Ensiklik "Fratelli Tutti" yang dicetuskan Paus Fransiskus memiliki basis historis yang memuat ikhtiar untuk terus-menerus merintis dan mengembangkan persaudaraan universal tanpa sekat. Ensiklik ini mendorong bagaimana menciptakan keadilan bagi seluruh umat manusia. Keadilan yang dimaksud adalah terciptanya suasana persaudaraan dan persahabatan yang dilandasi oleh semangat belas kasih Allah. Laritembun (2022) menerangkan bahwa persaudaraan merupakan suatu sikap yang dibangun dalam kerangka berpikir bahwa semua manusia memiliki kualitas yang sama, berkat kesamaan kodrat. Artinya adalah bahwa orang yang satu dengan lainnya adalah sama, tidak ada yang lebih rendah satu dengan lainnya atas dasar apa pun. Kesamaan kodrat ini menjadikan manusia satu dengan lainnya sebagai saudara di dalam kodrat berdasarkan asal, yaitu dari Allah. Selanjutnya, ia juga menekankan pentingnya membangun persahabatan. Bagi Laritembun, persahabatan yang sesungguhnya membutuhkan ketulusan dan kedewasaan yang berakar pada hati. Sikap seperti ini didasarkan pada kodrat manusia.
Berkaitan dengan kedua poin ini, Paus Fransiskus menegaskan bahwa "untuk berjalan menuju persahabatan sosial dan persaudaraan universal, diperlukan pengakuan yang mendasar dan penting ini: menyadari betapa berharganya seorang manusia, betapa berharganya seorang pribadi, selalu dan dalam keadaan apa pun" (FT. 106). Dengan menimbah inspirasi dari kisah orang Samaria yang baik hati, Paus mengajak kita menegakkan keadilan dengan menjadi pembawa harapan bagi mereka yang tak berpengharapan, menjadi lilin kecil bagi mereka yang dirundung duka. Kisah perempuan Samaria, terlepas dari latarbelakang historisnya, yang menurut orang Israel adalah kaum yang hina dan najis, telah menunjukkan betapa pentingnya nilai martabat manusia. Ia telah mampu melihat sesamanya 'yang lain' sebagai bagian otentik dari dirinya sendiri. Dari pengalaman orang Samaria, kita dapat belajar bahwa, "kasihlah yang mematahkan belenggu yang membuat kita terasing dan terpisah, dengan membangun jembatan; kasihlah yang memungkinkan kita membangun keluarga besar di mana kita semua bisa merasa kerasan .... Kasih yang mengenal bela rasa dan martabat" (FT. 62).
Tentu gagasan dalam upaya menegakkan keadilan yang berbasiskan persaudaraan dan persahabatan ini membutuhkan upaya maksimal. Apalagi tugas ini bersinggungan langsung dengan penerimaan dan pengakuan harkat dan martabat sesama manusia. Berikut akan disinggung sekilas mengenai upaya yang mesti terus didorong dalam rangka mencapai keadilan sesuai dengan anjuran yang terkandung dalam dokumen ini secara sepintas. Ada beberapa poin penting yang akan kami bahas antara lain: dialog, kasih politik dan martabat manusia.
Dalam mengupayakan keadilan, Paus Fransiskus menganjurkan salah satu jalan yang mesti ditempu, yakni melalui dialog. Tujuan dialog adalah demi mewujudkan perdamaian. Untuk menciptakan perdamaian maka dibutuhkan suatu pendekatan yang dialogis. Melalui dialog, manusia akan "saling mendekati dan mengungkapkan diri, saling memandang dan mendengarkan, mencoba mengenal dan memahami satu sama lain, mencari titik-titik temu" (FT.198). Di dalam dialog, ada gagasan bersama, ada sikap, ada saran, ada solusi yang mesti dihargai. Dialog tidak dimaksudkan untuk memaksakan kehendak kita untuk dituruti. Juga bukan ajang menggalang dukungan secara sepihak. Â Rekonsiliasi mengandaikan dialog, bukan dominasi satu pihak. Sebuah entitas sosial, entah keluarga, suku, maupun bangsa perlu didasarkan di atas penghargaan pada nilai universal, yaitu kemanusiaan (FT. 228-229).
Di sini Paus Fransiskus melihat peran dialog sangat krusial. Sebab dialog "meminta sikap yang mampu mengakui hak orang lain untuk menjadi dirinya sendiri dan menjadi berbeda. Mulai dari pengakuan yang membudaya ini, akan mungkin untuk menciptakan pakta sosial. Tanpa pengakuan itu, akan muncul cara-cara halus untuk membuat orang lain kehilangan segala makna, menjadi tidak relevan, tidak lagi diakui memiliki nilai apa pun dalam masyarakat. Di balik penolakan terhadap bentuk-bentuk kekerasan tertentu, sering kali disembunyikan kekerasan lain yang lebih halus: yaitu kekerasan mereka yang merendahkan orang yang berbeda, terutama ketika tuntutannya dengan cara apa pun merugikan kepentingan mereka" (FT. 218).
Kasih Politik
Untuk menjamin terus terlaksananya solidaritas yang berbasiskan kasih persaudaraan itu, Paus Fransiskus menegaskan bahwa perkembangan komunitas persaudaraan global yang didasarkan pada praktik persahabatan sosial di pihak masyarakat dan bangsa mengundang suatu bentuk politik yang lebih baik, yang sungguh melayani kepentingan umum (FT. 154). Dalam konteks ini, ada semacam tiga proposal yang diajukan Paus Fransiskus.
Pertama, politik harus berbasiskan belas kasih politik. Tujuannnya dalah untuk menumbuhkan cinta kasih persaudaraan dengan merangkul sesama sebagai pribadi yang memiliki kualitas kebaikan pada dirinya. Kualitas kebaikan itulah yang menjadi fondasi utama rumah bersama yang disebut 'solidaritas'. Oleh karena itu, kita perlu:
"Mengakui bahwa semua orang adalah saudara-saudari kita, dan mencari bentuk-bentuk persahabatan sosial yang melibatkan semua orang, bukanlah sesuatu yang sekadar utopia. Hal ini menuntut komitmen yang tegas untuk merancang sarana-sarana efektif pada tujuan ini. Setiap upaya selaras garis ini menjadi suatu pewujudan berharga akan kasih akan sesama. Sebab di mana pun para individu dapat membantu sesama yang berkebutuhan, ketika mereka bergabung bersaama dalam mengawali proses sosial akan persaudaraan dan keadilan bagi semua, mereka masuk ke dalam 'ladang kasih yang paling luas, yaitu kasih politis'. Ini mengharuskan bekerja bagi tatanan sosial dan politis yang jiwanya adalah kasih sosial. Sekali lagi, saya mengharapkan penghargaan yang terbarukan akan politik sebagai 'panggilan luhur dan salah satu bentuk kasih akan sesama yang paling tinggi, sejauh itu mengupayakan kepentingan umum" (FT. 180).
"Atas alasan ini, adalah sesuatu yang mulia menempatkan harapan kita pada kekuatan tersembunyi dari benih-benih kebaikan yang telah kita sebarkan, dan dengan demikian memulai proses yang buahnya akan dipetik oleh orang lain. Politik yang baik menggabungkan kasih dengan harapan serta dengan kepercayaan akan kebaikan yang tersimpan dalam hati umat manusia. Memang, 'kehidupan politik yang otentik, yang dibangun atas penghormatan akan hukum dan dialog jujur antara individu, terus-menerus diperbaharui di mana pun ada kesadaran bahwa setiap pria dan wanita, dan setiap generasi baru, memberikan janji daya relasional, intelektual, kultural serta spiritual yang baru" (FT. 196).
Kedua, politik harus mengedepankan kasih politik. Paus Fransiskus menekankan upaya konkrit untuk memperhatikan sesama dengan sebisa mungkin menyediakan makanan dan perkerjaan bagi mereka yang membutuhkan.
