"Lima hari sekolah", itulah topik pendidikan yang sedang hangat diperbincangkan dan diperdebatkan oleh berbagai kalangan di negeri tercinta ini. Pasalnya, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2017 Tentang Hari Sekolah, menetapkan waktu kegiatan pembelajaran di sekolah berlangsung lima hari dari Senin hingga Jumat, dengan alokasi waktu 8 jam setiap harinya. Kebijakan ini akan diterapkan pada tahun ajaran 2017/2018 mendatang.
Mendikbud Muhadjir Effendy dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Jakarta, Selasa (13/6), mengatakan bahwa kebijakan lima hari sekolah itu bukan Full Day School (FDS), melainkan kebijakan itu bertujuan untuk mendukung penguatan pendidikan karakter. Namun apabila dicermati sebenarnya kebijakan tersebut tidaklah berbeda dengan Full Day School. Karena di dalam praktiknya waktu sekolah akan berlangsung hingga sore hari.
Apabila kita memperhatikan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, sebenarnya kita lebih membutuhkan Full Day Education (FDE), daripada Full Day School (FDS). Karena untuk mencetak manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, tak cukup hanya dengan peran sekolah. Peran besar keluarga dan masyarakat pun sangat dibutuhkan.
Berbicara mengenai FDE, pada hakikatnya konsep tersebut telah dimiliki oleh Bangsa ini sejak lama. Bangsa yang besar ini telah memiliki konsep "Trilogi Pendidikan", sebuah konsep hubungan dan kerjasama serta keterpaduan antara lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat dalam mencerdaskan anak bangsa. Ketiga komponen tersebut memiliki peran strategis dan bertanggungjawab dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Selama berada di lingkungan keluarga, orang tua berkewajiban dan berperan dalam memberikan dasar pendidikan, sikap, dan keterampilan dasar seperti pendidikan agama, budi pekerti, etika, sopan santun, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk mematuhi peraturan-peraturan, dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (Idris dan Jamal, 1992). Peran besar keluarga semacam ini sangat dibutuhkan, karena keluarga merupakan awal dari pendidikan bagi anak-anak, seperti yang disebut oleh Comenius (1592-1670) seorang ahli didaktik dalam bukunya Didaktica Magna sebagai Scola-Materna atau Sekolah Ibu.
Kemudian komponen trilogi pendidikan kedua (lingkungan sekolah), berperan menyelenggarakan pendidikan dengan kurikulumnya untuk mengembangkan dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki peserta didik sesuai dengan tahap tumbuh kembangnya yang mengarah pada ketercapaian tujuan pendidikan yang diamanatkan kepadanya. Peserta didik dalam hal ini tidak dijadikan sebagai objek, melainkan sebagai subjek, dan sekolah berperan sebagai fasilitator dan motivator terhadap perkembangan peserta didik. Selain itu, sekolah sebagai lingkungan kedua harus bisa meneruskan, memperbaiki bahkan menambah segala sesuatu yang telah di dapatkan peserta didik di lingkungan pertamanya.
Selain itu, lingkungan masyarakat sebagai bagian dalam trilogi pendidikan juga memiliki andil yang sangat besar dalam upaya mencerdaskan anak bangsa. Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Selain itu, masyarakat pun dapat berperan serta dengan menyelenggarakan pendidikan non formal, berupa pendidikan keagamaan, pendidikan kecakapan hidup, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keterampilan dan pelatihan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan dan menguatkan kemampuan dan kepribadian peserta didik, seperti menyelenggarakan madrasah diniyah, sanggar belajar, sanggar seni, lembaga kursus, dan perkumpulan-perkumpulan pemuda dalam berbagai bidang.
Dengan sinergitas dan sinkronisasi serta keterpaduan ketiga komponen tersebut di atas (keluarga, sekolah, dan masyarakat) sebagai trilogi pendidikan, anak-anak akan mendapatkan pendidikan sepanjang hari (FDE). Betapa tidak, waktu yang terlama dalam sehari semalam dalam kehidupan anak-anak dihabiskan di lingkungan keluarga yang diisi dengan berbagai kegiatan yang bernuansa pendidikan. Kemudian pagi hari hingga siang hari berada di lingkungan sekolah yang dengan kurikulumnya, anak-anak mendapatkan pendidikan dan bimbingan yang dapat mengembangkan dan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Setelah dari sekolah, anak-anak kembali ke lingkungan masyarakat dengan mengikuti berbagai kegiatan di masyarakat dalam bidang keagamaan di madrasah atau di masjid/mushola, bidang seni dan pengembangan bakat di sanggar-sanggar seni, dan bidang-bidang lainnya sesuai dengan minat dan bakat anak, serta melakukan berbagai kegiatan sosial, bersosialisasi dengan masyarakat, mengeksplorasi alam, bermain dan berinteraksi dengan teman-teman mereka, yang dengan semua itu anak-anak akan mendapatkan berbagai pengalaman penting yang tidak mereka dapatkan di lingkungan keluarga maupun sekolah, yang tentunya akan sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup mereka di masa yang akan datang. Berbagai nilai kehidupan akan mereka dapatkan untuk pengembangan dan penguatan karakter ke arah kedewasaan, kemandirian, kepekaan sosial, dan lain sebagainya.
