Mohon tunggu...
Aris Yeimo
Aris Yeimo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Alumnus STFT Fajar Timur Abepura - Jayapura

Mengembara dan berkelana.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mencegah Tanah Papua Dihuni Kaum Neo-Sofisme

25 Oktober 2023   23:18 Diperbarui: 25 Oktober 2023   23:33 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sofisme berasal dari kata bahasa Yunani, sophos yang berarti cerdik, pandai (Sara Ahbel-Rappe & Rachana Kamtekar, 2006:37). Para sofis muncul dan mulai mengembangkan metode-metode pengajarannya pada paruhan hingga akhir abad ke-5 SM. Cara menyampaikan filsafatnya dengan berkeliling ke kota-kota dan ke pasar-pasar. Di sana, para pemuda dilatih kemahiran beretorika dalam debat dan pidato. Kepandaian itu untuk mempertahankan apa yang dianggap benar.

Sebut saja nama-nama seperti Protagoras, Gorgias, Prodikos, Thrasymakhos, Hippias, Euthydemos, Dionysodoros, Anthipon adalah para bapak sofisme mula-mula. Pokok-pokok ajaran mereka antara lain: 1) manusia menjadi ukuran segala-galanya, 2) kebenaran umum (mutlak) tidak ada, 3) kebenaran hanya berlaku sementara dan 4) kebenaran tidak berlaku pada diri sendiri (Ahmad Syadali & Mudzakki, 1997:59).

Pada titik tertentu, kehadiran para sofis pada masa itu membawa dampak positif dalam bidang filsafat, politik, ekonomi dan kebudayaan. Terutama karena mereka berhasil menitik-beratkan manusia sebagai pusat kajian filsafat dan menekankan pentingnya bahasa dalam berfilsafat.  Namun di satu sisi, kehadiran mereka justru ditentang keras oleh Sokrates.

Menurut Sokrates,  secara etis, kehadiran kaum sofis justru melecehkan nilai kebenaran dan kebajikan karena mereka hanya  mencari keuntungan dengan mengumbar kecakapan retoris dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi, kelompok atau siapapun yang menggunakan jasa mereka. Bagi Sokrates, kebenaran, kebaikan, hakikat dan kesejatian segala sesuatu ditentukan oleh objektifikasi dari sesuatu itu sendiri (Sara Ahbel-Rappe & Rachana Kamtekar, 2006: 38-45).

Pada artikel ini, penulis akan menghantar kita melihat bersama bagaimana gelagat para “neo-sofisme” mempengaruhi peradaban orang Papua. Penulis melihat bahwa tindak-tanduk para sofis di Yunani dahulu masih amat relevan dengan kondisi kita di Papua saat ini melalui kehadiran para “neo-sofisme” dengan berbagai retorika omong kosong. Oleh karena itu, penulis membagi pembahasan artikel ini ke dalam tiga bagian: periode sebelum dan sesudah Pepera 1969, periode Otonomi Khusus 2021 dan mencegah keberadaan neo-sofisme.

Periode Sebelum dan Sesudah Pepera 1969

Sebelum Pepera dilangsungkan, Papua (West Niew Guinea) telah menjadi perebutan sengit antara Kerajaan Belanda dan Pemerintah Indonesia. Belanda mengklaim wilayah jajahannya merupakan wilayah administranya. Sementara Indonesia pun bersih keras mempertahankan Papua dengan dalih seluruh wilayah jajahan Belanda adalah wilayah administrasinya.

Pertikaian antara Belanda dan Indonesia berakhir pada bulan Agustus 1962 dengan diadakannya Perjanjian New York (New York Agreement) yang dimediasi oleh Amerika dan PBB. Perjanjian tersebut mengisyaratkan dua hal: 1) peralihan administrasi wilayah Papua dari Belanda kepada Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) pada 1 Oktober 1962 untuk selanjutnya diserahkan kepada Indonesia. 2) Pemerintah Indonesia, dengan bantuan PBB, melakukan referendum sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional pada tahun 1969.

Pada 1 Mei 1963, menindak-lanjuti Perjanjian New York, UNTEA menyerahkan sepenuhnya wilayah Papua kepada Indonesia. Peralihan ini terjadi bukan tanpa konflik, operasi militer atas perintah Soekarno pada 19 Desember 1961 (Trikora) masih berlanjut. Rakyat Papua saat itu sedang di dalam bayang-banyang intimidasi, penculikan, pembunuhan dan pemerkosaan.

Setelah peralihan wilayah administrasi, Indonesia mempersiapkan segala strategi, baik diplomasi internasional maupun operasi intelijen melalui intimidasi dan pembunuhan terhadap rakyat Papua dengan maksud menyatakan sikap mendukung Indonesia  secara aklamasi saat Pepera 1969. Orang Papua tentu menolak pendudukan Indonesia dengan gerakan pemberontakan secara gerilya pada 1965 di Manokwari karena sebelumnya, pada 1 Desember 1961, melalui New Guinea Raad, mereka telah memiliki nation state symbol yang diakui secara de facto (Djopari, 1993:100).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun