Mohon tunggu...
Aris Balu
Aris Balu Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis seputar fiksi dan fantasi || Bajawa, Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Fantasi: Anjing Liar Part 2

5 Juni 2022   07:30 Diperbarui: 5 Juni 2022   07:40 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah tiga hari Laswhi dan para wanita lainnya meninggalkan desa. Tiga hari penuh arak dan tawa para suami yang menghabiskan malam dengan berbincang serta berjudi pada malam hari. Terkadang hal itu membuat Ouhm berfikir kalau ritual ini dibuat oleh seorang pria yang menginginkan kebebasan dari kehidupannya menggarap ladang, memberi makan hewan peliharaan dan mendengarkan ocehan istrinya ketika ia pulang ke rumah.

Ouhm meremas-remas kepalanya sembari menyiapkan teh di teras samping gubuk sederhana yang ia panggil rumah. Ia bisa melakukan banyak hal, namun minum arak bukanlah hal yang bisa ia lakukan tanpa sakit kepala esok paginya.

Ia membuka satu lagi kertas untuk dipakai menulis. Meski sudah bertahun-tahun melakukannya, ia tidak pernah merasa bahwa syair yang digoreskan ke ratusan kertas yang ia taruh di lemari kamar pantas disandingkan dengan karya-karya penyair seperti Gundh dari Lakshman atau Farik si buta, yang sering ia baca saat masih muda.

Walaupun begitu ia tetap menulis, sebab hal itu mengingatkannya pada sedikit sekali saat-saat bahagia bersama rekan-rekan seperjuangan yang kini telah mati meninggalkan dirinya.

Pagi ini cerah tanpa awan. Warna, bulan ketiga tinggi melambung di angkasa bagai bola mata raksasa tajam menatap ladang kecil yang sudah bertahun-tahun digarap oleh Ouhm dan istrinya. Ia menajamkan arang, menorehkan kekaguman pada bola batu raksasa di langit, setidaknya itu yang ia pelajari dari gurunya dulu. Tiga bulan yang mengitari dunia tidak lebih dari bongkahan batu raksasa yang diperintahkan oleh sang dewi untuk mengatur musim serta ombak.

Ouhm menganggap ide itu menggelikan. Ia pernah melempar batu seukuran sapi dewasa setinggi burung-burung yang sedang terbang dan batu itu jatuh kembali menghantam kediaman targetnya. Bagaimana mungkin bulan-bulan tersebut terus berada di langit jika mereka terbuat dari batu? mereka seharusnya sudah bejatuhan menimpa tanah sejak lama.

Ia menorehkan keagungan Warna serta saudaranya, Qill dan Fharil dalam syairnya. Bagaimana tarian dari ketiga putra dewi Shid itu mengatur dunia, lalu menambahkan rasa syukur atas hidup yang ia jalani, atas seorang putri yang begitu menggemaskan dan istri yang menerima dan membalas cintanya seribu kali lipat.

Apa yang sedang Lashwi lakukan sekarang?. Mungkin mereka sedang melambungkan kidung persembahan. Para dayang menari, pendeta memotong kurban dan putri kecilnya menutup mata karena tidak tega melihat sapi yang disembeli berlumuran darah.

Sudah berapa lama sejak dirinya melangkahkan kaki ke kuil Shid. Waktu itu ia pergi karena pekerjaan yang tidak lagi ingin ia pikirkan. Ia menggeleng keras, memaksa ingatan akan masa lalunya kembali kedalam sanubari dan menetap disana, setidaknya hingga malam tiba dan mimpi kembali menghantuinya.

"Permisi, tuan..."

Suara itu mengaketkan Ouhm dari lamunannya. Seorang pria berjubah hitam yang menaiki kuda melemparkan senyuman padanya. Ia melepaskan topi jerami dari kepala dan membuat rambut hitam jatuh menyentuh bahu, matanya menyipit ramah.

"Namaku Haka, Aku pengelana dari ibukota. Bolehkah aku dan kudaku meminta air dari sumurmu ini?" tanya pria itu sopan.

Ouhm mengesampingkan kertas serta pinsil arang lalu menyeruput tehnya. Matanya tajam memandang pria yang kini berdiri di samping sumur. Tubuhnya cukup berisi meskipun jubah membungkusnya, ia juga cukup tinggi melihat betapa mudahnya ia turun dari pelana kuda. Meski baru pertama kali bertemu, wajah pria itu tidak asing bagi Ouhm.

"Tentu saja, orang asing. Setelah itu, bergabunglah denganku untuk minum teh." Pengelana? Di bulan ini? Tidak biasanya ada orang dari ibukota melakukan perjalanan saat pergantian musim, terutama sendirian.

"Tuan baik sekali, tapi air di sumur ini sudah lebih dari cukup."

"Dewi Shid akan menghukumku kalau aku tidak membukakan pintu bagi pengelana yang kesulitan, apalagi pada minggu perayaan seperti sekarang. Tidak usah sungkan... Haka."

"Baiklah kalau begitu, Tuan...."

"Ouhm, panggil aku Ouhm."

"Terima kasih, tuan Ouhm."

Teh panas mengalir dari teko menuju cangkir yang dipegang Haka. Ia menunduk hormat lalu menyeruputnya nikhmat. Mereka duduk bersila di teras sambil dipukuli angin sejuk dan cahaya matahari pagi, sementara kuda hitam milik Haka meminum air yang diambil dari sumur sembari mendengkur halus.

"Jadi apa yang membuatmu meninggalkan ibukota, Haka? Tempat ini cukup jauh dari Shipandi. Perlu waktu berbulan-bulan untuk sampai kesini, dan kau pergi sendirian di musim dingin. Itu agak tidak biasa." Tanya Ouhm sembari menulis.

"Aku juga sebenarnya tidak ingin meninggalkan Shipandi, tuan. Akan tetapi kota itu sedang dalam pergolakan besar karena pergantian kepemimpinan. Paduka raja Walishiga sudah dibunuh oleh pemimpin oposisi, laskar Ghanita. Hampir setiap hari terjadi pertempuran hingga api melalap setiap sudut kota. Kota itu sungguh tidak cocok untuk pengelana sepertiku."

"Paduka raja dibunuh? Kapan hal ini terjadi?" tanya Ouhm sembari menatapnya tajam.

"Sekitar tiga bulan lalu, laskar Ghanita yang dipimpin oleh sepupu paduka, Dotha Ghanita melakukan serangan ke Shipandi. Dotha mengepung wilayah itu dengan 18 ribu pasukan. Dua minggu kemudian ia memerintahkan kelompok pembunuh Viranthadi yang terkenal itu untuk menyusup ke dalam istana dan berhasil menghabisi paduka raja, permaisuri serta kedua putranya. Tidak ada kabar mengenai putri bungsu raja. Ia menghilang entah kemana." Haka mengangkat gelas dan menyeruputnya sekali lagi. Kepalanya merunduk sedih.

"Viranthadi hanyalah legenda, mereka tidak benar-benar ada." Ujar ouhm sambil menorehkan kata terakhir pada syairnya. Dhota? bocah itu berhasil merebut tahta dari Walishiga? sungguh menggelikan. Siapa yang ingin di pimpin oleh orang seperti dia?

Meskipun Ouhm ingin menyangkalnya, berita tersebut tidaklah mustahil. Sudah 12 tahun Ouhm tidak berada di ibu kota. Ia tidak mengerti perubahan politik seperti apa yang sudah terjadi selama ia menghilang.

Lagipula ia belum tahu bagaimana berita ini akan mempengaruhi hidupnya. Ia telah menepati janji pada Walishiga. Bukan tugasnya untuk memikirkan apa yang terjadi jika sang raja tidak dapat mempertahankan kekuasaanya.

"Akupun sebenarnnya tidak percaya, tuan. Namun banyak saksi mata yang melihat sekelompok orang yang meloncat dari istana membawa senjata yang menyala-nyala seperti bara api. Mereka menghabisi banyak sekali pengawal kerajaan dan dua hari setelahnya, jendral Shaid memindahkan pusat kerajaan ke kediamannya. Perang terus membara di ibukota hingga akhirnya jendral Shaid ikut dihabisi."

Shaid telah mati? Ini sulit dipercaya. Diantara prajurit yang ia anggap teman, Shaid adalah orang yang paling diakui oleh Ouhm karena kemampuan bertarung yang mampu menandingi pengguna Virant sekalipun. Selain itu, strategi Shaid lah yang membuat mereka memenangkan perang besar 12 tahun lalu. Tidak mungkin ia mati semudah itu.

Jika berita pengembara ini benar, siapapun kelompok yang menghabisi paduka raja sudah pasti bukan Viranthadi. Hanya pembunuh amatir yang membiarkan orang lain terang-terangan melihat karya mereka. Paling-paling peniru yang memanfaatkan legenda dari nama tersebut. Ia yakin akan hal itu, sebab ini bukan pertama kalinya kelompok lain menggunakan nama Viranthadi dan membuat senjata Virant palsu. Selain itu, guru sudah mati. Tidak ada orang lain yang mengetahui metode untuk membuat pasukan Virant selain dirinya.

"Ah, maafkan aku, tuan. Aku seharusnya tidak merusak suasana dengan berita buruk. Ibukota sangatlah jauh, hal itu tentu tidak akan mempengaruhi kehidupan di desa terpencil seperti ini. Tempat ini sungguh nyaman, matahari bersinar cerah dan udaranya sangat sempurna untuk tidur siang. Mungkin sudah seharusnya aku berhenti mengembara dan tinggal ditempat seperti ini, bukankah begitu?"

"Kau masih sangat muda, nikmatilah selagi kau bisa. Tempat ini akan selalu ada, sementara waktu yang hilang takkan pernah bisa kau genggam kembali, Haka." Ouhm meletakan kertas dan arang yang dipegangnya disamping teko, lalu mengisi kembali gelasnya yang telah kosong.

"Sungguh kata-kata bijak seorang penyair."

"Aku bukan penyair. Aku hanya seorang petani yang bisa menulis." Jawab Ouhm tersenyum.

"Begitu juga dengan Radhit serta Mola. Tetap syair yang mereka ciptakan sangat melegenda. Saat di ibukota, aku menjadi pendongeng jalanan untuk mencari uang. Kalau tidak keberatan bolehkah aku membaca tulisanmu ini?" ujar si pengembara sembari menatap kertas yang ditindih arang di sampingnya.

"Silahkan saja, tapi aku tidak menjamin kalau kau akan menyukainya."

Haka melekatkan pandangan pada setiap penggalan syair. Matanya tak berkedip, hingga beberapa saat kemudian bibirnya menyimpul.

"Tuan Ouhm memiliki gaya tulis yang unik, meskipun agak sedikit kaku dan kuno. Mengingatkanku akan karya-karya dari Ghilan yang usianya sudah ratusan tahun. Sudut pandang yang tuan pilih juga menarik. Jika Ghilan berfokus pada ratapan manusia akan ketidakberdayaan kita didepan alam semesta, tuan justru menganggapnya sebagai berkah. Ketakutan akan masa depan hanya akan membuat manusia tak bersyukur dan menikmati masa sekarang."

"Intuisimu cukup bagus. Tidak kusangka kau mengenal karya-karya Ghilan. Ku kira anak muda sekarang tak lagi menghargai puisi dan hanya berfikir untuk menjadi prajurit serta mencari uang."

"Dunia mungkin telah berubah, tuan. Namun dengan tulisan, sejarah akan tetap hidup dan kehidupan tetap terpatrih pada lembaran bertinta hitam, hilang saat tak ada yang menorehkannya lagi."

Ouhm tertawa lepas mendengar Haka mengutip syair dari Farik si buta. Sungguh anak muda yang menarik. Hal itu membuat dirinya sungkan untuk membunuhnya ketika ia menghentikan semua basa basi ini. Untuk sekarang ia akan mengikuti permainan bocah yang tersenyum hangat sambil menyeruput teh disampingnya.

Bersambung....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun