Bayangkan jika Anda adalah seorang seniman yang menciptakan lukisan masterpiece, dipajang di galeri, dan dipuja banyak orang. Namun, suatu hari Anda memutuskan untuk berhenti melukis dan menjadi penjaga galeri. Aneh, bukan?Â
Fenomena serupa terjadi pada pendiri startup yang keluar dari perusahaan yang mereka dirikan sendiri. Apakah ini tragedi modern para founder atau kisah epik yang terselubung? Sebagai disclaimer, saya mencoba menuliskannya dengan pendekatan fenomenologis dan tentu saja bukan sebagai ahli di bidang startup, teknologi, atau ekonomi.
Sebuah Dongeng Teknologi
Mari bayangkan sebuah kisah di Silicon Valley. Kita sebut saja, seorang anak muda bernama Jeff punya mimpi besar, mengubah dunia dengan teknologi. Dengan modal ide cemerlang, keberanian, dan semangat juang, Jeff mendirikan sebuah startup.Â
Awalnya, startup ini hanyalah rintisan kecil di garasi rumahnya. Tapi dalam beberapa tahun, startup itu menjelma menjadi raksasa teknologi. Namun, ketika semuanya tampak indah, Jeff memilih untuk pergi. Kisah imajiner ini menggambarkan fenomena yang terjadi dengan para founder startup saat ini.
Antara Impian dan Realita
Banyak yang beranggapan mendirikan startup adalah impian setiap anak muda masa kini. Gambaran tentang kebebasan, inovasi, dan kekayaan melimpah sering kali menjadi magnet kuat. Namun, seperti halnya kisah Jeff, yang terjadi justru sering kali kebalikannya.Â
Para founder sering kali harus menghadapi tekanan luar biasa, tuntutan investor, dan dinamika internal yang sangat kompleks. Akhirnya, mereka memilih keluar dan mencari kedamaian. Pepatah Latin yang cocok menggambarkan situasi ini adalah "Lebih baik jadi kepala kambing daripada ekor singa."
Antara Visi dan Kenyataan
Banyak pendiri startup keluar karena perbedaan visi dengan investor atau manajemen baru. Saat perusahaan kecil, visi pendiri sangat dominan. Namun, ketika perusahaan tumbuh dan melibatkan banyak pemangku kepentingan, visi itu sering harus beradaptasi dengan realitas bisnis.Â