Mohon tunggu...
Aris Rahman Purnama Putra
Aris Rahman Purnama Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis I Editor I Content Creator

Cuma air kencing~

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Filsafat Jalan Kaki, Berfilsafat Sambil Jalan Kaki

13 Juni 2021   07:48 Diperbarui: 13 Juni 2021   07:52 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Penerbit Renebook

Judul: A Philoshophy of Walking

Penulis: Frederic Gros

Penerbit: Renebook 

Cetak: Februari 2020

Tebal: 284 halaman

ISBN: 978-602-1201-86-2

 *

APAKAH pembaca sekalian masih sering berjalan kaki? Bila jawabannya iya, maka ada sekian kemungkinan yang menjelaskan kenapa kalian masih sering berjalan kaki. Bisa jadi pembaca sekalian adalah bagian dari kelas menengah maupun menengah atas yang sudah beres dengan urusan perut sehingga punya waktu luang untuk mengurusi perkara kesehatan, sehingga mengagendakan di suatu pagi yang cerah atau di sore yang syahdu untuk berjalan-jalan mencari keringat di sekitaran kompleks sembari menghirup udara segar. Atau, bisa juga, pembaca sekalian seperti saya, masih sering berjalan kaki ke mana-mana karena motor kesayangan baru saja di"sekolah"kan sebagai modal merantau mengadu nasib ke ibukota, atau barangkali, ya memang tak pernah punya motor dan tak bisa naik motor sepanjang hidup.

Apa pun alasannya, baik karena tujuan kesehatan maupun karena alasan kepepet keadaan, berjalan kaki banyak mendatangkan manfaat, baik dalam perkara kesehatan fisik maupun psikis. Dan saya, sebagai peresensi yang budiman, akan mencoba mengantarkan pembaca sekalian untuk menyelami berbagai macam pengalaman berjalan kaki yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dunia yang mungkin kisahnya akan mengguncang nalar dan hati para pembaca sekalian, juga berbagai pandangan mengenai berjalan kaki itu sendiri yang tertulis dalam buku A Philoshophy of Walking karya Frederic Gros.

Filsafat Berjalan Kaki 

 "JALAN kaki itu bukanlah sejenis olahraga" (hlm. 1), begitulah kurang lebih kalimat pembuka dalam buku ini, yang seperti ingin menegaskan bahwa keseluruhan isi buku ini tak bakal memandang "berjalan kaki" sebagaimana olahraga yang mendatangkan manfaatkan kesehatan semata, melainkan pada aspek yang lebih filosofis. Kalimat ini sekilas mengingatkan dengan cerita heroik teman saya yang baru saja viral karena berjalan kaki dari Jakarta menuju Rinjani dalam rangka "pencarian jati diri". Tapi mari singkirkan kisah heroik teman saya yang baru saja berhasil menjual buku memoarnya ribuan eksemplar tersebut dan mari kembali kepada buku karya Gros.

Dalam bab berjudul "Kebebasan", dijelaskan bahwa, "Saat berjalan kaki, kita menemukan kekuatan yang begitu luas pada langit malam yang bertabur bintang, energi-energi alam, dan hasrat yang terpuaskan ... Kali ini, tidak ada  jaring semu yang dapat menghalau kita untuk menikmati kegembiraan-kegembiraan sederhana itu ... Berjalan kaki dapat membangunkan diri kita" (hlm. 9). Di bagian ini, Gros beranggapan bahwa berjalan kaki dapat membuat kita lebih menghayati alam sekitar saat berjalan kaki, dan ketika kita bisa menghayati segala kegembiraan sederhana tersebut, diri kita akan "bangun".

Atau dalam bab berjudul "Pelan", berjalan kaki perlahan dipandang dapat melatih diri untuk menghayati setiap detik yang kita lalui dalam hidup: "Hari-hari Anda berjalan kaki pelan-pelan akan sangat panjang: hari-hari itu membuat Anda hidup lebih lama, karena Anda mengizinkan setiap jam, setiap menit, setiap detik, untuk bernapas, untuk menjadi lebih dalam, bukan mengisinya penuh-penuh dengan memaksa sendi-sendi ... Pelan berarti menempel sempurna pada waktu, begitu rapat hingga detik-detik berjatuhan satu demi satu, tetes demi tetes seperti tetesan teratur air dari keran ke atas batu." (hlm. 46).

Sementara dalam bab "Kesenyapan", deceritakan bahwa Thoreau berulangkali menyebutkan bahwa 'kesenyapan' biasanya mampu mengajarinya lebih banyak ketimbang saat bersama orang lain. Dan kegiatannya dalam berjalan kaki di alam selalu dilakukan dalam kesenyapan.

"Kesenyapan ditemukan kembali, mula-mula sebagai sesuatu yang bening. Semuanya tenang, penuh harap, dan tak bergerak. Anda berada di luar celoteh dunia, gaung-gaung lorongnya, berikut kasak-kusuknya. Berjalan kaki: kesenyapan itu mula-mula menghantam Anda seperti desah napas kuat di telinga. Anda merasakan kesenyapan itu seperti embusan angin segar yang meniup pergi awan-awan" (hlm. 74).

Dan sebagai penutup dari bagian ini, mari kita kutip salah satu penggalan puisi gubahan Wordsworth, seseorang yang menggunakan semua perjalanannya sebagai materi untuk puisi-puisinya:

"Maka kucuri sepanjang jalan sunyi itu / Tubuhku dari diam yang mereguk / Daya pemulih bagai tenangnya tidur / Tapi jauh lebih manis, / Di atas, di depan, di belakang, / Di sekelilingku, semua damai dan lengang." (hlm. 262)

Berfilsafat Sambil Berjalan Kaki      

    SIAPAKAH tokoh-tokoh juga pemikir besar yang juga memiliki kebiasaan untuk berjalan kaki?   

Pembaca sekalian mungkin mengenal Nietzche, salah satu filsuf besar yang terkenal dengan kutipan kontroversialnya "Tuhan telah mati" yang sering disalah tafsir oleh banyak orang. Nietzche sendiri menyebut dirinya sebagai seorang pejalan kaki yang hebat. Dalam bukunya yang berjudul Ecce Homo, dia pernah menulis begini: "Duduklah sesedikit mungkin; jangan percayai ide apa pun yang tidak lahir dari udara terbuka dan gerakan kaki yang bebas. Semua prasangka berasal dari aktivitas duduk diam. Hal itu merupakan dosa nyata kepada Roh Kudus" (hlm. 15).

Bagi Nietzche, berjalan dan menyendiri adalah obat bagi rasa sakit yang berdenyut-berdenyut dan menyiksanya, sekaligus sebagai upayanya kabur dari "segala hasutan, tuntutan, gejolak dunia, yang selalu harus dibayar dengan berjam-jam penderitaan" (hlm. 20). Begitu terobsesinya dengan berjalan kaki, hingga pada Agustus 1877, dia hidup sebagai petapa di Rosenlaui dan berkata, "Seandainya saja aku bisa memiliki sebuah rumah kecil di suatu tempat seperti ini, aku akan berjalan enam atau delapan jam sehari, merangsang pemikiran-pemikiran yang nantinya akan kutulis di atas kertas" (hlm. 20).       

Tokoh lain yang memiliki kebiasaan berjalan kaki adalah David Henry Thoreau. Pada Maret 1845, dia membangun kabin dekat Danau Walden dan memulai aksi filosofisnya. "Dia tinggal di sana sendirian selama lebih dari dua tahun, dalam autarki mutlak, di antara pepohonan, di sebelah danau, membajak tanah, berjalan kaki, membaca dan menulis" (hlm. 110). Dari sana kemudian dia menghasilkan karya besar dan berpengaruh berjudul Civil Disobedience dan Walden. Dia juga menjadi penulis risalah filosofis pertama tentang berjalan kaki: Walking. Thoreau mengatakan, "Anda harus terus menghitung dan harus mengaku bahwa Anda bisa bergerak lebih cepat dengan berjalan kaki. Karena untuk mempunyai kuda-kuda penarik dan kereta kuda, Anda harus membayar dengan beberapa hari bekerja ... Jadi berjalan kakilah! Anda akan tiba di tujuan lebih cepat dan akan menikmati ketinggian angkasa, serta warna pepohonan" (hlm. 116-117).

Dan tentunya, salah satu tokoh besar yang begitu legendaris dengan aksi jalan kaki adalah Mahatma Gandhi. Salah satu aksi jalan kaki yang termasyhur yang pernah dilakukan Gandhi adalah mars ke laut untuk mengumpulkan garam sebagai bentuk protes terhadap monopoli pihak Inggris.  Selanjutnya Gandhi tidak pernah berhenti berjalan kaki sepanjang hidupnya. Dia terus saja berjalan hingga akhir hayat untuk menyebarkan perasaan cinta dan persaudaraan terhadap setiap orang. Setiap pagi Gandhi berjalan kaki sembari mendaraskan baris syair liris karya Tagore: "... dan di sepanjang jalan yang berulas darah itu, melangkahlah sendirian" (hlm. 256).

Bagaimana pembaca sekalian yang belum terbiasa berjalan kaki, tertarik untuk mencoba? (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun