Hari Sabtu, jika tak ada halangan biasanya saya gunakan untuk melakukan aktivitas olahraga sekalian rekreasi. Â Tentunya berbeda dengan hari-hari biasa yang cukup berjalan kaki ke area persawahan dekat rumah. Kali ini saya melakukan solo hiking ke Lereng Kelir yang puncaknya memiliki ketinggian 1.300 mdpl.
Lereng Kelir terletak di Dusun Gertas, Desa Brongkol, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Perjalanan menuju ke Dusun Gertas melalui jalanan beraspal yang menanjak dan berkelok. Pepohonan durian menjadi penghias di sepanjang perjalanan. Tak mengherankan jika Desa Brongkol dikenal sebagai sentra penghasil durian. Ketika tiba musimnya, kios-kios durian pun dipenuhi durian yang menyebarkan aroma harum. Siapa sih yang tak tergoda tuk ikut mencicipi lezat dan legitnya durian.
Tugu durian di perempatan sebagai landmark Desa Brongkol yang tertata rapi. Kalau dari arah Banyubiru menuju ke Lereng Kelir dari tugu ini belok ke kiri menuju ke Dusun Gertas.
Dengan mengikuti panduan dari Google Maps dan bertanya ke warga, sekitar pukul 7:00 WIB saya akhirnya sampai di Dusun Gertas. Saya menitipkan sepeda motor di halaman rumah seorang warga yang bernama Yani (45), ibu dua orang anak yang ramah.
Wisata Lereng Kelir dulu sempat hits dan ramai dikunjungi wisatawan lokal yang hobi mendaki. Warga Dusun Gertas pun menyediakan sarana penunjangnya, seperti gardu pandang, spot foto, warung dan lainnya. Namun sekarang situasinya sudah jauh berbeda. Tak terlihat lagi ada nuansa wisata di dusun ini.
Informasi terbaru yang saya dapatkan sebelum pendakian ke Lereng Kelir, pada akhir bulan September kemarin terjadi kebakaran. Bu Yani merupakan salah satu warga yang terdampak. Pohon kopinya di puncak Kelir ludes dilahap di jago merah. Api berasal dari wilayah dusun tetangga yang terbakar duluan. Tiupan angin yang kencang merambatkan api sampai ke wilayah Dusun Gertas. Raut kesedihan masih terlihat di wajah Bu Yani.
Menurut beberapa media online, puluhan hektar lahan di Lereng Kelir ludes terbakar. Di musim kemarau ini cuaca sangat panas. Tanaman perdu dan rerumputan mengering. Gesekan batu yang jatuh bisa memercikkan api. Atau mungkin ada kesalahan manusia atau human error?
Beberapa menit kemudian saya mulai melakukan pendakian ke puncak "Gunung Kelir" Â atau "Bukit Kelir." Namun ketika saya bertanya ke beberapa warga setempat yang saya temui mereka menamakannya Lereng Kelir.
Pasokan air bersih untuk memenuhi kebutuhan warga Dusun Gertas yang terdiri dari 5 RT berasal dari sumur bor dengan kedalaman 90 m. Air ditampung di tandon kemudian didistribusikan ke rumah-rumah warga. Mereka membayar biaya bulanan sesuai dengan pemakaian, "Kata Ribut (46)," warga dusun Gertas yang memiliki kebun kopi varietas robusta. Tanaman kopi jenis ini tumbuh subur ditempat ini.
Trek pendakian ke puncak Kelir cukup vatiatif, mulai dari jalan rabat beton, makadam (jalan berbatu tersusun rapi) dan jalan setapak tanah kering yang sudah mengeras. Bau wangi bunga kopi menemani pendakian saya. Selain tanaman kopi, ada juga tanaman buah-buahan, seperti pisang, nangka, durian dan alpukat. Kebun milik warga pun ada yang ditanami pohon suren dan sengon.
Selama pendakian saya menjumpai ada tiga pos dengan shelter kayu. Namun Pos 2 dan Pos 3 dalam kondisi rusak. Petunjuk arah ke puncak pun sudah jatuh ke tanah. Sedangkan tulisan besar "Lereng Kelir" pun warna kuningnya sudah pudar. Tempat wisata yang kurang dikelola dengan baik atau memang sudah tak diminati wisatawan lagi, sehingga dibiarkan rusak begitu saja.Â
Setelah berjalan selama 1 jam 5 menit (2.5 km) akhirnya saya sampai di puncak "Gunung Kelir." Lumayan juga olahraga saya hari ini. Turunnya saya akan melalui jalur yang sedikit berbeda.
Tak seorangpun saya jumpai di puncak Kelir selain saya sendiri. Namun solo hiking tetaplah mengasyikkan. Setiap pendakian selalu memberikan pengalaman dan pengetahuan baru bagi saya.
Saya lalu menaiki gardu pandang yang masih cukup kokoh. Panorama yang cukup indah tersaji sejauh mata memandang. Gunung Ungaran, Gajah, Telomoyo dan Danau Rawa Pening terlihat elok. Namun sayangnya masih agak berkabut sehingga gunung-gunung yang lain, juga Kota Salatiga dan Ambarawa tak terlihat jelas.
Setelah istirahat sebentar di shelter sambil minum dan makan roti yang saya bawa dari rumah, saya pun jadi kepo. Seberapa sih kerusakan yang diakibatkan oleh kebakaran di Lereng Kelir. Saya lalu memeriksa lahan bekas kebakaran tersebut.
Lereng di bawah gardu pandang terlihat sisa tanaman yang habis terbakar. Hutan pinus, serta tanaman kopi dan buah-buahan warga Dusun Gertas pun banyak yang hangus terbakar. Saya lalu menjelajahi hutan pinus yang terbakar itu. Batang bawah pohon pinus terlihat berwarna hitam. Ada sebagian daun pinus yang ikut terbakar.
Mediaindonesia.com (30/9/2023) mencatat; puluhan petugas kepolisian, TNI dan BPBD Semarang dibantu oleh relawan dan warga akhirnya bisa memadamkan kebakaran di Lereng Kelir.Â
Penutup
Saya turut prihatin dengan kondisi Lereng Kelir saat ini. Dahulu Wisata Lereng Kelir bisa mendorong pertumbuhan ekonomi warga setempat. Di puncak Kelir mereka menjual kopi robusta yang sudah diproses hasil panen dari kebun mereka. Uang pemasukan dari tiket pendakian, parkir kendaraan dan jasa ojek hanyalah kenangan indah masa lalu.Â
Semoga kedepannya Lereng Kelir bisa bersolek lagi dan menyuguhkan sesuatu yang berbeda sehingga bisa menarik wisatawan untuk datang lagi. Salam wisata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H