata dilakukan sebagai bentuk penghambaan (ibadah) kepada Allah SWT dalam rangka meraih ridha-Nya, namun harus dikotori dengan berbagai hal negatif. 

Pernikahan yang sebenarnya merupakan sebuah ibadah yang mudah, namun harus menjadi ritual yang sangat ribet, merepotkan, dan membebani, karena mementingkan tradisi dan gengsi. Begitu halnya dengan resepsi pernikahan yang seharusnya menjadi ajang silaturahim dan sekaligus berbagi kebahagiaan dengan mengumumkan telah sah dan halalnya hubungan dua insan yang diikat dengan sebuah pernikahan, namun harus bergeser menjadi ajang unjuk kehormatan dan kemewahan, akibat dari pemenuhan kebutuhan gengsi.

Namun demikian, walaupun pernikahan itu mudah, tetapi jangan diremehkan, sehingga terlena untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan baru yang begitu panjang, yang tentunya tidak selamanya berjalan dengan mulus. Persiapan diri untuk kehidupan pasca pernikahan itu jauh lebih penting daripada mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan ritual dan prosesi pernikahan itu sendiri. 

Namun bukan berarti kita harus anti terhadap adat dan tradisi. Persiapkan dan sikapi pernikahan dengan bijak, tanpa harus mengabaikan substansinya, dengan mempertimbangkan berbagai aspek dalam pelaksanaannya. Sehingga pernikahan akan tetap menjadi ritual suci yang akan menjadi entry point untuk kebahagiaan kehidupan keluarga dalam naungan ridha Ilahi.

Itulah sedikit kajian terhadap tiga fenomena dalam pernikahan yang kerap kali terjadi di masyarakat. Seluruhnya kembali pada pribadi kita masing-masing dalam menyikapi fenomena-fenomena tersebut. Namun, tak ada salahnya kajian ulang secara mendalam perlu untuk dilakukan sebelum melangkah dan menentukan sikap.          

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun