Ini seperti kita ingin melukis langit biru, tapi yang ada justru warna abu-abu karena hujan terus turun. Di titik ini, banyak pendiri merasa kehilangan kendali atas ciptaan mereka dan memilih untuk pergi.
Budaya Kerja dan Kesehatan Mental
Di balik gemerlapnya dunia startup, terdapat kenyataan pahit tentang budaya kerja yang sering kali tidak sehat. Jam kerja panjang, tekanan untuk selalu berinovasi, dan tuntutan tanpa henti bisa menggerogoti kesehatan mental.Â
Banyak pendiri akhirnya merasa kelelahan dan membutuhkan jeda. Mereka mungkin tampak seperti pejuang teknologi yang tangguh, tetapi pada akhirnya, mereka tetap manusia biasa yang membutuhkan keseimbangan hidup.
Transformasi Diri
Keluar dari perusahaan yang didirikan bukan berarti gagal. Banyak pendiri justru menemukan jati diri mereka setelah meninggalkan startup. Mereka menjadi mentor, investor, atau bahkan memulai startup baru dengan visi lebih segar. Ini seperti metamorfosis ulat menjadi kupu-kupu. Dengan meninggalkan kepompong startup pertama memungkinkan mereka untuk terbang lebih tinggi dan lebih bebas.
Saya coba menggambarkan dengan satire tentang seorang pendiri startup yang lelah dengan tuntutan rapat investor, memutuskan untuk membuka warung kopi di kampung halamannya.Â
Ketika ditanya alasannya, dia menjawab, "Di sini, kopi adalah inovasi dan kreasi yang paling dihargai. Dan rapat hanya terjadi kalau cangkir kopinya sudah kosong." Hal-hal sederhana dalam hidup lebih berharga daripada gemerlapnya dunia bisnis.
Para pendiri startup yang keluar mungkin telah mencapai pencerahan bahwa hidup bukan hanya tentang kesuksesan materi, tetapi juga tentang kebahagiaan dan kepuasan batin. Dalam konteks ini, mungkin kita bisa mengatakan, "Mereka meninggalkan startup untuk mencari startup dalam diri mereka."
Urgensi Keseimbangan
Bagi generasi muda yang sedang atau akan terjun ke dunia startup, fenomena ini memberikan pelajaran penting tentang keseimbangan. Keseimbangan antara ambisi dan kebahagiaan, antara kerja keras dan waktu untuk diri sendiri.Â