Mohon tunggu...
Muhammad Ariqy Raihan
Muhammad Ariqy Raihan Mohon Tunggu... Penulis -

Lelaki sederhana dan penikmat sastra. Hanya ingin mencari kata-kata untuk disambung menjadi sebuah cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemuda Republik Bangkit

11 Februari 2016   19:38 Diperbarui: 11 Februari 2016   22:53 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku dan dia berjalan menyusuri tiap sudut-sudut kota. Setelah berkunjung ke Kota Tua beberapa hari lalu, bertemu dengan Paman Alfred, ada yang mengganjal di pikiranku. Satu-satunya yang bisa membangun harapan negara ini adalah para pemudanya. Sosok yang membawa semangat membara untuk melakukan yang terbaik bagi negerinya, Republik Bangkit.

Pernah, beberapa hari lalu seorang wartawan asing menertawai nama republik ini. Saat itu ia sedang mewawancaraiku mengenai hasil pemilu pertama di negeri ini. Sepertinya, dia lebih tertarik menganggap nama ini sebagai sebuah lelucon daripada mencercaku dengan jutaan pertanyaan yang barangkali menguntungkan negara asalnya. Negeri ini adalah negeri filosofi. Dinamai Republik Bangkit karena para leluhurnya adalah mereka yang siap berdarah-darah demi memperjuangkan tanah ini dari sergapan para negara bodoh, yang dipikir dengan mudah bisa memerintah seenaknya sendiri. Nama negeri ini diukir dari tiap hembusan nafas terakhir para pemuda, pejuang yang ingin merdeka menjadi bagian dari takdir tanah ini.

Di salah satu sudut sempit di pinggiran kota, aku melihat sekumpulan pemuda yang sedang berjalan terhuyung-huyung, mencari tembok kumuh sebagai penyangga tubuhnya. Aku bisa mencium bau alkohol dari jarak sejauh ini. Ah, seperti ini rupanya pemuda zaman sekarang. Rosie tak nyaman berada disana, dia memberi isyarat untuk segera melanjutkan blusukan.

Di sudut lainnya, aku melihat sekumpulan pemuda berpakaian putih abu-abu membawa beberapa peralatan tajam. Bahkan, ada yang membawa beberapa galah bambu runcing, dan di seberang mereka juga ada sekumpulan pemuda berpakaian sama, juga membawa peralatan yang sama. Kalian pikir ini zaman penjajahan? Batinku.

Akupun kembali melanjutkan perjalananku. Rosie sepertinya jauh lebih tahu kota ini daripadaku. Kami bertemu dengan beberapa pemuda yang sedang bersantai di salah satu taman terindah kota ini. Tampak tangannya dengan semangat menggurat sebuah kanvas putih kosong yang kini sudah terisi berbagai macam garis yang saling menyambung menjadi sebuah desain bangunan yang indah.

Dia pasti calon pembuat gedung terhebat di negeri ini, pikirku.

Di seberang taman, kami bertemu beberapa orang pemuda yang sedang menawarkan sebuah dus cokelat, untuk diiisi oleh beberapa lembar kertas bertuliskan angka atau koin-koin sekedarnya. Mereka menembus terik matahari dengan peluh keikhlasan. Aku bisa membaca tulisan yang melekat pada dus itu, Bantuan Sosial Republik Bangkit. Harupun jatuh di wajah ini. Masih ada semangat menempel pada jiwa mereka, rupanya.

Rosie tersenyum ke arahku. Kini dia sudah berjarak beberapa meter di hadapanku. Jari telunjuk nya mengarah pada sisi kiriku. Pada sebuah gerai risoles yang banyak dikunjungi oleh para pelanggan. Bahkan, ada antrian yang cukup panjang di depan gerai itu. Aku mengajak Rosie untuk berkunjung ke tempat itu.

“Selamat pagi, Pak Presiden...,” ucap pemilik gerai ketika aku dan Rosie perlahan masuk ke dalam. Semua orang tersentak oleh kehadiranku dan mulai menunjukkan senyum bahagia mereka.

“Jangan, panggil namaku saja, Revan.” Usiaku mungkin jauh lebih muda dari pemuda ini, tunjukku pada pemilik gerai. Ya, lelaki itu masih muda walaupun sepertinya dia berjarak beberapa tahun lebih tua.

Pemuda itu mengajakku dan Rosie untuk berkunjung ke kantornya, di atas gerai itu. Ivan, nama lelaki itu. Ia menarik beberapa kursi, dan kamipun terlibat obrolan santai dengan teh hangat yang diseduhnya itu. Pemuda inilah yang masih menyimpan rapi semangat juang di jiwa nya. Bahwa, di antara harapan yang dulu pernah hilang, tak terbesit untuk menyerah, pikirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun