Mohon tunggu...
Ari Purwadi
Ari Purwadi Mohon Tunggu... Administrasi - Sang Pemenang

Saya selalu berusaha menjadi orang yang terus memberi manfaat bagi orang lain dan berusaha terus memberi kontribusi positif dalam hidup orang lain, apapun itu. Saya ingin kehadiran saya selalu dirindukan oleh orang lain. Berkarier merupakan sebuah aktualisasi hidup jangka panjang yang saya inginkan, bagi saya berkarya itu harus dengan cinta, dan saya selalu berusaha mencintai apa yang saya kerjakan, sehingga dapat menghasilkan karya yang berkualitas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Buat Kamu yang Suka Ngeledekin Orang, Baca Ini!

16 Mei 2017   07:44 Diperbarui: 16 Mei 2017   13:19 2258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Gini ya rasanya bersandar sama gajah!”cetus Farah kepada Sophie.

“apaan sih Farah? Kamu donk, putihan dikit kenapa?”Sophie  menimpali cetusan Farah.

Ye...ini tuh namanya eksotis, jaman sekarang putih itu melambangkan kurangnya vitalitas seorang wanita, tau!”Farah tidak mau kalah.

Dialog diatas merupakan penggalan dari obrolan teman saya beberapa waktu lalu, sekilas obrolan itu nampak biasa-biasa saja, namun apabila dicermati, obrolan tersebut berisi ungkapan saling mencela, saling membela diri dan terus mencari cara untuk saling menjatuhkan. Hal ini merupakan potret kecil dari trend percakapan di Indonesia saat ini, yang disadari atau tidak lahir, tumbuh dan hiburan melalui industri hiburan. Trendpercakapan saling mencela, saling mengejek, atau kecrok-kecrokan(dalam bahasa Jawa)yang kemudian dijadikan sebagai bahan becandaan berkembang luas dikalangan masyarakat, khususnya anak muda. Trend percakapan seperti ini kemudian menjadi hal biasa dalam menjalin persahabatan, bahkan muncul anekdot umum, “Persahabatan sejati itu baru terjadi apabila ketika mereka saling cela separah apapun itu, mereka sama-sama tidak akan  merasa sakit hati”.

Namun sebenarnya, untuk alasan lebih mengakrabkan diri dengan saling melempar celaan nampaknya tidak selalu bisa dibenarkan dan masih harus kita telaah bersama. Trendini disadari atau tidak sangat berpotensi menumbuhkan konflik diantara penuturnya yang bukan tidak mungkin mengarah kepada permusuhan. Bagaimana bisa menjadi sahabat sejati, jika dari awal saja sudah ada benih-benih kecewa akibat saling cela? Hati setiap orang tidak ada yang tahu, yakan?

Jelas, setiap orang jelas memiliki karakter berbeda dalam penerimaannya berinteraksi dengan orang lain, termasuk dengan trendpercakapan saling cela ini. Bagi mereka yang tidak terbiasa kecrok-kecrokan(saling cela),bukan tidak mungkin akan serius menangnggapi percakapan ini –meskipun hanya guyonan-dan dianggap menjadi satu bentuk kekerasan verbal oleh penerimanya yang tentu saja berdampak negatif bagi kondisi kejiwaan mereka. Bisa jadi, mereka akan menganggap diri mereka sebagai korban kekerasan verbal orang lain, dan mengalami berbagai permasalahan psikologi seperti menjadi tidak percaya diri, lebih pemalu, lebih emosional, lebih pesimistis dan lain-lain. Dan bagi mereka yang tidak terlalu sensitif dengan percakapan ini, mungkin akan lebih memilih untuk mengalah, untuk tidak menanggapi percakapan saling cela ini, sehingga akan terkesan “tidak asyik/garing” untuk diajak becanda oleh rekan mereka. Disisi lain, bagi mereka yang juga suka guyon,mereka tidak akan mau kalah dan saling melempar ejekan satu sama lain. Pada akhirnya ketika guyonan-guyonanini sarat keegoisan masing-masing individu, harus ada pihak yang bersedia mengalah untuk meredam konflik yang kemungkinan terjadi akibat tingginya ego untuk saling membela diri di antara mereka.

Peran Media

Media massa, utamanya Televisi memiliki andil besar dalam menciptakan trendpercakapan ini. Munculnya sejumlah program televisi, sebagai contoh dewasa ini muncul berbagai program music yang dibumbui komedi di berbagai stasiun TV yang kemudian menjadi andalan masing-masing stasiun televisi. Jamak dijumpai, program-program ini secara intens menyajikan konten saling ejek di antara talent­nya sebagai bahan becandaan. Terkadang, demi menghibur penonton, lelucon yang dihadirkan program-program ini melewati batas kewajaran. Beberapa program bahkan hadir secara live sehingga penonton TV langsung menyaksikan produk mentah televisi tanpa diolah terlebih dahulu. Adegan dan percakapan yang tidak pantas dihadirkanpun menjadi tidak terkontrol. Program –program yang memiliki konten percakapan saling cela seperti ini mungkin disukai masyarakat, namun dampak negatif yang ditimbulkan dari percakapan saling cela ini haruskah dibiarkan tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat?

Program-program televisi senantiasa berusaha merebut penonton dengan menuntut pemainnya untuk selucu mungkin demi keuntungan finansial. Sebagai bagian dari profesionalitas seorang pekerja seni, secara psikologis mereka telah siap untuk tidak sakit hati, tidak dendam, bahkan dituntut harus tersenyum ketika menerima hal-hal yang terkadang diluar batas.

Lantas bagaimana dengan lingkungan sosial kita? Apakah mereka siap untuk trend percakapan saling mencela ini?

Penonton televisi bersifat heterogen dan tidak semua memiliki kesadaran untuk menyaring konten yang pantas ataupun tak pantas disimak. Memang berlebihan jika program-program diatas dimasukkan dalam kategori program tak pantas disimak. Namun percakapan saling cela yang menjadi barang daganganprogram televisi ini nampaknya berhasil menciptakan trend percakapan saling cela dikalangan masyarakat. Terlebih, sebagaimana jamur dimusim hujan, gaya percakapan saling cela ini juga meluas ke berbagai program televisi, radio, bahkan media sosial sebagai dampak kesuksesan program yang dikemas demikian. Dengan demikian, semakin berkembanglah trend percakapan saling cela ini dikalangan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun