DEFORESTASI MERAJA, EMISI MAKIN Â MENGANCAM
Deforestasi (penggundulan hutan) menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Tercatat hingga tahun 2019, Indonesia masih menjadi juara bertahan di urutan ke dua.
Menurut data Sistem Pemantauan Hutan Nasional (SIMONTANA) portal media milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dirilis pada awal tahun 2019 ini mencatat bahwa, Â deforestasi pada 2014-2015 mencapai 1,09 juta hektar (Ha).
Angka tersebut mengalami penurunan menjadi 0,63 juta ha pada periode 2015-2016, kemudian turun lagi di angka 0,48 juta ha pada periode 2016-2017. Meski mengalami penurunan, tetapi capaiannya tidak sesignifikan yang menjadi target pemerintah yang ditetapkan dalam dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yaitu sebesar 450.000 ha pada tahun 2020, artinya Indonesia masih belum mampu mengatasi tingkat deforestasi.
Hal itu senada dengan Organisation for Economic and Cooperation Development (OECD) bahwa tingkat deforestasi di Indonesia masih tertinggi kedua (setelah Brazil). Adapun OECD mencatat, jika deforestasi di Indonesia terus berlanjut, maka diperkirakan sekitar 9% burung, 27% Mamalia, 3% Reptil dan berbagai spesies lainnya yang tak terhitung jumlahnya akan terancam kepunahannya.
Adapun rincian berdasarkan hasil pantauan hutan Indonesia, pada periode 2017-2018 menunjukkan total lahan berhutan Indonesia seluas 93,5 juta ha, dimana 71,1% atau setara dengan 85,6 juta ha nya berada di dalam kawasan hutan.
Pada  periode ini, deforestasi netto di dalam dan di luar kawasan hutan Indonesia mencapai 440.000 ha. Angka ini berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 490.000 ha dikurangi deforestasi sebesar 50.000 ha.
Data di atas tampaknya berbeda dengan Green Peace. Organisasi lingkungan global asal Belanda ini mencatat, dalam kurun periode tahun 2017-2018, terjadi sedikit peningkatan hilangnya hutan primer di Papua di area moratorium. Karenanya, Greenpeace menilai bahwa moratorium bukanlah instrumen yang efektif untuk mengukur tingkat penurunan deforestasi.
Lebih lanjut Green Peace berpendapat selama periode moratorium tahun  2011-2018 menunjukkan bahwa total deforestasi di area moratorium mencapai 1,2 juta ha. Sedangkan total deforestasi Indonesia (di dalam dan di luar area moratorium) mencapai 4,38 juta ha yang berarti bahwa deforestasi di area moratorium setara dengan 27,4% dari keseluruhan deforestasi yang terjadi di Indonesia selama tujuh tahun.
Reboisasi hanya alternatif terakhir, bukanlah solusi atas kehilangan jutaan hektar pohon di Indonesia, namun sebaiknya mencegah pembabatan hutan itu lebih di utamakan.
Pun jika menanam kembali pohon yang telah di tebang, butuh waktu lama. Setidaknya membutuhkan waktu sekitar minimal 5 tahun ke atas. Itu rata-rata umur pohon pada umumnya, tergantung relief tanah di mana bibit pohon tersebut di tanam. Selain itu, penebangan pohon dapat menyumbang emisi.
Menurut data yang rilis Gateway Conversation, 5% pohon ditebang yang tidak dimanfaatkan dari total pohon yang ditebang. Penurunan emisi bisa dicapai dengan tidak menebang pohon. Dari sinilah manusia mulai menyumbang emisi karbon dioksida (CO2). CO2 timbul seiring dengan perkembangan era industrialisasi.
Sementara itu, Pusat Analisis Informasi Karbon Dioksida Departemen Energi AS (CDIAC) merilis, manusia telah meningkatkan lebih dari 400 miliar ton CO2 ke atmosfer sejak tahun 1751. Kemudian Global Carbon Project memperkirakan CO2 Â di dunia telah meningkat sekitar 2,7% dari kurun waktu dua tahun (2017 hingga 2018).
Dari berbagai sumber di atas, betapa CO2 mengancam kelangsungan hidup umat  manusia sehingga perlu diwaspadai agar tidak menebang pohon sebagai salah satu sumber penyumbang emisi.
Akibatnya pemerintah masih membuka kran perijinan pengelolaan hutan di sektor industri. Biasanya pemerintah memberikan ijin dengan alasan pertumbuhan ekonomi sehingga pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, penebangan, dan pertambangan tanpa mempertimbangkan dampak yang di timbulkan.
Untuk itu, pemerintah harus serius mengatasi kasus ini, menyerukan kepada para pemangku kebijakan agar beralih ke ekonomi rendah emisi. Energi terbarukan menjadi alternatif lain karena merupakan teknologi rendah emisi sehingga perlu di optimalkan pemanfaatannya sehingga pada tahun 2030 nanti, CO2 dapat di turunkan menjadi 29%, artinya target tersebut akan mengalami penurunan 3%. Terget tersebut lebih rendah dari China yang memperkirakan hanya sebesar 1,2-1,4 giga pada 2030. Sementara Amerika Serikat hanya mentargetkan penurunan sekitar 0,87 giga.Â
Menanam 1 pohon berarti kita  bersedekah 1,2 kg oksigen (O2) perhari atau memberikan manfaat untuk 2 orang per hari karena 1 batang pohon (jenis Trembesi) mampu menghasilkan 78 kg O2 atau menghasilkan 28,48 ton O2 per tahun.
Sebaliknya menebang 1 pohon sama dengan 2 orang akan kehilangan 1,2 kg O2 perhari. Rata-rata dalam sehari manusia membutuhkan (menghirup) 0,2 O2. Padahal O2 adalah salah satu unsur yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan mahkluk hidup, terutama manusia.
Manfaat lain dari pohon tidak hanya sebagai penyumbang O2, namun sebagai cadangan air untuk di minum dan pemanfaatan lainnya, dimana akar pohon dapat menyerap air hujan ke dalam tanah, ketika saat musim hujan, akar pohon dapat mencegah air yang  meluap menjadi banjir, sehingga air yang terserap di akar pohon tersebut dapat digunakan saat musim kemarau tiba.
Selain itu, pohon juga dapat menghasilkan buah, daun, batang, kayu, akar, dan biji yang dapat dimakan dan dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan pokok manusia. Tidak hanya manusia, manfaat lain dari pohon pun menjadi tempat tinggal dan mencari makan berbagai spesies hewan, mulai dari burung, kupu-kupu, ulat, serangga, maupun berbagai jenis spesies lainnya.
Oleh karena itu, di tengah musim kemarau panjang ini, perlu ada kesadaran kolektif. Dimana manusia sebagai makhluk hidup yang berakal agar berdamai dengan alam dan lingkungan sekitar, karena sumber kekayaan alam hayati tidak hanya di eksplorasi dan di eksploitasi dalam jangka pendek, namun perlu ada keseimbangan ekosistem.
Antara manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan saling membutuhkan (simbiosis mutualisme). Tumbuh-tumbuhan dan hewan di ciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia juga, sehingga pemanfaatannya harus tepat guna dan tepat sasaran.
Pemerintah sangat berperan penting dalam upaya pelestarian hutan. Karena nya di perlukan langkah preventif meski sederet regulasi telah di terbitkan, karena mencegah lebih baik daripada reboisasi.
Pun jika sudah terlanjur memberikan ijin untuk pengelolaan hutan produktif, baiknya ijin usahanya di cabut atau setidak-tidaknya di moratorium, karena masa depan generasi yang akan datang lebih sulit di bandingkan dengan sekarang.
Salam Lestari!!!
Aris Munandar, Sekretaris DPP IMM (bidang Lingkungan Hidup 2016-2018)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H