"Ini adalah tindakan kasih akan sesama untuk membantu seseorang yang menderita, namun juga suatu tindakan belaskasihan, walaupun kita tidak mengenal orang itu, bekerja bagi perubahan kondisi sosial yang menyebabkan penderitaannya. Kalau seseorang membantu orang yang sudah tua menyeberangi sungai, itu suatu tindakan kasih akan sesama yang baik. Para politisi, di sisi lain, membangun jembatan, dan itu pun suatu tindakan kasih akan sesama. Sementara seseorang dapat membantu yang lain dengan menyediakan sesuatu untuk dimakan, politisi menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang tersebut, dan dengan demikian mewujudkan bentuk belaskasihan yang luhur, yang membuat aktivitas politisnya menjadi lebih baik" (FT. 186).
Ketiga, politik harus berbuah dan mencapai hasil. Paus Fransiskus mengartikan hasil yang diperoleh dari tindakan politis kita adalah ketika tindakan itu berhasil menghantar kita pada pengingkaran sikap angkuh, sombong dan mementingkan diri sendiri.
"Semua ini dapat membantu kita untuk menyadari bahwa apa yang penting bukanlah terus-menerus mendapatkan hasil yang luar biasa, sebab hal itu tidak selalu mungkin. Dalam aktivitas politik, kita perlu mengingat bahwa 'seperti apapun penampilannya, setiap orang sangatlah suci dan pantas menerima cinta kita. Konsekuensinya, kalau saya dapat membantu paling tidak satu orang untuk memiliki kehidupan yang lebih baik, itu sudah membenarkan persembahan hidup saya. Sungguh mengagumkan menjadi umat Allah yang setia. Kita mencapai kepenuhan kalau kita meruntuhkan tembok-tembok serta hati kita dipenuhi dengan berbagai wajah serta nama!' Tujuan utama mimpimimpi dan rencana-rencana kita mungkin hanya akan tercapai sebagian. Namun di luar ini semua, mereka yang mencintai, dan tidak lagi memandang politik sekadar sebagai suatu hasrat akan kekuasaan, 'semoga yakin bahwa tak satupun tindakan kasih kita akan hilang, demikian juga setiap tindakan kepedulian tulus kita akan sesama. Tidak ada satupun tindakan kasih akan Allah akan hilang, tak ada upaya kemurahan hati yang tanpa makna, tak ada kesabaran menyakitkan akan sia-sia. Semua itu mengitari dunia kita seperti suatu kekuatan yang vital" (FT.195).
Penghormatan Terhadap Martabat Manusia
Paus Fransiskus menyesali dunia yang menurutnya sedang menunjukkan benih-benih degradasi moral yang semakin hari semakin subur. Ia menilai bahwa sebagian individu atau kelompok yang merasa memiliki power kurang tertarik lagi memperhatiakan bagian dari eksistensi manusia, yaitu martabat dan hak asasi.
"Bagian-bagian tertentu umat manusia tampaknya dapat dikorbankan untuk kepentingan sekelompok orang pilihan yang dianggap layak untuk hidup tanpa batas. Akhirnya, "pribadi manusia tidak lagi dirasa sebagai nilai utama yang perlu dihormati dan dilindungi, terutama jika mereka miskin atau difabel, jika mereka "belum berguna" --seperti mereka yang belum lahir-- atau "tidak lagi berguna" --seperti orang lansia. Kita tidak lagi peka terhadap segala jenis buangan, mulai dari buanganmakanan, yang termasuk di antara yang paling patut dicela" (FT. 18).
Karena itu ia menganjurkan agar penghormatan setinggi-tingginya terhadap martabat dan hak asasi manusia mesti dijunjung tinggi.
Rasa hormat atas hak-hak ini "merupakan prasyarat bagi pembangunan masyarakat dan ekonomi sebuah negara. Ketika martabat manusia dihormati dan hak-haknya diakui dan dijamin, kreativitas dan kemampuan berinovasi juga tumbuh subur dan kepribadian manusia dapat menyebarkan banyak inisiatif demi kebaikan bersama" (FT. 22)
Referensi
https://www.dokpenkwi.org/ringkasan-ensiklik-fratelli-tutti/
Edison R.L. Tinambunan. 2022. Persaudaraan dan Persahabatan Sosial, Studia Philosophica et Theologica, Vol. 22, No. 2, hlm. 279-302.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H