Kita hidup di era yang penuh ironi, dimana kejujuran sering kali jadi barang langka di tengah kesempitan. Salah satu ironi tersebut saat ini adalah praktik pemalsuan data untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi. Seolah ada benang merah yang kusut di antara niat baik pemerintah untuk menciptakan pemerataan pendidikan dan realitas di lapangan yang penuh tipu muslihat.
Kejujuran di Tengah Zona Palsu
Saya coba ilustrasikan ada seorang anak bernama Budi yang tinggal di pinggiran kota. Budi adalah anak yang cerdas dan penuh semangat untuk belajar. Ia bercita-cita masuk ke sekolah favorit yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Namun, sistem zonasi menutup peluang itu.
Di sisi lain, ada Susi, anak dari keluarga kaya yang rumahnya dekat dengan sekolah favorit tersebut. Tapi, bukan kepintaran Susi yang membawa dia ke sana, melainkan alamat palsu yang dibuat oleh orang tuanya.
Inilah kenyataan yang terjadi di berbagai tempat. Sistem zonasi yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan pendidikan, justru dijadikan celah bagi mereka yang ingin mendapatkan keuntungan tanpa memikirkan keadilan dan kesetaraan.Â
Zona 'Putih' dan Zona 'Abu-Abu'
Praktik pemalsuan data ini seolah-olah menciptakan dua jenis zona dalam masyarakat: zona 'putih' bagi mereka yang mengikuti aturan dengan jujur, dan zona 'abu-abu' bagi mereka yang mencari jalan pintas agar mendapatkan fasilitas. Ironisnya, zona 'abu-abu' ini sering kali diisi oleh mereka yang justru memiliki akses lebih baik terhadap informasi dan sumber daya.
Kita mungkin bisa bertanya, apakah ini salah sistem atau manusianya?
Sistem zonasi dirancang untuk memastikan setiap anak memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas. Namun, ketika kejujuran menjadi barang langka, sistem sebaik apa pun akan selalu punya celah untuk disiasati.
Alamat Palsu, Prestasi Palsu, Menjadi Masa Depan Palsu