[caption id="attachment_264975" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi:mizan.com"][/caption] Dalam berbagai pergesekan sosial yang melibatkan mayoritas dan minoritas, tanpa kita sadari sebenarnya seringkali terjadi jika mereka yang berada di baris mayoritas tiba-tiba disudutkan dan dipojokkan. Setiap ada sebuah perselisihan antar kelompok maka hampir bisa dipastikan sang mayoritas menjadi yang dipersalahkan. Sebagian mengatakan "ah...itu perbuatan tidak toleran, tidak menghargai perbedaan dan menindas kaum minoritas." Dengan menggalang opini dari berbagai pihak, mengatasnamakan HAM, kebebasan berfikir, dan bla...bla...bla...mereka yang sebenarnya "minoritas biasa" tiba-tiba mejadi "minoritas yang dominan". Contoh paling mudah kita jangkau adalah kasus Ahmadiah (minoritas) dan kaum muslim kontra Ahmadiah (mayoritas). Dalam banyak pemberitaan, dipersepsikan bahwa sepertinya sang mayoritas adalah pihak yang dianggap tidak dewasa, kekanak-kanakan dan sok benar sendiri. Mereka yang melakukan tindakan pembelaan terhadap Manhaj pemikiran mayoritas kemudian dicap arogan dan penyuka kekerasan untuk mengatasi masalah. Dengan cerdiknya, mereka minoritas benar-benar memanfaatkan setiap momen untuk menempatkan dirinya sebagai pihak yang teraniaya, terdzalimi hak nya, dan korban dari kesewenang-wenangan pihak mayoritas. [caption id="attachment_264976" align="aligncenter" width="300" caption="Apakah kita akan lebih senang dan dengan gampang berkomentar "]
[/caption] Saya tidak ingin mengatakan bahwa apapun tindakan yang dilakukan kaum mayoritas adalah sebuah kebenaran. Namun, yang perlu diingat adalah mereka kaum mayoritas juga orang-orang yang mengerti aturan dan tatakrama, terdidik dengan baik dan tentunya juga sadar nilai. Jika kemudian terjadi hal-hal yang kurang baik, maka yang harus benar-benar diperhatikan adalah akar permasalahan atau bara dalam sekam yang membuat kabut permasalahan itu kian menebal. Jangan sampai kita disibukkan dengan komentar-komentar terhadap ekses atau hasil dari peristiwa itu dan melupakan sebab, asal muasal perselisihan itu terjadi. Jika kemudian kita lantang ikut-ikutan latah membela monoritas karena mereka dipukuli, diusir dari desanya, dll maka kita tidak sepenuhnya benar. Akan menjadi sepenuhnya benar jika kemudian kita menyelami akar masalah pergesekan dan kemudian menggali gambaran sepadan antara pro dan kontra dari berbagai fakta lapangan yang bisa dijadikan bahan diskusi. Polarisasi pendapat tentu tetap akan terjadi, pasti akan tetap terbentuk kelompok pendukung dan penentang, namun setidaknya kelompok ini lebih jelas landasan pemikirannya yaitu pemikiran yang berlandaskan "pemahaman akar masalah" bukan karena segelintir pengetahuan tentang efek domino dari pokok masalah. Menjadikan benar dan salah sebagai pijakan dalam hubungan masyarakat mayoritas dan minoritas adalah sebuah kemustahilan. Hal ini disebabkan oleh kerelatifan makna kebenaran itu sendiri. Masyarakat mayoritas tentu mempunyai nilai yang dianggap paling benar, demikian juga masyarakat minoritas. Memaksakan kedua kebenaran itu menjadi hanya satu kebenaran saja akan menjadi sangat sulit, terlebih jika perselisihan itu terkait dengan keyakinan. lalu apa yang bisa dilakukan untuk bisa menciptakan hubungan mayoritas dan minoritas yang lebih harnomis dan selaras? Sederhana saja. Tahu diri, tahu kewajiban dulu baru menuntut hak. Mereka yang mayoritas harus bisa melindungi, membina dan juga mengarahkan mereka yang minoritas. Keistimewaan mereka sebagai mayoritas harus juga dibarengi dengan toleransi yang baik "great power comes great responsibility". Sebaliknya bagi mereka yang minoritas juga harus sadar posisi mereka. Jika mereka sudah bisa mendapatkan perlakuan yang layak, maka menjunjung tinggi toleransi terhadap kaum mayoritas adalah sebuah keniscayaan. "dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung" dimana kita berada atau hidup, adalah sebuah keharusan bagi kita untuk menghormati adat istiadat, kebiasaan, nilai, dan teramasuk kepercayaan pada masyarakat itu (mayoritas). Sedikit saja salah satu pihak itu kemudian melewati batas, maka prahara sosial adalah hasil terburuk yang pasti akan menimpa. Toleransi sepertinya bukan (hanya) kewajiban kaum mayoritas Selamat malam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya