Sanderson punya filosofi yang berbeda. Cerita yang baik merupakan penggabungan dari alur, karakter, serta seting yang kemudian diikat dengan konflik. Dengan memberikan penjabaran pada magic sistem sebagai bagian dari seting, setiap aspek dalam cerita akan turut dipengaruhi perkembangannya.
Allomancy, Feruchemy dan Hemalurgy (magic system dalam buku ini) tidak hanya menjadi penghias karena buku fantasi harus memiliki sihir, melainkan salah satu penggerak krusial cerita.
Ketiganya terikat pada sejarah berdirinya kekaisaran, pada agama dan mitologi yang berkembang, tatanan sosial masyarakat, serta struktur kekuatan diantara para bangsawan dan Skaa.
Hal itu tentu saja menambah warna dari konflik di dalam cerita. Sinergi world building yang efektif tersebut membuat buku ini pantas disandingkan dengan karya apik J.R.R Tolkien, Lord of The Rings sebagai salah satu “kitab suci” bagi para penulis fiksi.
Satu hal lain yang membuat saya menyukai buku ini adalah dinamika politik didalamnya. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, masyarakat Kekaisaran Terakhir terbagi menjadi dua kelompok yaitu kaum Skaa dan Royalty.
Saya rasa sangat mudah bagi pembaca untuk menemukan kesamaan dari struktur tersebut dengan pembagian kelas menurut teori marksisme klasik. Secara sederhana, teori tersebut membagi suatu kelompok masyarakat kedalam dua kategori sosial-ekonomi yaitu kaum buruh (pekerja dan petani) serta kaum burjois (pemilik tanah, bangsawan serta pemerintah.)
Meski tidak dapat saya katakan bahwa hal tersebut adalah tujuan dari penulis, cerminan marksisme dalam buku ini tidak bisa saya hiraukan. Perjuangan Vin, Kelsier dan rekan-rekannya untuk dapat lepas dari kuasa para bangsawan sangat merefleksikan perjuangan kelas dalam teori marksisme demi mencapai kesetaraan sosial.
Namun tentu saja akan berbeda jika puncak hirarki kepemimpinan adalah seseorang yang memiliki kekuatan luar biasa hingga mampu hidup selama ribuan tahun. Lord Ruler bahkan dianggap sebagai tuhan oleh setiap warganya, baik itu skaa maupun bangsawan. Ia adalah Kekaisaran itu sendiri.
Jika demikian, bisakah misi Kelsier dan rekan-rekannya dikatakan sebagai perjuangan kaum buruh, dan bukan penghapusan total terhadap intisari dari Kekaisaran Terakhir? Sanderson memiliki cara yang kompleks dan mendalam untuk menelusuri pertanyaan tersebut, baik dalam buku ini maupun lanjutannya.
Masih banyak hal yang tidak sempat saya jabarkan mengenai “The Final Empire,” buku yang saya anggap sebagai “fantasi tanpa cela.” Saya harap review singkat ini dapat membantu teman-teman merambah masuk ke dalam Cosmere, dunia penuh keajaiban yang saya ikuti selama 2 tahun terakhir. Siapa tahu, teman-teman akan menemukan hal baru yang mungkin tidak pernah saya bayangkan. Oleh karena itu, saya sangat merekomendasikan “The Final Empire” dan Misborn Series bagi semua orang, baik pembaca maupun penulis fiksi.
Terimakasih sudah membaca, salam literasi :)