Saya makan nasi dan nasi adalah beras dan beras adalah bagian dari kebangsaan saya. Tapi dalam kimia tentu beras ini didefinisikan sebagai karbohidrat baik oleh kimia organik maupun oleh biokimia, baik tentang reaksi-reaksi di luar tubuh seperti keringat maupun reaksi-reaksi atas peran enzim.
Â
Penemuan tak disengaja
Observasi, eksperimen, komputasional, teoretikal, adalah empat metode penemuan sains, bukan? Galileo tidak melakukan eksperimen tapi observasi, kultur jaringan adalah sebuah eksperimen, postulat Bohr adalah sains teoretikal (elektron mengelilingi inti atom pada lintasan tertentu, elektron dapat berpindah dari kulit satu ke kulit lain dengan memancarkan atau menyerap cahaya). Persamaan diferensial tentu tidak bisa dikerjakan kalkulator warung, tapi membutuhkan komputer sehingga menjadi angka-angka yang dapat dibandingkan dengan percobaan. Sifat komputasional awalnya adalah jembatan, tetapi juga untuk menemukan hal baru karena kemampuan sintesisnya.
Penemuan-penemuan aku-lirik bisa melakukan semua metode tersebut. Mengamati dan mengatakan adalah sebuah penemuan observatif. Menetes perlahan lewat saringan/ demi saringan adalah contoh observasi Agus Sarjono hingga menjadi puisi "Kopi Vietnam", tapi ia melanjutkannya seperti kenangan/ berjingkat meluputkan diri dari barikade/ masa silam, tahun-tahun peperangan. Kali ini Sarjono meneruskannya dengan pengalaman sejarah Vietnam dan juga negaranya sendiri Indonesia (ini tidak ada dalam empat metode sains di atas). Selanjutnya Sarjono mengatakan Pahit dan pekat, menghujam/ ke genangan kental manis susu harapan/ yang dikalengkan, biar awet/ biar senantiasa berdegup/ sepahit cinta/ sepahit maut.[5] Tentu bagian terakhir yang saya kutip ini boleh saja disebut komputasional karena maut belum dialami pahitnya oleh Sarjono (ingat kembali fungsi komputasional yang juga bisa menemukan hal baru) dan karena ia memasangkan pahitnya maut itu bukan ke dirinya yang belum mengalami, tapi pada maut lain yang dilihatnya, didengarnya, dibacanya, seperti maut-maut dalam sejarah perang; maka ia melandaskan kepahitan maut itu pada metode sejarah.
Inti dari penemuan aku lirik yang awalnya membicarakan cara kopi Vietnam dalam obserasi yang melewati saringan demi saringan dan tiba-tiba tak sengaja memperlihatkan kenangan perang yang memahitkan kematian-kematian itulah yang saya sebut penemuan tak sengaja. Penyair Sarjono tentu tidak menulis seperti Balmer menguji postulat Bohr dengan eksperimen spektrum, tapi menulis untuk membicarakan kejarakan aku lirik dengan bangsa-bangsa di mana manusia menemukan keakuannya.
Dalam pengantar buku Kopi, Kretek, Cinta Sarjono mengatakan "Jangan-jangan benar bahwa penyair tidak bisa lepas dari negerinya, susah maupun senang."[6] Hal itu ia rasakan ketika berada di Eropa dan ia merasakan semangat menulisnya "ternyata sirna bersama berlalunya musim dingin" dan hal itu bukan karena perubahan musim ternyata, tapi karena "tiba-tiba dicekam oleh kerinduan untuk kembali berada di tengah-tengah riuh negeri saya" yang "mesra di mata batin saya."[7] Saya menduga kini jangan-jangan aku lirik adalah mata batin para penyair yang dengan demikian tak membutuhkan observasi pada alam di depan mata macam iklim di Eropa yang diamati Sarjono, tetapi tetap kembali pada alam keakuan yang dijembatani aku lirik.Â
Dengan mengutip pandangan seorang tokoh dalam novel Naipaul dan pendapat Chinua Achebe yang menanggapi novel Naipaul tersebut, Sarjono berusaha mensintesa mata batin itu sebagai hal yang tidak sekadar di hati, tapi juga di jalan yang berdebu kampung halamannya sendiri.
Ya, tapi bagaimana bisa penyair memasuki kebangsaan mereka/kampung halaman itu, jika mereka tak memiliki jembatan aku lirik yang selalu ditemukannya secara tiba-tiba dan tak disengaja itu?
Ilmu di dalam sains tentu tidak didasari oleh jarak kerinduan pada kebangsaan, meskipun boleh jadi mereka menemukan hal-hal yang tidak disengajanya atau tidak dimaksudkannya. Tapi kalau sains bekerja di atas ketidaksengajaan, sains telah tak berada di dalam metode-metode penemuannya sendiri. Dengan demikian sains terasing dari dirinya sendiri, lebih gawat dari penyair yang terasing di negeri orang dan tidak rindu pula ke kampung halamannya sendiri. Di sanalah aku berdiri hanya akan bermakna jika aku di dalamnya merupakan aku yang menemukan keakuannya lagi sehingga bebas dari keterasingan.*** Â
[1] Bob Dylan, Chronicles, terj. Daniel Santosa, Jakarta: KPG, hal. 159-160.