Mohon tunggu...
Ariq Aqshal Alfaridzy
Ariq Aqshal Alfaridzy Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Modal Politik Anggota Dewan Legislatif dalam Pileg Tahun 2019

1 September 2022   11:22 Diperbarui: 1 September 2022   14:01 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah validasi mengenai kekuasaan rakyat tersebut nampak dalam setiap pelaksanaan kegiatan politik yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali secara demokratis. Kegiatan politik tersebut terbentuk dari pemilihan umum presiden, legislatif, dan pilkada. Peran dari masyarakat yang mempengaruhi dan menentukan kualitas tata kelola pemerintahan negara dan daerah selama berlangsung dalam masa jabatan lima tahun tersebut.

Penyelenggaraan pemilu serentak pada tahun 2019 menjadi suatu momentum politik yang penting oleh setiap warga negara, apalagi bagi warga negara yang sudah memenuhi syarat perundang-undangan. Secara histori, mekanisme pemilu pasca pemilu tahun 1998 merupakan salah satu langkah yang tepat untuk menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara sekaligus memberikan kesempatan luas kepada setiap warga negara dalam menggunakan hak politiknya untuk berpartisipasi secara aktif saat kontestasi demokrasi. Dalam hal ini juga, partisipasi politik tidak hanya dalam bentuk memberikan suaranya saja, akan tetapi dapat ditinjau langsung dari antusiasme masyarakat yang mendaftarkan dirinya menjadi calon legislatif.

Kesempatan para kandidat setelah memenangkan Pileg justru dapat dikatakan tidak mudah, maka dari itu setiap kandidat mempunyai strategi dan konsep yang efektif dan lebih unggul dari pesaing lainnya. Namun, para kandidat ini juga perlu menyiapkan mental karena setiap orang memiliki peluang yang sama untuk menang dan kalah, hal tersebut setidaknya dapat dihindari dengan berdasarkan data dan pengalaman para kandidat untuk mengurangi resiko dari kekalahan.

Analisis yang digunakan oleh penulis adalah dari sudut pandang modal politik. Menurut J.A Booth dan P.B Richard mengartikan modal politik sebagai aktivitas warga Negara untuk mencapai kekuasaan dan demokrasi. Sedangkan A. Hick dan J. Misra mengatakan modal politik adalah berbagai fokus pemberian kekuasaan / sumber daya untuk merealisasikan hal-hal yang dapat mewujudkan kepentingan meraih kekuasaan. Intinya modal politik adalah kekuasaan yang dimiliki seseorang, yang kemudian bisa dioperasikan atau berkontribusi terhadap keberhasilan kontestasinya dalam proses politik seperti pemilihan umum, (Baharuddin & Purwaningsih, 2017:141).

Modal politik menurut Kimberly Casey (2008) yaitu jumlah dari kombinasi jenis modal lain untuk tindakan politik atau pengambilan investasi modal politik yang dikembalikan ke dalam sistem produksi (reinvestasi). Modal politik dapat dikatakan sebagai modal dasar bagi calon legislatif dalam pemilu legislatif. Menurut Srensen dan Torfing (2003) modal politik mengacu pada kekuasaan individu untuk bertindak secara politis yang dihasilkan melalui partisipasi dalam proses politik yang interaktif. Sehingga seorang calon legislatif harus memiliki dukungan politik melalui partai politik agar dapat terpilih dalam pemilihan legislatif. Selain dukungan dari partai politik, modal politik berupa dukungan dari elit politik juga dapat mempengaruhi keterpilihan calon legislatif.

Sudut pandang tentang modal politik dapat diartikan sebagai kekuatan maupun dukungan dukungan yang berasal dari partai politik (koalisi partai) dan dukungan para elit politik lokal dari organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan kepada para calon yang dianggap dapat mewakili kepentingannya melalui pemilihan legislatif. Dalam konteks politik lokal (daerah) para elit lokal telah banyak menduduki jabatan politik dan jabatan-jabatan strategis lain yang mempunyai peran penting dan berpengaruh terhadap kelompok dan masyarakat di daerahnya masing-masing.

Tidak hanya itu, para kontestan juga memerlukan dukungan elit-elit politik lokal karena elit politik tersebut memiliki peran yang menonjol dalam politik dan bidang lain serta memiliki pengaruh yang besar dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki calon kepala daerah. Kandidat juga harus memiliki kapasitas pribadi yang berkualitas, seperti kedudukan di partai politik dengan melihat posisi strategis dalam struktur jabatan di partai politik dan pemerintahan. Jika kandidat tidak mendapatkan dukungan dari elit partai politik, para calon legislatif dipastikan akan kalah dalam kompetisi. Sebab dalam permainan politik praktis setiap petarung harus mempersiapkan diri dengan dukungan sumberdaya yang memadai baik kemampuan internal maupun kemampuan eksternal yang terus dibangun dan dikembangkan secara berkelanjutan.

Studi kasus yang diambil dalam artikel ini adalah keterpilihan Ima Mahdiah baik sebagai calon legislatif perempuan pemula maupun sebagai peraih suara terbesar di dapil DKI Jakarta X merupakan fenomena yang perlu diteliti secara lebih mendalam. Keterpilihan Ima merupakan fenomena yang unik di dunia politik Indonesia maupun DKI Jakarta, dimana seseorang yang bukan pengurus teras partai (baik di pengurus pusat maupun di pengurus daerah), bukan pengusaha nasional, dan bukan laki-laki dapat meraih capaian tertinggi pada pemilu legislatif.

Dalam pelaksanaan pemilu legislatif, calon legislatif perempuan pemula memerlukan dukungan politik dari partai politik untuk dapat dicalonkan. Adanya dukungan dari partai politik merupakan modal politik yang kuat untuk dapat memenangkan pemilu. Modal politik yang dimiliki oleh Ima Mahdiah berasal dari partai yang mengusungnya, yaitu PDIP. Melalui PDIP, Ima bertemu dengan para elit partai yang juga memberinya dukungan pada pemilu legislatif DPRD Provinsi DKI Jakarta tahun 2019. Dalam wawancaranya, Ima menyatakan mendapatkan dukungan dari ketua DPD PDIP DKI Jakarta, Adi Wijaya untuk mencalonkan diri pada pemilu legislatif tahun 2019 melalui dapil DKI Jakarta X yang meliputi wilayah Kota Administrasi Jakarta Barat (Kec. Taman Sari, Kec. Grogol Petamburan, Kec. Palmerah, Kec. Kebon Jeruk, Kec. Kembangan). Dalam pencalonannya, nomor urut dan dapil telah diatur oleh partai politik dan ketua DPD, sehingga ketika mencalonkan diri pada pemilu legislatif, Ima Mahdiah mendapatkan nomor urut 8 dan di tempatkan di dapil DKI Jakarta X. Meskipun demikian, menurut Ima nomor urut tidak berpengaruh karena sistemnya adalah suara terbanyak, sehingga fokus Ima adalah dapat membuat masyarakat di dapilnya memilih dirinya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Pada keterpilihan Ima Mahdiah, modal politik berasal dari partai politik yang mengusungnya, yaitu PDIP. Disamping itu, posisi PDIP sebagai partai pemenang pemilu legislatif sebelumnya juga memiliki pengaruh yang tidak dapat dikesampingkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun