Ujian Nasional (UN) kembali menjadi perbincangan hangat di penghujung tahun 2016. Setelah usulan tentang moratorium (penundaan) pelaksanaan UN tahun 2017 tidak disetujui dalam rapat terbatas kabinet pemerintahan Jokowi-JK beberapa waktu lalu, Kemendikbud melakukan perubahan dalam UN 2017 terutama pada jenjang SMA. Perubahan yang cukup signifikan itu terdapat pada kebebasan siswa untuk memilih mata pelajaran yang diujikan.
UN pada tahun sebelumnya, siswa SMA menghadapi enam mata ujian yang terdiri tiga mata pelajaran wajib/utama (bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika) dan tiga mata pelajaran lainnya sesuai dengan penjurusan masing-masing.
Seperti yang dilansir di Koran Radar Sulteng edisi 26 Desember 2016, perubahan drastis UN bakal diterapkan Kemendikbud di tahun 2017 adalah pengurangan jumlah mata pelajaran yang diujikan dari enam menjadi empat mata pelajaran. Tiga mata pelajaran utama tetap diujikan, tetapi untuk mata pelajaran penjurusan cukup satu. Misalnya siswa program peminatan IPA memilih mata pelajaran biologi, maka siswa tersebut tidak lagi diuji dengan pelajaran kimia dan fisika. Praktis, siswa itu hanya diuji dengan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, dan biologi. Demikian pula siswa pada program IPS, jika memilih sosiologi dalam UN, maka tidak lagi mengerjakan geografi dan ekonomi.
Alasan penerapan aturan pilihan mata pelajaran UN 2017 menurut Kepala Pusat Penilaian Pendidik (Puspendik) Kemendikbud Nizam adalah untuk memberi rasa keadilan kepada siswa yang menyukai mata pelajaran tertentu. Sementara Kepala Balitbang Kemendikbud Totok Suprayitno memberi alasan mata pelajaran penjurusan sudah diujikan pada Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Alasan sederhana yang dikemukakan oleh kepala Puspendik dan Balitbang Kemendikbud tersebut perlu dikaji kembali karena kurang sesuai dengan filosofi penjurusan (IPA/IPS/bahasa) di jenjang SMA.
Menurut hemat penulis, skema baru UN belum layak diterapkan pada UN 2017. Pertama, pengujian secara parsial mata pelajaran jurusan tidak dapat menggambarkan secara utuh kompetensi bidang yang diminatinya. Secara subtansi, kurikulum 2013 yang proses penjurusannya dimulai sejak kelas X sangat tidak relevan dengan model pengujian parsial. Misal siswa peminatan MIPA yang menyukai bidang biologi memilih UN biologi kemudian memperoleh nilai bagus belum tentu menggambarkan kompetensinya dibidang MIPA karena kimia dan fisika tidak termasuk di dalamnya.
Kedua, terjadi disorientasi pelaksanaan UN di tingkat sekolah dan siswa. Jelang pelaksanaan UN 2017 yang tinggal beberapa bulan ke depan tidak cukup waktu bagi sekolah dan siswa untuk menyesuaikan skema baru UN. Sekolah yang sejak awal mempersiapkan siswanya dengan berbagai program menghadapi UN akan mandeg, karena pilihan siswa kemungkinan akan terkonsentrasi pada mata pelajaran yang dianggap mudah. Misalnya siswa MIPA lebih memilih mata pelajaran biologi yang tidak ada hitung-hitung karena relatif lebih mudah dibanding kimia dan fisika.
Ketiga, sekolah di jenjang SMA/SMK seluruh Indonesia masih dalam proses pengalihan kewenangan dari perintah kota/kabupaten kepada perintah provinsi. Proses pengalihan kewenangan yang merupakan implementasi dari Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah masih menyisakan masalah pelik di sejumlah Dinas Pendidikan provinsi terkait penggajian terutama tenaga honorer. Dinas pendidikan provinsi pun disibukkan dengan pembentukan struktur baru untuk menyesuaikan dengan cakupan luas wilayahnya. Kondisi ini tentu menyita perhatian pada pelaksanaan UN jenjang SMA/SMK yang telah menjadi tanggungjawab Dinas Pendidikan provinsi mulai tahun 2017. Alih-alih melaksanakan UN yang berintegritas, justru yang terjadi adalah UN yang diwarnai dengan ketidakjujuran karena minimnya perencanaan dan lemahnya pengawasan dari intansi terkait.
Dengan tiga alasan yang dikemukakan penulis di atas, diharapkan pemerintah tidak terburu-buru dengan skema baru UN yang akan diterapkan tahun depan. UN yang dua tahun terakhir tidak lagi menjadi penentu kelulusan terasa adem dan bersahabat, jangan lagi membuat guru dan siswa menjadi resah dan bingung. Perlu waktu minimal satu tahun bagi pemerintah menyiapkan format baru UN sekaligus melakukan sosialisasi kepada sekolah dan masyarakat. Pemerintah cukup menggunakan format UN pola lama yang sudah baik. Yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana agar setiap sekolah dapat menyelenggarakan UN dengan kejujuran.
Sejatinya, pemerintah berkonsentrasi saja pada pengawasan penyelenggaraan UN. Praktik kecurangan seperti jual-beli kunci jawaban UN, kebocoran soal, siswa menyontek, dan pengawas ruang yang membiarkan terjadinya kecurangan harus dicegah.
Tampaknya Mendikbud Muhadjir Effendy sangat berkeinginan ada perubahan dalam sistem pendidikan Indonesia selama masa kepemimpinannya. Sebelumnya beliau membuat heboh dunia pendidikan Indonesia dengan melempar wacana Full Day School ke publik dan mengusulkan moratorium UN 2017. Meskipun sebatas wacana, tak pelak program Full Day Schooldan penundaan UN 2017 telah membentuk persepsi publik bahwa itu benar-benar akan terjadi.
Jika pada akhirnya nanti di tahun-tahun mendatang skema baru UN diterapkan, tidaklah ditafsirkan sekedar terlihat berbeda dari program Mendikbud sebelumnya.