Bajawa, 25 Maret 2005
Matahari meninggi, menjulang selaras di angkasa. Panas menyengat memaksa kawanan riang-riang menyanyikan lagu nenek moyangnya, menggema pada barisan pepohonan kopi. Lima sekawan berteduh di pondok kebun, menikmati sari tebu sembari melirik hamparan batang jagung yang mulai menua. Markus, Toni, Yosep, Uston dan Ari duduk bersila bercengkerama ria, berselimut peluh yang didapat sehabis bermain sepak bola.
"Ari, kau punya bapa' tidak marah kah, kita patah tebu di kebun kalian?" Tanya markus pada Ari, yang empunya kebun itu.Â
"Aman, teman. Bapa' kalau pergi kantor, malam baru pulang. Kemarin saja jam 10 baru bapa' sampai rumah. Mata merah, tidak tahu abis minum dimana mungkin." Ujarnya sembari menyobek kulit tebu dengan giginya.
"Ia, aman. Saya kalau lapar sering patah jagung di sini." Ujar Toni menimpali, senyuman tersimpul di bibir yang dikerumuni gugusan tebu.
"Aishh kau nih! kalau saya tidak ada, kau jangan ambil sembarangan. Bapatua tahu, dia belah kau dengan parang nanti." Seru Ari sambil melotot pada Toni yang terkekeh disampingnya, seolah tidak peduli.
Ari mengalihkan pandangannya pada Uston yang membuang tebu di depan pondok, berserakan terbalut debu.Â
"Us, kulit tebu pake kumpul, baru kita buang. Bapa' marah saya nanti kalau lihat pondok penuh kotoran." Ujar Ari mengingatkan.
"Oke bos, santai." Balas Uston sambil mengumpulkan kulit lalu melemparkannya ke tumpukan milik Markus.
Tak terima tumpukan sampahnya dinodai, Markus marah memprotes, "Eh! kau jangan buang kulitnya ke sini. Nanti saya angkat sendiri, kau cuma nonton."
"Kau ini, Â nanti kita angkat sama-sama, tenang saja. Cuman kotoran juga." Gerutuh Uston.