Papua, Handphone saya berdering. Setelah mengeceknya, ternyata pesan WhatsApp di salah satu group privat. Pesan itu berisikan pernyataan Dr. Agus Sumule, seorang akademisi sekaligus peneliti pada Fakultas Pertanian Universitas Papua. Begini kutipan verbatim pernyataan Dr. Agus Sumule:
Minggu, 13 Maret 2022, Pukul 13:03 Waktu"Tidak ada dasar ilmiah yang menunjukkan pemekaran perlu di Tanah Papua. Elit Papua yang memperjuangkan pemekaran sedang mengajak masyarakat Papua masuk dalam lorong kegelapan. Masyarakat dibuat tidak tahu bagaimana dampaknya. Kebijakan pemekaran ialah untuk non-Papua, yaitu mendatangkan transmigrasi skala besar di seluruh Tanah Papua. Akan terjadi kesenjangan dan ketimpangan."
Setelah mengkroscek, pernyataan ini adalah hasil wawancara beliau bersama wartawan yang dimuat pada media massa Suara Papua tertanggal 3 Februari 2022 dengan judul berita, "Akademisi Unipa: Pemekaran Provinsi akan Jadi Peluang Transmigrasi Non-Papua dalam Skala Besar ke Tanah Papua.
Pernyataan Dr. Agus Sumule di atas sontak menyentuh nurani saya sebagai orang asli Papua. Saya merenungkan pernyataan ini sebagai bagian dari bentuk otokritik terhadap diri saya sendiri dan menarik kesimpulan bahwa terlepas dari interpretasi berbagai pihak tentang beliau, bagi saya, ini adalah salah satu pernyataan luar biasa. Pernyataan dari seorang akademisi non-OAP yang benar-benar jelih melihat persoalan pemekaran Daerah Otonomi Baru di Tanah Papua.
Pernyataan ini sekaligus menjadi tamparan keras bagi sebagian akademisi dan elite asli Papua yang dengan sangat tidak tahu malunya mengabaikan suara hati nurani orang asli Papua yang sudah dan sedang menolak ide kebijakan pemekaran secara sepihak oleh Jakarta.
Pernyataan ini juga merupakan bukti penolakan secara tegas terhadap berbagai pernyataan sebagian akademisi dan elite asli Papua yang karena rakus akan uang, proyek dan jabatan, kemudian mengatasnamakan rakyat untuk memuluskan pemekaran.
Pada artikel ini, ada dua hal menarik yang mesti menjadi bahan pembelajaran bagi orang asli Papua, secara khusus akademisi dan elite. Pertama, Dr. Agus Sumule adalah seorang akademisi senior. Kedua, beliau adalah warga non-OAP yang tinggal di Papua. Dalam kapasitasnya sebagai akademisi dan warga non-OAP inilah yang akan menjadi bagian inti dari pembahasan artikel ini.
Sebagai Akademisi
Selama ini, belum (atau pun mungkin sudah) terlihat pernyataan tegas dan keras dari berbagai akademisi asli Papua yang mempersoalkan ide pemekaran sebagai bentuk protes terhadap Jakarta seperti Dr. Agus Sumule. Tidak ada alternatif dalam bentuk kajian ilmiah yang ditawarkan sebagai bahan pembanding antara optimistis semu Jakarta untuk melakukan pemekaran dan realitas aktual di Papua. Yang terlihat sepintas adalah dibangunnya kedekatan personal dan "metodologi konyol" bersama Jakarta. Â Â
Hal lain yang sangat miris adalah tim kajian dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta diberi mandat oleh negara untuk mengkaji ide pemekaran. Itu artinya, seluruh universitas negeri maupun swasta di Tanah Papua tidak bermutu. Standar pengkajian ilmiah seluruh universitas di Papua di bawah rata-rata. Selain itu, kualitas para akademisi juga dianggap tidak berbobot.
Oleh karena itu, saya menganggap bahwa kalau memang akademisi asli Papua benar-benar memiliki tanggung jawab intelektual terhadap rakyat asli Papua yang menolak pemekaran Daerah Otonomi Baru, silahkan membuat sebuah kajian ilmiah tentang ide pemekaran. Hasil kajian itu akan menjadi dasar penolakan Daerah Otonomi Baru secara ilmiah oleh para akademisi asli Papua yang tidak bisa dibantah lagi oleh opini publik Jakarta. Â
Sebagai Non-OAP
Dr. Agus Sumule jelas warga Papua non-OAP. Pertanyaannya adalah apakah pernyataan yang ditujukan oleh beliau kepada elite asli Papua salah? Tidak. Selama ini memang tampak sebagian elite asli Papua yang rakus uang, proyek dan jabatan yang tampil sebagai tameng bagi Jakarta untuk memuluskan pemekaran. Bahkan, demi kepentingan pribadi dan niat jahat Jakarta, mereka rela mengatasnamakan rakyat.
Alasan-alasan klasik seperti peningkatan kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur selalu digaungkan sebagai persoalan mendasar di Papua. Dua alasan ini sering menjadi "kendaraan" bagi elite asli Papua untuk duduk di kursi empuk. Mereka seakan-akan tidak memahami penolakan Daerah Otonomi Baru oleh rakyatnya sendiri, yang juga adalah orang asli Papua.
Padahal, logikanya, mereka menjadi elite dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya, hukumnya wajib bagi mereka untuk mengakomodir segala kepentingan rakyat. Suka-duka, susah-senang rakyat menjadi bagian dari diri mereka sendiri sebagai elite. Dasar dari prinsip etika publik dalam negara demokrasi ini benar-benar tidak dipahami. Akibatnya, mereka seperti robot yang kapan saja dan di mana saja dikendalikan oleh Jakarta.
Dr. Agus Sumule Sebagai Figur
Pernyataan Dr. Agus Sumule di atas ini adalah tamparan keras bagi sebagian akademisi dan elite asli Papua yang buta akan realitas dan tuli terhadap jeritan rakyatnya sendiri. Oleh sebab itu, bagi saya, Dr. Agus Sumule lebih terhormat disebut sebagai orang asli Papua daripada sebagian akademisi dan elite asli Papua sendiri yang tidak menghargai rakyatnya sendiri.
Sebagai rakyat, saya mendukung pernyataan Dr. Agus Sumule. Saya sangat tidak setuju pemekaran. Maka itu, sebagian akademisi dan elite asli Papua jangan pernah sekali-kali mengatasnamakan saya sebagai rakyatmu untuk mendukung kebijakan gula-gula manis Jakarta dalam bentuk pemekaran.
Belajarlah hal positif dari Doktor Agus Sumule. Dalam hal ini, dengan menggunakan kapasitasnya sebagai akademisi, beliau telah menjadi figur mewakili suara yang terbungkam dari rakyat Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H