Indonesia kemudian mengusulkan tata cara pemungutan suara dengan sistem musyawarah. Sistem ini sangat bertentangan dengan praktek internasional, yakni, one man one vote (satu orang satu suara). Sebanyak 1025 orang telah dipilih tanpa mekanisme yang jelas, dan dianggap sebagai representasi dari sedikitnya 800.000 orang Papua pada saat itu. Selain dilakukan di bawah ancaman dan intimidasi.
Setelah Pepera dimenangkan oleh Indonesia secara manipulatif, cacat moral dan hukum, maka demi memantapkan nasionalisme Indonesia kepada rakyat Papua, Indonesia menempuh jalur dialog dalam bentuk operasi militer besar-besaran (bdk. Asyhari-Afwan, 2015:32). Dialog itu berlangsung dalam bentuk pertanyaan, “kamu pilih Indonesia atau mati?, kamu OPM atau bukan?”. Di situ, terjadi proses dialog antara rakyat Papua dan pemerintah melalui militer (bdk. pengakuan korban dalam laporan ICTJ & ELSHAM, 2012: 13-18).
Pemerintah Indonesia beranggapan bahwa Papua sudah final menjadi bagian sah dari Republik Indonesia, sementara rakyat Papua sampai hari ini masih beranggapan bahwa Pepera tidak sah karena dilangsungkan di bawah tekanan militer, bahkan tidak jarang korban kekerasan dialami oleh anak-anak dan perempuan (Tim Dokumentasi, 2009-2010: 20-31). Dialog yang dibangun sebelum dan sesudah Pepera di bawah pemerintahan Orde Baru nampaknya gagal total menasionalisasikan orang Papua.
Periode Otonomi Khusus 2001
Setelah runtuhnya rezim diktator Soeharto (1998), pendekatan pemerintah terhadap rakyat Papua nampaknya lebih soft. Status Papua sebagai Daerah Operasi Militer (bdk. Tebay, 2009:2) tidak lagi diberlakukan. Otonomi Khusus dijadikan sebagai opsi pemerintah untuk menjawab tuntutan referendum rakyat Papua yang diwakili oleh Tim 100. Pemerintah menganggap Otonomi Khusus sebagai sebuah pendekatan yang lebih manusiawi.
Pemerintah seakan-akan nampaknya telah belajar dari pendekatan dialogis masa lalu yang sangat militeristik dan intimidatif, sehingga Otonomi Khusus dijadikan sebagai tawaran dialogis demi menghambat kemungkinan tuntutan Merdeka di kemudian hari. Pendekatan dialogis dalam kemasan Otonomi Khusus ini tidak lagi berisi doktrinasi nasionalisme, tetapi lebih pada penguatan lokal, baik berupa capacity building, penguatan basis ekonomi, pendidikan dan kesehatan orang asli Papua (Asyhari-Afwan, 2015:33-34).
Kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah perlahan-lahan mulai dibangun kembali dengan dilibatkannya elite-elite asli Papua dalam mengelolah dana Otonomi Khusus. Pemerintah berkeyakinan bahwa Otonomi Khusus merupakan jalan menuju kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan rakyat Papua di tanahnya sendiri. Namun keyakinan pemerintah itu justru sangat kontras dalam realisasinya. Otonomi Khusus gagal mensejahterahkan rakyat Papua (ICTJ & ELSHAM, 2012:9-11).
Kepercayaan rakyat Papua terhadap retorika pemerintah luntur kembali. Pemerintah dan sebagian elite politik asli Papua justru menjadi aktor utama penghancuran berbagai aspek fundamental kehidupan rakyat (bdk. Yoman, 2012). Lagi-lagi, pada era Otonomi Khusus, pendekatan yang dianggap paling manusiawi ini belum juga mampu menjadi jawaban atas masalah Papua.
Mencegah Keberadaan Neo-Sofisme
Melihat kerumitan penyelesaian berbagai kompleksitas masalah Papua yang selalu diwarnai narasi optimistis palsu dari pemerintah dan sebagian elite asli Papua, lalu muncul pertanyaan: pendekatan seperti apa yang hendak dilakukan? Bagaimana mengidentifikasi persoalan Papua agar menemukan duduk perkara sebenarnya? Dan bagaimana solusinya?
Dahulu, untuk membongkar pembusukan retoris para sofis, Sokrates menggunakan metode dialogis yang disebut maiutika (metode kebidanan). Metode ini dilakukan dengan cara bertanya terus-menerus sambil mengamat-amati hal-hal konkret dan beragam coraknya tetapi pada jenis yang sama. Kemudian unsur-unsur yang berbeda dihilangkan sehingga tinggallah unsur yang sama dan bersifat umum, itulah pengetahuan sejati (Achmadi, 2008:48).