Mohon tunggu...
Arif Triadi Utomo
Arif Triadi Utomo Mohon Tunggu... Seniman - Pelakon

Pegiat teater, pecinta film, dan pengagum seni budaya. email: ariptriadi18@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyoal Menteri yang sedang Doyan Bikin Sayembara

24 Juni 2020   15:00 Diperbarui: 24 Juni 2020   15:40 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://kominfo.jatimprov.go.id/

Daripada digunakan untuk lomba video yang mubazir, mending untuk saya saja yang pengin banget nulis buku tapi tidak punya uang untuk ngurus ISBN, atau untuk teman-teman saya yang pengin submit artikel ke jurnal daring tapi kesusahan nyari uang untuk biaya open access. Ya siapa tahu bisa meningkatkan minat baca dan kualitas riset di Indonesia.

Kalau dipikir-pikir, rasanya tidak tepat jika ada yang sering mengatakan negara kita ini negara miskin. Kadang saya ingin protes kepada siapa saja yang berkata demikian. Lha wong faktanya kita ini punya banyak uang (yang dipegang pemerintah, hehe).

Bahkan saking banyaknya uang yang ada, kadang kala pemerintah itu bingung harus dikemanakan uang-uang itu. Kalau misal nasib uang itu kebetulan tidak hoki, biasanya hanya berakhir di kantong-kantong para mafia berkedok wakil rakyat. Sedangkan kalau nasib uangnya mujur sedikit, bisa saja kembali ke tangan para pengguna alias masyarakat yang budiman, walau kadang bisa salah sasaran juga.

Tetapi, ada masa-masa tertentu di mana pemerintah benar-benar tidak tahu harus menggunakan uang itu dengan cara seperti apa. Masa-masa seperti sekarang ini misalnya, saat negara dilanda wabah dan masyarakat dilanda kecemasan. Tentu saja dalam keadaan kacau ini pemerintah diuji kemampuan memerintahnya agar kecemasan masyarakat dapat diredam. Dan entah memang sudah mentok atau tidak bisa melihat opsi lain, lomba video sosialisasi new normal-lah yang keluar sebagai solusi.

Lombanya sih sebenarnya tidak masalah, toh itu bagian dari kampanye new normal yang memang sedang digalakkan agar roda ekonomi kembali berjalan. Yang menjadi persoalan adalah, kok bisa-bisanya uang 168 miliar dikeluarkan secara cuma-cuma hanya untuk hadiah lomba? Saya sebagai rakyat kecil yang kadang kesusahan duit untuk berkarya kan cuma bisa gigit jari.

Untuk yang belum tahu, beberapa waktu yang lalu Kemendagri sempat mengadakan sayembara video sosialisasi tentang protokol new normal untuk para pemerintah daerah. Dan hadiah bagi pemenang lomba itu tidak tanggung-tanggung, juara pertama mendapatkan tiga miliar, juara kedua mendapat dua miliar dan juara ketiga mendapat satu miliar, dengan total 84 pemenang.

Memang, sejauh ini tidak ada bau-bau busuk korupsi seperti yang biasa terjadi. Dana untuk hadiah lombapun berasal dari Dana Insentif Daerah (DID) yang mana punya dasar anggaran yang jelas dari APBN. Meskipun begitu, bagi saya tetap saja mubazir mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk sekadar lomba video sosialisasi.

Bukan berarti saya menjelek-jelekkan program pemerintah, terutama jika berkaitan dengan penanganan wabah yang sedang jadi momok ini. Maksud saya, memangnya seberapa penting sih video sosialisasi itu  kalau sampai harus menghabiskan dana ratusan miliar? Oh ya, omong-omong, pemenang lombanya juga sudah ditetapkan. Datanya sudah tersebar di internet. Dan kalau dilihat-lihat, rasanya kok daerah yang menjadi pemenang tidak selaras dengan rekam jejak kasus corona yang terjadi di daerah itu ya? Bukankah itu malah jadi tambah mubazir?

Belum juga pro-kontra lomba video sosialisasi ini mereda, sudah tersiar kabar kalau Kemendagri mau bikin lomba lagi. Lomba tekan laju covid-19 katanya. Dan seperti sebelumnya, ada Kemenkeu dan Kemenkes yang mendampingi. Kalau kata salah satu pakar sih, buat apa?

Bicara soal Kemenkeu, kemarin mereka sudah menjelaskan macam-macam alasan dari jumlah uang hadiah yang tidak masuk akal itu. Katanya biar uang negara tidak mubazir, alias ini semua merupakan win-win solution. Ehem, kalau soal mubazir, dan kaitannya dengan penggunaan Dana Insentif Daerah, kelihatannya ada banyak hal yang bisa dilakukan agar tidak ada kata mubazir yang terlontar.

Yang kita bicarakan ini uang dari DID, artinya pengalokasian dana itu tidak hanya terbatas pada penanganan covid-19. Ya okelah, karena saat ini memang situasi itu yang sedang genting, tidak masalah jika dana dialokasikan untuk program-program yang berhubungan dengan wabah ini. Tapi kenyataannya, hanya lomba sosialisasi ini yang bisa pemerintah lakukan, belum tentu efektif lagi.

Saya lho, baru tahu kalau dana dari pemda itu bisa keluar sebegitu banyak. Kalau boleh curhat, saya ini kuliah di prodi sastra Indonesia yang mana kecil kemungkinannya untuk bisa terlihat “wah” di masyarakat, kalau tidak melakukan sesuatu. Percuma kuliah di sastra tapi pada akhirnya tidak punya karya apa-apa. Nah sekarang, bahan untuk karya sih ada, tapi untuk merealisasikan karya itu jadi produk resmi kan butuh biaya yang tidak sedikit. Saya pengin nulis novel, teman saya pengin nulis antologi puisi, semua terhenti saat berhadapan dengan pengurusan ISBN yang bagi kami terasa mahal. Padahal niat kami baik lho, ada juga teman lain yang ingin lebih akademis dengan melakukan penelitian-penelitian sangar, eh, tidak sanggup submit karena biaya open access yang juga kelewat mahal, sama-sama berniat baik padahal. Tiba-tiba baru ngeh kalau pemerintah punya banyak dana melalui pemda yang bisa saja digunakan saya maupun kawan-kawan untuk istilah kerennya membantu mengentaskan kualitas literasi di Indonesia. Lha kok jatuhnya uang itu hanya untuk “lomba” huhuhu.

Saya tahu, wabah yang sedang melanda hampir seluruh dunia ini bukan perkara sepele. Jadi kalau misal keinginan pribadi saya dan kawan-kawan tidak dikabulkan dulu tidak apa-apa. Asalkan uang yang ada bisa dimanfaatkan sebagai-baiknya untuk menangani wabah ini. Saya rasa Kemenkeu sendiri juga akan setuju-setuju saja jika DID dialokasikan ke hal lain yang lebih urgent ­dibanding lomba video. Kebetulan sekarang ini banyak masyarakat yang pengin sekali melakukan rapid test atau swab test atau tes-tes yang lain tapi kesusahan soal biaya karena memang mahal. Bisa kan kalau uang yang banyak itu digunakan untuk subsidi tes saja? Setidaknya biar ibu dan mbah saya bisa tenang karena bisa melakukan tes swab secara gratis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun