Pada tanggal 17 Agustus 1964 Presiden Soekarno dalam pidatonya untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke 19 Republik Indonesia yang berjudul “Tahun Vivere Pericoloso” atau sering dikenal dengan akronim “Tavip” mengungkapkan tiga paradigma yang akan mampu membangkitkan Indonesia menjadi bangsa yang besar, baik secara politik, budaya maupun ekonomi. Konsep tiga paradigma tersebut dinamakan dengan “Trisakti” atau tiga kekuatan yang berfungsi sebagai kesaktian bangsa.
Tiga paradigma yang dimaksudkan Soekarno adalah berdaulat dalam politik, berdikari dibidang ekonomi, dan bekepribadian dalam kebudayaan. Dalam konteks Trisakti terdapat pesan yang tersirat bahwa Soekarno menginginkan Indonesia menjadi bangsa yang besar, bangsa yang adil dan makmur terhadap masyarakatnya serta bangsa yang mampu tampil dengan kepribadian serta identitasnya sendiri. Tentunya hal tersebut tidak mampu tercapai bila bangsa ini tidak sepenuhnya memahami konsepsi Trisakti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjadi terbalik ketika Trisakti justru diterapkan oleh Fidel Castro Presiden kuba saat bertemu Adam Malik yang pada waktu itu menjadi Menteri Luar Negeri bahwa dirinya telah mengadopsi ajaran – ajaran dari Soekarno.
Trisakti merupakan nilai – nilai yang terlahir dari bumi pertiwi yang merupakan penjabaran dari Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Pada tahun 2016 ini Trisakti telah menemani kehidupan bangsa Indonesia selama 52 tahun. Selama kurun waktu berpuluh – puluh tahun itu, nilai – nilai Trisakti seakan luntur ditelan zaman. Pemaknaan Trisakti hanya bersifat penghafalan dilingkungan – lingkungan pendidikan tanpa adanya implementasi yang nyata sehingga mudah untuk dilupakan.
Hal tersebut menjadi sangat mengkawatirkan manakala masyarakat Indonesia sendiri tidak mengenal Trisakti sebagai upaya untuk mencapai kesejahteraan bangsa. Masyarakat telah terninabobokan dengan globalisasi sehingga masyarakat menjadi tertidur terhadap perkembangan arus globalisasi yang lambat laun akan masuk ke sendi – sendi kehidupan bangsa Indonesia. Kenapa globalisasi lambat laun akan masuk ke sendi – sendi kehidupan bangsa Indonesia ? begitulah sebuah pertanyaan yang akan menjelaskan apa itu globalisasi.
Menurut wikipedia Indonesia, globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Pada tahun 2000, International Monetary Fund (IMF) mengidentifikasikan empat aspek dasar globalisasi yaitu perdagangan, pergerakan modal dan investasi, migrasi dan perpindahan manusia, serta pembebasan ilmu pengetahuan. Dari defenisi globalisasi tersebut saat ini Indonesia menjadi bagian dari semakian derasnya arus globalisasi yang menghampiri sehingga mau tidak mau harus diterima. Globalisasi memberikan ruang terbuka bagi siapapun untuk lebih mengenal dunia sehingga nantinya batas antar negara yang sejauh ribuan mil tidak dirasakan lagi. Hal tersebut yang akan menyebabkan semakin cepat masuknya dampak buruk globalisasi bagi bangsa Indonesia.
Globalisasi dan Trisakti adalah dua hal yang berbeda, globalisasi dapat dikatakan sebagai racun yang mempunyai kadar kematian yang tinggi, sehingga lambat laun akan menyebabkan kematian kepada yang terkena racunnya, sebaliknya Trisakti merupakan madu sebagai penawarnya yang didapatkan asli dari bumi pertiwi sehingga Trisakti mampu untuk menjadi penawar bangsa Indonesia saat menghadapi arus globalisasi yang semakin deras ini. Trisakti mempunya tiga kekuatan yang berfungsi sebagai kesaktian bangsa, tiga kekuatan inilah yang harus dimaknai sebagai pegangan serta jalan keuar dalam mengatasi problematika bangsa Indonesia yang semakin hari semakin kompleks.
BERDAULAT DALAM POLITIK
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, berdaulat berasal dari kata daulat yang artinya kekuasaan, pemerintahan, sedangkan berdaulat artinya mempunyai kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah dan sebagainya. Sedangkan menurut teori klasik Aristoteles bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Ditinjau dari dua definisi tersebut, Soekarno menginginkan Indonesia mempunyai kekuasaan sendiri atas bangsanya sendiri. Kekuasaan yang dimaksud yaitu kekuasaan tanpa adanya campur tangan dari negara lain dalam urusan negaranya sendiri. Hubungan dengan negara lain merupakan suatu bentuk globalisasi yang tidak dapat dihindari oleh suatu negara, negara yang tidak mau ikut dalam globalisasi lambat laun akan tertinggal bahkan akan diasingkan didalam dunia internasional. Selama ini Indonesia menganut politik luar negeri yang bebas dan aktif tanpa memihak blok timur maupun blok barat sehingga Indonesia berada diporos tengah dalam menjalankan politik luar negerinya. Hal ini dipertegas kembali oleh Presiden Joko Widodo dalam Nawacita yaitu mewujudkan politik luar negeri bebas aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Negera harus memaknai globalisasi sebagai suatu cara untuk mempertegas sikap politik Indonesia didunia internasional serta memperkokoh jati diri bangsa untuk mencapai kemakmuran bersama. Dampak globalisasi yang akan masuk ke Indonesia sudah tidak dapat dihindari kembali, intervensi – intervensi politik dari luar negeri serta lembaga – lembaga internasional merupakan hal yang wajar diera globalisasi ini, hal inilah yang harus dimengerti bahwa intervensi – intervensi politik merupakan suatu penjajahan baru untuk mengontrol negara agar mau ikut dalam peraturan – peraturan yang sangat merugikan. Berdikari dalam bidang politik merupakan suatu formula untuk mengingatkan bangsa ini bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar, bangsa yang mempunyai prinsip – prinsip politik yang kuat dan bangsa yang mempunyai jati diri untuk mencegah dampak – dampak yang ditimbulkan dari globalisasi politik.