Belum lagi di beberapa daerah terdapat tradisi apabila sudah beranjak remaja, anak laki-laki memilih tidur di masjid/mushola/surau. Di tempat tersebut, mereka dapat berbagi ilmu tentang kecakapan hidup (life skill), pencak silat, berpidato, mengolah lahan, dan berbagai kegiatan yang akan semakin memperkuat karakter mereka.
Model pendidikan semacam inilah yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Dimana anak-anak akan mendapatkan berbagai pengalaman hidup yang semuanya bernuansa pendidikan sepanjang hari. Semua berproses sesuai dengan tumbuh kembang anak, dan mereka menjalaninya dengan tanpa beban.
Menilik kembali kebijakan Mendikbud yang akan diberlakukan pada tahun ajaran 2017/2018 mendatang, sekilas tak berbeda dengan dengan konsep FDS, karena waktu sekolah akan berlangsung hingga sore setiap harinya dari Senin hingga Jumat. Namun di dalam beberapa penjelasan Mendikbud yang diberitakan media, beliau menyampaikan bahwa kebijakan yang bertujuan untuk Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) terkait nilai religius, nasionalis, gotong-royong, mandiri, dan integritas ini dalam implementasinya bukan berarti siswa akan berada di sekolah sepanjang hari, namun siswa juga dapat menjadikan tempat ibadah, madrasah, museum, taman budaya, sanggar seni dan tempat-tempat lainnya sebagai sumber belajar. Pihak sekolah dapat menjalin kerjasama dengan tempat-tempat tersebut dalam penguatan karakter siswa. Selain itu, beliau pun menjelaskan bahwa guru akan mendorong siswa untuk belajar dengan berbagai metode, seperti role playing, dan proyek, serta mereka dapat belajar dari bermacam-macam sumber belajar, seperti dari seniman, petani, ustadz, pendeta, dan lain sebagainya, namun guru harus tetap bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas siswanya.
Memperhatikan permendikbud yang baru diterbitkan dan penjelasan Mendikbud yang ada, apakah ini merupakan sebuah upaya mensinergikan ketiga komponen dari "trilogi pendidikan", dan mengarah pada FDE? Dengan meminta pihak sekolah untuk menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang ada di masyarakat, dan menjadikan potensi-potensi yang ada di masyarakat sebagai sumber belajar dalam rangka penguatan karakter para siswa. Ataukah semua itu hanya sekedar bertujuan untuk mendesain seluruh sekolah di Indonesia menjadi FDS? Sekolah yang pelaksanaan kurikulumnya berlangsung dari pagi hingga sore hari. Itu pun Kemendikbud hanya baru sekedar menetapkan mengenai waktu sekolahnya. Kurikulum, pedoman teknis, dan berbagai perangkat yang terkait dengan konsekuensi penambahan waktu belajar hingga sore hari, baru akan dipersiapkan kemudian.
Walaupun saya yakin pelaksanaan dari kebijakan lima hari sekolah akan berjalan dengan lancar, namun yang saya khawatirkan adalah program beserta implementasinya yang akan mengisi selisih waktu sebagai konsekuensi dari penambahan jam belajar hingga sore hari, yang sebenarnya merupakan hal yang substansial, apakah akan memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan, khususnya karakter siswa, atau malah akan menimbulkan kegaduhan dan tumpang tindih di sana sini, yang akan menyebabkan  keruwetan permasalahan pendidikan di negeri ini.
Namun demikian, mari kita hormati kebijakan yang telah ditetapkan, kita ikuti dan dukung proses implementasinya, dengan tetap memberikan saran dan kritik yang positif untuk perbaikannya, demi terwujudnya sistem pendidikan yang berkualitas di negeri yang kita cintai ini. Di akhir tulisan ini, sekali lagi saya hanya ingin menyampaikan bahwa kita sebenarnya butuh FDE, bukan FDS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H