Menag Yaqut Cholil Qoumas hebohkan masyarakat dengan pernyataanya mengenai pengaturan suara adzan
Baru-baru ini masyarakat Islam Indonesia dihebohkan dengan adanya pernyataan Menag Yaqut yang dianggap membandingkan suara Adzan dengan suara gonggongan anjing. Pernyataan itu sontak menimbulkan kecaman dari berbagai masyarakat, "Yaqut telah menistakan agama" dan meminta Yaqut untuk meninggalkan jabatannya sebagai Menteri Agama RI.
Kasus seperti ini sebenarnya sangat menarik untuk kita bahas secara mendalam, artinya kita disini harus memahami konteks dari yang dinyatakan Menag.Â
Ada niat yang baik dari pernyataanya Menag namun juga sekaligus ada kekeliruan saat mensosialisasikan mengenai pengaturan suara Toa Masjid ketika digunakan misalnya ketika Adzan atau Sholawatan.Â
Dalam persoalan ini penulis mencoba menengahi. Hemat penulis harusnya Menag ketika memberikan pernyatan itu di awali dengan memberikan pengantar terlebih dahulu sehingga tidak langsung kepada inti permasalahan, misalnya dengan memberikan satu contoh kasus yang dulu pernah terjadi di Tanjungbalai Sumatra Utara tahun 2016.Â
Seorang perempuan yang bernama Meiliana keturunan Tionghoa (non Muslim) yang meminta kepada pengurus masjid untuk mengecilkan suara Adzan karena merasa bising dan mengganggu. Namun, sayang permintaan itu berujung dipenjara karena dianggap menghina Islam.Â
Nah dari contoh itu kiranya bisa memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara umum. Itu kiranya yang menjadi kekeliruannya. Kemudian soal ilustrasi antara suara Adzan dengan suara gonggongan Anjing, memang benar Menag tidak membandingkan dua suara itu, tetapi ketika dua suara itu itu dihadirkan dalam pernyataannya, ini yang menjadi persoalan sehingga menimbulkan kegaduhan dimasyarakat Muslim.Â
Sekali lagi menurut penulis ada sebuah penyampaian dari Menag yang tidak tuntas. Tolong berikan pemahaman kepada masyarakat secara menyeluruh.
Kemudian mengenai reaksi masyarakat pada persoalan ini, menurut penulis itu merupakan hal yang wajar terjadi. Karena memang masyarakat tidak bisa memahami secara langsung apa yang sesungguhnya digagas oleh Menag.Â
Dalam hal ini menurut penulis, masyarakat Muslim juga harus sadar bahwa Menteri Agama itu bukan hanya mengusrus satu agama saja, dalam hal ini agama Islam. Tetapi Menteri Agama juga harus mengurusi semua agama yang ada di Indonesia bahkan aliran kepercayaan pun haknya harus tetap dilindungi. Ini semua bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada semua agama yang ada.
Kembali lagi kepada contoh di atas. Tahun 2016 lalu di Tanjung Balai sumatra ada sebuah kasus yang dianggap telah menghina agama Islam sehingga pada akhirnya tersangka harus dipenjarakan.
 Seorang perempuan bernama Meiliana keturunan Tionghoa (non Muslim) meminta kepada pengurus masjid dekat rumahnya untuk mengecilkan suara adzan karena terdengar sangat bising dan mengganggu.Â
Dalam kasus ini si perempuan tidak melarang untuk mengumandangkan Adzan hanya meminta untuk dikecilkan saja. Namun, tidak disangka ternayata permintaan itu direspon dengan sangat tidak bijak dan menimbulkan kegaduhan dimasyarakat.Â
Semua orang berteriak menghakimi tersangka, meminta untuk diadili dan dipenjarakan. Tidak puas sampai di situ kemudian masyarakat mengrudug rumah tersangka dan juga menyerang Vihara dan Klenteng yang ada di Tanjungbalai. Meiliana pun berakhir dipenjarakan selama 18 bulan.
Dari kasus di atas sungguh sangat miris ijka kita perhatikan. Bermula dari masalah yang sangat sepele kemudian mejadi kasus yang sangat besar dan menimbulkan kegaduhan.Â
Dalam kasus di atas bisa kita ambil hikmahnya bahwa kita sebagai seorang Muslim tidak bisa seenaknya terhadap orang lain yang danggap berbeda dengan kita. Mayoritas tidak bisa seenaknya mengadili begitu saja terhadap kaum minoritas. Bisa kita lihat dari kasus di atas bahwa sudah tidak ada lagi yang namanya toleransi dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.Â
Sebenarnya apa susahnya mengecilkan suara toa masjid supaya tidak mengganggu umat yang lain, mungkin tidak akan terjadi masalah yang lebih besar lagi jika berpikir bijak seperti itu. Mari hidup saling berdampingan dengan tidak saling membenci karena perbedaan.
Masyarakat Homogen dan Masyarakat Multikultural
Ada dua pandangan yang berbeda mengenai persoalan pengaturan suara toa masjid. Pertama pandangan untuk masyarakat Homogen.Â
Masyarakat Homogen atau masyarakat pedesaan yang cenderung semua kondisi budaya dan agamanya sama dan juga jarang menemukan perbedaan dalam kehidupan beragama, mungkin pengaturan suara toa masjid itu tidak pernah bisa berlaku untuk diterapkan. Sehingga ketika ada pernyataan mengenai pengaturan volume toa masjid akan menimbulkan reaksi dari masyarakat, karena hal ini merupakan hal yang baru didengar.Â
Berbeda lagi dengan masyarakat multikultural atau masyarakat perkotaa yang beraneka ragam yang  semua budaya, suku dan juga agamanya berbeda, maka pengaturan mengenai volume suara toa masjid akan sangat berlaku untuk diterapkan  karena melihat kondisi masyarakat yang berbeda dan tujuannya untuk saling menghormati tanpa mengganggu umat lain. Dari dua pandangan ini maka harus ada regulasi yang bisa mengaturnya sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Indonesai dibangun dengan perbedaan-perbedaan yang ada maka patutlah kita sebagai orang Indonesia menghormati itu semua. Perbedaan adalah satu hal yang wajar itu sudah menjadi hukum Tuhan yang tidak bisa manusia elakan dibumi ini, karena memang Tuhan menginginkan semuanya berbeda dan yang tidak Tuhan inginkan adalah perpecahan dan peperangan sehingga menimbulkan pertumpahan darah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H