Pertanyaan sederhana sebelum lanjut membaca tulisan ini, kamu ingin rebahan atau masa depan yang cerah? Begitu kira-kira pertanyaan  yang bisa kita lontarkan kepada generasi muda masa kini, terutama yang lebih suka berselancar di media sosial ketimbang berselancar di samudera ilmu. Sebelum mereka sempat menjawab, kita lemparkan lagi satu pernyataan dari Imam Syafi'i: "Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan."
Ini bukan sekadar kalimat untuk dikutip di Instagram atau dijadikan status WhatsApp, tapi juga petunjuk hidup yang dalam sekali maknanya. Bukan cuma soal lelah atau kebodohan yang kita bicarakan di sini, tapi soal pilihan-pilihan hidup, yang mau tak mau, harus kita hadapi.
Ketidaknyamanan: Harga yang Harus Dibayar
Apa yang dikatakan oleh Imam Syafii ini seperti kenyataan pahit yang jarang disadari oleh kebanyakan orang. Belajar itu melelahkan, butuh usaha, fokus, dan sering kali menguras energi fisik maupun mental. Tetapi, di balik lelahnya belajar, tersimpan hasil yang berharga: kebijaksanaan, kecerdasan, dan kemampuan untuk menghadapi dunia dengan lebih baik.
Sebaliknya, kebodohan itu seperti utang tanpa batas. kamu tidak sadar bahwa kamu membayar bunganya tiap harinya. Mungkin tidak sakit hari ini, tapi nanti ketika realitas menghantam, barulah terasa "perihnya kebodohan." Dan perihnya bukan cuma di hati, tapi juga di dompet, karir, dan bahkan sampai menghampiri hubungan sosial kita.
Pertanyaan dari saya, kenapa belajar itu melelahkan? Jawabannya jelas, karena belajar bukan sekadar menghafal buku atau memahami teori. Belajar itu seperti proses mengubah cara kita berpikir, memperluas wawasan, dan pada akhirnya, mengubah diri kita. Perubahan, sekecil apapun, selalu mengandung unsur ketidaknyamanan. Seperti otot yang perlu dipecah terlebih dahulu supaya bisa tumbuh lebih kuat, otak kita juga perlu "diregangkan" melalui proses belajar supaya bisa bekerja lebih efektif.
Generasi Rebahan vs Generasi Maju
Apakah kita bisa menyalahkan generasi muda yang lebih memilih rebahan ketimbang belajar? Mungkin tidak sepenuhnya juga bisa kita salahkan. Mereka dibesarkan di era digital, di mana segalanya serba instan dan mudah. Informasi bisa didapatkan dengan satu klik, hiburan tersedia 24 jam tanpa jeda sesuai permintaan. Kalau dulu orang-orang harus pergi ke perpustakaan untuk mencari referensi, sekarang cukup buka Google, Bing, bahkan dengan perkembangan teknologi kecerdasan buatan seperti Chat GPT dan lainnya, mereka bisa mencari informasi sebanyak-banyaknya. Masalahnya, semua kemudahan ini justru seringkali membuat kita malas berusaha lebih. Kebiasaan instan membuat generasi sekarang enggan menghadapi proses belajar yang membutuhkan waktu dan ketekunan.
Nah, disinilah tantangan terbesar muncul. Mereka yang tak tahan dengan lelahnya belajar, malah jadi gampang menyerah. Akibatnya, banyak yang terjebak dalam lingkaran kebodohan modern. Kebodohan modern ini bukan karena mereka tak tahu apa-apa, tapi karena mereka merasa tahu banyak hal tanpa pernah mendalami satu hal pun. Seolah-olah dengan membaca headline saja sudah cukup untuk dianggap pintar. Ini adalah jebakan zaman modern. Kebodohan tidak selalu berbentuk "tidak tahu", tapi lebih kepada ilusi bahwa kita sudah tahu semuanya hanya karena kita terbiasa mendapat informasi dengan instan dan mudah.
Seorang siswa SMA yang selama ini selalu berada di posisi paling bawah di kelas, tiba-tiba menjadi juara setelah mengalami satu momen pencerahan. Selama ini dia selalu berpikir, "Belajar itu susah, lebih enak main game." Tapi, suatu ketika, saat keluarganya sedang kesulitan ekonomi, dia menyadari satu hal: "Jika aku tetap malas belajar, aku mungkin akan menjalani hidup seperti ini selamanya." Dari situ, dia mulai belajar, bukan karena disuruh guru atau orang tua, tapi karena sadar bahwa masa depannya ada di tangannya sendiri.