Mohon tunggu...
Aris Yeimo
Aris Yeimo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Alumnus STFT Fajar Timur Abepura - Jayapura

Mengembara dan berkelana.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mitos dan Simbol dalam Terang Filsafat Roland Barthes

22 November 2023   20:37 Diperbarui: 22 November 2023   20:43 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah Roland Barthes, seorang filsuf dan kritikus sastra yang lahir di Cherbourg -- Normandia, pada 12 November 1951. Ia dibesarkan oleh ibunya di kota Bayonne sepeninggal ayahnya yang menjadi korban perang di Laut Utara. Dalam kehidupan intelektualnya, Barthes boleh dikatakan mendapat pendidikan yang baik.

Ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Sorbonne dengan merahi gelar sarjana pada kesusastraan klasik (Barthes, 2006:xi). Ia juga belajar ilmu-ilmu linguistik, semiologi, strukturalisme, dan sempat mengajar bahasa Perancis di Rumania dan Mesir. Ia banyak menulis artikel di media massa yang berhaluan kiri (Lavers: 1982:267).

Ada dua filsuf besar yang cukup signifikan mempengaruhi Barthes. Mereka adalah Ferdinand de Saussure dan Jean-Paul Sastre. Ilmu semiologi yang diperkenalkan Saussure, terutama dalam bidang linguistik, sangat mempengaruhi panorama pemikiran Barthes tentang semiologi. Sementara itu, Jean-Paul Sartre memberi kontribusi tentang wacana sastra. Barthes berasumsi bahwa sastra adalah sarana penguji bagi pemikirannya.

Tentang konsep mitos dan simbol, dalam bukunya yang berjudul Mitologi, Barthes mengartikan mitos sebagai tipe wicara yang di dalamnya terkandung sistem komunikasi (Barthes, 2004:151). Mitos bukanlah sembarang tipe, namun di dalamnya terkandung pesan bahwa mitos bukanlah ide, konsep atau objek. Mitos merupakan cara pemaknaan sebuah bentuk (Barthes, 152). Mitos sebagai sebuah bentuk mengandaikan adanya pembatasan historis, syarat penggunaannya dan masyarakat yang ada di dalamnya.

Menurut Barthes, tujuan objek mitos berdasarkan substansinya hanyalah bualan belaka, "sebab mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana" (Barthes, 152). Sebuah mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, namun mitos tersebutlah yang mengutarakan pesannya sendiri dalam batasan-batasan formalnya.

Segala sesuatu dapat saja menjadi mitos karena dunia ini dipenuhi oleh berbagai kebijaksanaan dan sistem kepercayaan. Segala obyek di dunia ini dapat lolos dari suatu eksistensi yang diam atau tertutup menjadi eksistensi oral, yang terbuka untuk ditafsirkan oleh masyarakat, sebab tidak ada hukum, baik alamiah atau tidak, yang melarang orang berbicara tentang aneka hal (Barthes, 152).

Mitos sebagai sebuah wicara karena perjalanan sejarah manusia sendirilah yang mengubah realitas menjadi wicara. Perjalanan sejarah tersebutlah yang menjadi proses hidup atau matinya bahasa mistis. Kuno atau tidak, mitos hanya bisa memiliki landasan historis, karena mitos adalah tipe wicara yang dipilih oleh sejarah: "mitos tidak mungkin berkembang dari 'sifat dasar' berbagai hal" (Barthes, 153). Dengan demikian, perjalanan sejarah atau peradaban memiliki pengaruh yang besar terhadap keberadaan atau eksistensi mitos.

Sebagai tipe wicara, mitos mengandung sebuah pesan moral, kepercayaan atau perihal kebijaksanaan hidup. Pesan-pesan tersebut dapat terdiri dari gaya tulisan atau representasi, namun juga berbentuk simbol-simbol adat-istiadat atau kebudayaan lokal yang semuanya dapat berfungsi sebagai pendukung wicara mistis (Barthes, 153).

Sebuah mitos hanya dapat dijelaskan oleh maknanya. Wicara mistis dibangun oleh materi yang telah dibuat sedemikian rupa agar cocok untuk komunikasi, "itu karena semua materi mitos (apakah berbentuk gambar atau tulisan) mengisyaratkan sebuah kesadaran akan pemaknaan" (Barthes, 154). Dengan demikian, substansi dari sebuah mitos adalah maknanya.

Sementara itu, dalam ilmu semiologi Barthesian, simbol menjadi salah satu elemen penting untuk membicarakan tentang mitos. Simbol sendiri dibahasakan sebagai tanda dalam teori Barthes tentang mitos. Untuk mengerti tentang tanda, Barthes membaginya ke dalam dua bentuk: penanda dan petanda.

Penanda di dalam mitos menampilkan dirinya secara ambigu: pada saat yang bersamaan, ia adalah makna sekaligus bentuk, di satu sisi penuh namun di sisi lain sebaliknya. Makna dari penanda tersebut dapat ditangkap oleh pandangan mata atau realitas sensorik (Barthes, 165). Makna yang ditangkap oleh realitas sensorik tersebut dapat berkembang menjadi pengetahuan akan suatu realitas.

Makna mengandung seluruh sistem nilai: sejarah, geografi, moralitas, sastra dan kebijaksanaan hidup. Namun, poin mendasar dari semua itu adalah bahwa bentuk tidaklah menyembunyikan makna, ia hanya memisahkan makna, ia menempatkannya pada jarak tertentu, ia memiliki makna yang siap untuk digunakan (Barthes, 166).

Namun di sisi lain, Barthes menegaskan bahwa bentuk dalam mitos bukanlah simbol, misalnya ras tertentu memberi hormat kepada raja bukanlah simbol dari kekaisaran Perancis (Barthes, 166). Dalam hal ini, kesadaran akan konteks dari sebuah bentuk sangatlah penting.

Sedangkan petanda merupakan sejarah yang mengosongkan bentuknya secara keseluruhan akan diserap oleh konsep. Petanda menjadi motivasi yang menyebabkan terungkapnya mitos (Barthes, 167). Konsep yang kuat dari petanda menyusun kembali rentetan sebab dan akibat, tujuan dan akibat, serta dipenuhi dengan berbagai situasi.

Namun, suatu petanda dapat memuat beberapa penanda. Dengan demikian, penanda dapat menghadirkan dirinya kembali dan terbuka akan konsep simbol di dalam mitos. Adanya simbol menegaskan bahwa tidak ada rasio tetap antara volume petanda dan penanda (Barthes, 170). Namun, dalam mitos, ketidak-seimbangan antara penanda dan petanda tidak mengurangi makna dari mitos.

Referensi

Barthes, Roland. 2004. Mitologi. (Ed. Terj. Oleh Nurhadi dan A. Sihabul Millah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Barthes, Roland. 2006. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol dan Representasi. (Ed. Terj. Dede Lilis Ch, et al). Yogyakarta: Jalansutra.

Lavers, Annette. 1982. Roland Barthes: Structuralism and After. London: London: Methuen & Co. Ltd.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun