Bali. Adat istiadat yang lahir dan diteruskan secara turun-temurun ini berhasil menarik minat wisatawan domestik sampai mancanegara untuk menjelajahi kebudayaan yang ada.Â
Pulau Seribu Pura, Pulau Surga, Pulau Dewata, Pulau Cinta, Pulau Mentari Pagi, begitulah mereka menyebut sebuah pulau yang masih kental dengan tradisi dan budayanya yakni PulauKehidupan sosial-masyarakat Bali yang mayoritasnya beragama Hindu sudah mengenal tradisi bahkan sebelum insan tersebut dilahirkan. Melakukan yadnya atau persembahan suci yang tulus ikhlas menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh umat Hindu. Dimulai dengan upacara magedong-gedongan saat bayi berusia 7 bulan dalam kandungan, hingga akhirnya di ujung usia manusia dibuatkanlah upacara kematian (ngaben).Â
Dengan kompleksnya rentetan upacara yang dilaksanakan umat beragama Hindu di Bali, wajar jika orang luar menyebut orang Hindu Bali sebagai masyarakat seremonial. Dari semua ritus yang dilakukan, yang paling menjadi sorotan dikarenakan keunikannya adalah ritus kematian yang disebut dengan Ngaben.Â
Ngaben merupakan persembahan suci terakhir yang dilakukan pada orang yang meninggal, sehingga ngaben termasuk dalam upacara pitra yadnya (persembahan yang tulus kepada leluhur). Secara etimologi, ngaben diyakini berasal dari kata beya yang berarti memberi bekal, ngabu (menjadi abu), dan masih banyak keyakinan etimologis lainnya.Â
Secara filosofis, ngaben bertujuan untuk mempercepat proses pengembalian badan kasar manusia yang terdiri atas 5 unsur alam yakni pertiwi (tanah), apah (air), teja (api), bayu (udara) dan akasa (ruang kosong), serta menyucikan jiwa atau roh (atman) orang yang telah meninggal.
Umat Hindu Bali menjalankan segala jenis tradisinya dengan berlandaskan dasar rasa bakti tulus ikhlas. Dalam upacara pengabenan, terdapat beberapa tingkatan yang dapat dibedakan dari sarana dan prasarana upacaranya. Mulai dari tingkatan sesajen (banten), adanya lembu atau petulangan lainnya, adanya bade (wadah saat pemindahan jenazah sampai ke pemakaman), serta masih banyak indikator pembeda lainnya.Â
Tingkatan tersebut secara umum dibedakan menjadi 3, yakni nista (rendah atau biasa), madya (menengah atau sederhana) dan utama (tinggi).Â
Tentunya semakin tinggi tingkatan ngaben, maka anggaran yang dibutuhkan akan semakin besar. Biaya minimum yang harus dipersiapkan untuk upacara pembakaran mayat ini adalah kisaran 10 juta rupiah untuk tingkatan rendah (nista), 15 juta rupiah untuk tingkatan menengah (madya) dan 22 juta rupiah untuk tingkatan tinggi (utama).Â
Berbeda dengan biaya minimum tersebut, biaya maksimum bahkan tidak bisa ditentukan karena kembali pada konsep ber-yadnya adalah rasa bakti terhadap leluhur, sehingga tidak ada standar anggaran maksimum.Â
Ngaben konvensional yang biasa ditampilkan pada media biasanya berkategori ngaben tingkat utama, yakni menggunakan minimal tiga sesajen sorohan saat pembakaran, menggunakan wadah atau bade, dan menggunakan petulangan (tempat pembakaran mayat) seperti lembu atau binatang mitologis lainnya (nagabanda, singapaksi, gajahmina, dll).Â
Berbeda dengan ngaben dalam tingkatan madya dan nista yang biasanya menggunakan hanya satu sesajen sorohan saat pembakaran dan tidak menggunakan wadah maupun petulangan.