Saya mulai artikel ini dengan satu kalimat: Saya tidak menyetujui regulasi sensor pada anak-anak serta remaja dalam menonton, bermain, mendengar atau membaca media populer.
Alasannya sederhana, karena hal tersebut tidak dibutuhkan jika orang tua menyempatkan waktu untuk duduk bersama serta memberikan konteks pada media yang dikonsumsi oleh anak mereka.
Lagi rame ternyata pembahasan mengenai budaya sensor mandiri dalam menonton film horor. Oleh karena itu, saya ingin memberikan sedikit penjelasan mengapa sensor mandiri serta pengawasan orang tua merupakan cara terbaik untuk melindungi anak-anak dan remaja dari media masa dan bukan lembaga sensor.Â
Sensor pada anak-anak memiliki sejarah yang panjang serta terkesan sangat tidak efektif dalam pelaksanaannya. Â Segala jenis media seperti musik, film, hingga permainan videogim yang disinyalir memberi pengaruh buruk pada psikologi anak seolah menjadi alasan utama mengapa sensor diberlakukan. Namun benarkah demikian?
Pada awal tahun 1990an, publik Amerika Serikat digemparkan oleh kehadiran videogim bergenre aksi, Mortal Kombat. Â Gim tersebut dianggap memiliki konten yang terlalu brutal dan eksplisit untuk dimainkan oleh anak-anak. Jack Tompson, seorang aktifis dari AS mengkritik gim tersebut dengan alasan bahwa akan membuat anak serta remaja mereplikasi tindakan brutal yang mereka mainkan di dunia nyata, serta menyatakan bahwa banyak insiden penembakan sekolah secara langsung disebabkan oleh videogim yang dimainkan oleh pelaku penembakan.
Berdasarkan sebuah study independen, tidak terdapat korelasi signifikan dari videogame yang dimainkan dengan kecendrungan melakukan tindak kekerasan pada anak-anak dan remaja. Â Study justru menunjukan bahwa kesehatan mental serta akses senjata yang mudah merupakan alasan utama mengapa hal tersebut terjadi (ckckck, kok bisa?).
Logikanya seperti ini, kalau bermain gim konstruksi (Minecraft misalnya) tidak membuat seorang anak terinspirasi menjadi kuli bangunan, mengapa gim tembak-tembakan membuat mereka ingin menjadi pembunuh?
Pada tahun 1989, sebuah surat terbuka dikeluarkan oleh asisten direktur FBI, Milt Ahlerich yang mengkritik lagu rap group populer, NWA yang berjudul "Fu** tha' Police" sebagai bentuk penghinaan serta ancaman bagi aparat kepolisian. Hal tersebut menuai balasan dari Label Priority Record's bahwa lagu tersebut tidak bertentangan dengan hak kebebasan berpendapat yang dimiliki setiap warga negara.
Disinilah peran oran tua menjadi penting, dengan memberikan konteks mengapa karya tersebut dibuat. Diskriminasi dan kriminalisasi etnik kulit hitam, serta perlakuan semena-mena aparat kepolisian merupakan alasan utama group tersebut menciptakan lagu eksplisit yang berisi protes akan perlakuan aparat penegak hukum pada komunitasnya.
Di Indonesia sendiri, sensor pada anak-anak telah sampai pada batas diluar nalar. Tidak ada catatan kriminalitas yang disebabkan oleh terpaparnya kaum muda Indonesia pada acara televisi populer tanah air, namun regulasi tidak masuk akal tetap saja dibuat pada beberapa tayangan animasi. Adegan demi adegan dipotong dengan alasan melindungi psikologi anak.
Serial kartun Tom and Jerry, misalnya, yang telah ditayangkan semenjak nenek saya perawan kini disensor pada setiap adegan slap-stick comedy bernuansa kekerasan. Kalau ada pembaca yang berani mengangkat tangan bahwa adegan Tom and Jerry pada waktu kecil membuat kalian ingin melukai orang lain, saya berani bertaruh kalian sedang berbohong.
Karakter Sandy pada kartun populer Spongebob Squarepants yang mengenakan bikini disensor seolah terdapat anak-anak di Indonesia yang terganggu hasrat seksualnya melihat tupai berpakaian dalam.Â
Jadi kembali lagi pada masalah awal mengapa artikel ini dibuat: Bolehkah anak-anak menonton film horor? Iya, sangat boleh.
Jika orang tua hadir dan mengawasi serta memberi konteks yang sesuai dengan apa yang mereka tonton bersama. Psikologi anak merupakan masalah yang kompleks.Â
Anak ialah peniru ulung. Oleh karena itu, perhatian orang tua dalam memberikan edukasi terhadap media yang dikonsumsi akan lebih besar pengaruhnya, sebab mata dan telinga anak lebih banyak tertuju pada orang tuanya dibandingkan dengan layar kaca. Â Terimakasih sudah membaca :)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H