Mohon tunggu...
Aris Yeimo
Aris Yeimo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Alumnus STFT Fajar Timur Abepura - Jayapura

Mengembara dan berkelana.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maria, Mater Dolorosa Rakyat Intan Jaya

22 Desember 2023   18:34 Diperbarui: 22 Desember 2023   18:57 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanah Papua terus-menerus menjadi perbincangan dunia. Dalam sidang tahunan PBB selalu saja dunia menyoroti pemerintah Indonesia terkait pelanggaran HAM di Papua. Sorotan dunia bukan berdasarkan spekulasi atau pun pengandaian-pengandaian subjektif belaka namun berdasarkan fakta empirik. Rentetan pelanggaran HAM, eksploitasi bumi Papua dan konflik lainnya bukanlah hal yang baru terjadi melainkan sudah terjadi berkali-kali sejak Papua diintegrasikan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1963.

Konflik demi konflik selalu mewarnai kehidupan orang asli Papua. Sebut saja konflik-konflik tersebut antara lain: penembakan di Paniai 2014 (Koten, 2018: hlm 14), penembakan di Intan Jaya (2015), Penembakan di kabupaten Deiyai 2017 (Konten & Saur, 2019: hlm.39-59), kekerasan dan penembakan terhadap masyarakat di Nduga 2018 (Koten, 2019: hlm.36-64), dan pelanggaran HAM lainnya yang belum dituntaskan sampai saat ini.

Sadar akan situasi ini, lalu muncullah berbagai upaya dari orang asli Papua untuk menuntut hak-haknya yang selama ini 'dirampok', terlebih hak hidup. Gerakan-gerakan perjuangan Papua Merdeka (OPM) semakin massif dan solid, lembaga-lembaga advokasi HAM, tokoh perempuan, pemuda, agama dan adat mulai menyuarakan ketidakadilan yang selama ini terjadi. Mereka dengan gigih menuntut keadilan bagi pihak korban. Namun upaya tersebut sering berakibat pada pelanggaran HAM. Tak terhitung lagi berapa jumlah korban akibat pelanggaran HAM masa lalu maupun masa kini.

Kejahatan kemanusiaan di Intan Jaya saat ini merupakan rentetan penderitaan berkepanjangan yang secara langsung mau menegasikan bahwa seruan 'Papua Tanah Damai' (JDP, 2014: hlm.1-3) masih menjadi sekadar wacana semata. Belum ada niat baik dari para pihak yang bertikai untuk mencari jalan damai bagi penyelesaian seluruh konflik yang terjadi. Sekalipun LIPI bersama Jaringan Damai Papua telah mengidentifikasi masalah Papua dan menyerukan dialog Jakarta-Papua.

Melihat Wajah Mater Dolorosa pada Mama Intan Jaya

Belum lama ini, umat Katolik Papua di Intan Jaya merayakan tahbisan tiga imam baru (12/10/2021). Tepat pada Bulan Maria dalam kalenderium Gereja Katolik. Perayaan iman ini merupakan ungkapan syukur atas anugerah Tuhan yang dilimpahkan-Nya kepada umat-Nya. Semua umat bersyukur karena tiga imam bisa ditahbiskan di tanah yang sementara menjadi ladang konflik antara pihak TNI/Polri dan TPNPB-OPM. Syukur kepada Tuhan bahwa selama persiapan hingga pada acara puncaknya, tidak ada penembakan yang dilakukan, baik dari pihak TNI/Polri maupun TPNPB-OPM.

Selang dua minggu setelah pentahbisan imam, penembakan antara TNI/Polri dan TPNPB-OPM kembali terjadi (26/10/2021). Kali ini, yang menjadi korban bukan pihak TNI/Polri atau TPNPB-OPM, tetapi anak-anak; Nopelinus Sondegau (2 tahun) dan Yoakim Mujijau (6 tahun). Pada foto yang beredar, nampak seorang mama dengan penuh kasih merangkul anaknya yang menjadi korban penembakan.

Dalam situasi mencekam itu, mama tersebut pasrah. Di wajahnya, lantas mengingatkan kita pada ungkapan terkenal Maria setelah menerima kabar dari malaikat Gabriel, "sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Luk. 1:38). Mama itu terlihat "paksa tegar" merangkul mayat anaknya sekalipun hatinya tersayat-sayat pedang bermata dua.

Secara positivistik, gambar pada foto tersebut persis dengan penderitaan Maria yang digambarkan pada patung pieta. Mama Intan Jaya dan Bunda Maria sama-sama menanggung penderitaan anak mereka. Tanpa takut, tanpa ragu, tanpa cemas, dengan hati penuh cinta, sekalipun sakit hati, mereka tetap setia menemani anak mereka sampai ajal. Kesetiaan mereka adalah bukti pengabdian tulus pada Allah.

Selalu Ada Kemenangan

Maria setia menemani Yesus selama perjalanan hidupnya, sampai pada puncak di mana predikat Yesus sebagai Imam Agung ditunjukkan di dalam dan melalui kurban Salib. Di bawah kaki Salib Yesus, Maria menanggung penderitaan yang dahsyat bersama puteranya yang tunggal. Dengan hati keibuannya, ia menggabungkan diri dengan kurban-Nya, dan penuh kasih menyetujui persembahan kurban yang dilahirkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun